Ingin Berjamaah dengan Suami | YDSF

Ingin Berjamaah dengan Suami | YDSF

13 Februari 2020

Nama lengkapku Ni Made Sukarmini. Aku biasa dipanggil Made. Jika kalian membaca namaku, pasti kalian sudah tahu betul apa agamaku. Ya. Aku dulunya seorang penganut Hindu.

Aku dilahirkan serta dibesarkan dari lingkungan yang sangat kental dengan ajaran Hindu. Maklum. Aku berasal dari Tabanan, Bali. Tahun 1970 silam aku pindah ke Surabaya. Untuk melanjutkan sekolah dan bekerja. Pikirku.

Namun, takdir berkata lain. Setahun kemudian ternyata aku menikah. Pendidikan bidanku tak terselesaikan.

Setelah 25 tahun berumah tangga dengan suami sesama Hindu, suamiku meninggal. Aku pun menikmati hari-hariku sendiri. Menjanda selama 14 tahun, Allah mengirimkan pria kedua yang kemudian mengisi hidupku.

Berawal dari didapuk menjadi ketua panitia acara pernikahan anak temanku. Aku bertemu dengan seorang pria muslim yang tertarik padaku.

Memang. Saat itu aku tak pernah berpikir untuk membuka lembaran baru lagi. Namun, takdir Allah memang indah. Hanya butuh waktu dua bulan kami saling mengenal.

Kami pun menikah. Tepatnya tahun 2009. Dalam ajaran Hindu, seorang wanita harus mengikuti suaminya. Mengingat suami keduaku adalah seorang muslim, maka aku pun menjadi seorang mualaf.

Tidak ada tentangan dari keluarga besarku. Justru mereka berpesan ketika aku telah menjadi muslim, aku harus benar-benar memiliki iman yang kuat agar tak berpindah lagi.

Hanya aku yang menjadi muslim. Tidak dengan anak-anakku hasil pernikahanku sebelumnya. Mereka tetap menjadi penganut Hindu. Karena dalam ajaran Hindu, anak-anak adalah hak suami.

“Jika itu memang membahagiakan ibu, ya monggo,” ujar anak-anak mendukungku.

Aku mengucapkan ikrar syahadat sebelum akad nikah berlangsung. Ahamdulillah, semua berjalan lancar. Perlahan diriku mulai beradaptasi dengan keluarga suami baru yang semuanya muslim.

Kuakui memang sudah lama aku tertarik Islam. Pertama kali aku hijrah ke Surabaya, aku sudah tertarik saat mendengar adzan. Aku pun terdorong mempelajari Islam. Belajar shalat, mengaji, dan menghafal surat-surat pendek. Tak hanya amalan wajib. Aku juga berusaha mengamalkan amalanamalan sunnah.

Awalnya perjalanan rumahtanggaku berjalan mulus. Semuanya berlangsung begitu mudah. Namun seiring berjalannya waktu, harapanku bertambah. Aku mulai berharap perhatian lebih dari suamiku. Sayang aku merasa suami keduaku ini belum szepenuhnya menangkap harapanku. Ia belum maksimal membimbingku terkait ajaranajaran Islam.

Sebagai seorang wanita, bagiku wajar berharap bisa belajar banyak tentang Islam dari suamiku. Dibimbing langsung olehnya. Bahkan keinginan mesraku untuk bisa shalat berjamaah bersamanya, belum kesampaian. Mungkin ia belum menangkap harapanku. Harapan istrinya yang baru saja mengenal Islam.

Aku yang baru mengenal Islam, wajar masih sering melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Seperti lupa rakaat saat shalat. Susah menghafalkan surat-surat pendek. Dan lainnya.

Aku sempat merasa pengorbanan yang aku lakukan sia-sia. Kerap kali aku mengajak suamiku untuk duduk di majelis ilmu bersama layaknya apa yang diperintahkan Allah, belum terpenuhi. Aku sempat putus asa. Bahkan sempat kutinggalkan shalat karena jengkel.

Pernah kusampaikan niatku ingin pergi beribadah umroh sekeluarga. Belum bersambut. Namun, aku tetap berusaha kembali meneguhkan niat dan imanku. Aku pun sadar, yang kulakukan sebuah kesalahan besar. Meninggalkan perintah Allah hanya karena jengkel terhadap sifat makhluk- Nya.

Alhamdulillah, sejak pertama masuk ke keluarga suami keduaku ini, kedua putrinya begitu dekat denganku. Bahkan, saat ini mereka jauh lebih dekat denganku dibanding dengan ayahnya. Mereka inilah yang memiliki andil besar menuntunku dalam ber-Islam. Saat mereka tahu aku sempat meninggalkan shalat, mereka dengan sabar menasehatiku. Bahkan menegur ayahnya yang cuek.

Aku pun mulai kembali shalat. Kembali mengerjakan amalan Islam. Aku yakin bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Shalat mengajarku tak hanya tentang interaksi dengan Allah. Seiring berjalannya waktu, aku pun belajar bagaimana mengendalikan diri.

Aku merasa semakin dengat Sang Pecipta. Allah. Dalam sehari aku bisa bertemu Allah lima kali. Bahkan jika aku melaksanakan amalan sunnah, maka aku bisa bertemu dengan-Nya lebih sering lagi. Begitu indahnya Islam mengatur kondisi rohani hamba-Nya.

Istiqomah. Sebenarnya itulah kunci utama dalam menjalani ajaran Islam. Terlebih lagi, aku bukanlah orang yang memang terlahir dalam Islam.

Ibarat sedang makan, maka nikmatilah saja. Karena buruknya suatu makanan bukan dari makanan itu, namun dari yang mengolah. Sama seperti ibadah. Dalam ibadah, mempelajari sebuah ajaran agama, maka perlu istiqomah. Dinikmati. Karena agama itu mengajarkan kebaikan. Jika ada keburukan datang, maka bukan dari Sang Pencipta atau ajaran agama yang salah.

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi Juli 2018

 

Baca juga:

KISAH BERTEMUNYA SAHABAT DENGAN SANG PENGEMIS

Zakat Profesi atau Penghasilan | YDSF

KISAH MUALAF DARI AUSI, TERLAHIR TAK KENAL TUHAN | YDSF

Kisah Sukses Mahasiswa Penerima Beasiswa PenaBangsa YDSF

Ummu Yulyani dan Hamas Syahid, Ibu dan Anak Inspiratif Ummat | YDSF

Kisah Qurban di Kawasan Minoritas Muslim | YDSF

Zakat Perdagangan | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: