Menghadapi Resesi Ekonomi | YDSF

Menghadapi Resesi Ekonomi | YDSF

5 Agustus 2020

Sejak pandemi Covid-19 berlangsung hingga detik ini, beberapa negara, termasuk Indonesia, masih berada dalam fase ekonomi yang tidak stabil. Dampak ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya tanah air ini, begitu terasa. Banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mengakibatkan jumlah pengangguran bertambah. Belum lagi, banyak lowongan pekerjaan yang terpaksa ditutup terlebih dahulu untuk mengurangi anggaran atas karyawan baru.

Bahkan, belakangan ini juga telah muncul isu tentang resesi ekonomi karena kondisi perekonomian yang belum membaik. Para pakar ekonomi pun juga mulai berhipotesa bahwa Indonesia juga bisa berada pada titik depresi ekonomi (CNBC, 03/08).

Mengenal Resesi Ekonomi

Jadi, sebenarnya apa itu resesi ekonomi?

Kata resesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti). Sehingga, resesi ekonomi dapat dikatakan sebagai sebuah kondisi saat terjadinya penurunan produk domestik bruto (GDP) atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kartal atau lebih dalam satu tahun. Mudahnya, resesi ekonomi merupakan salah satu jenis dari krisis ekonomi.

Resesi ekonomi biasa berlangsung pada dua kuartal atau bahkan bisa lebih dari satu tahun. Bila lebih dari 18 bulan, maka kondisi tersebut sudah memasuki dalam fase depresi ekonomi.

Menghadapi Resesi Ekonomi

Secara tidak langsung, sebenarnya semua elemen masyarakat juga tengah menghadapi dampak ekonomi dari adanya pandemi ini. Bukan hanya para pekerja yang terkena PHK, para pemilik bisnis lebih utama bisnis yang masih kecil pun juga sangat terasa dampaknya.

Baca juga: Definisi Rezeki Berkah dalam Islam | YDSF

Namun, bila hanya diam dan tidak bergerak sama sekali, prediksi bahwa Indonesia akan memasuki jurang resesi ekonomi yang lebih dalam bisa saja terjadi. Sehingga, dalam memperbaiki perekonomian negara dengan tetap memperhatikan keselamatan serta kesehatan warganya, bukan hanya dilimpahkan penuh kepada masyarakat. Berhutang juga bukan menjadi solusi utama, bila hasil pendistribusian yang dilakukan pun tidak merata.

Contoh sederhana, di salah satu lokasi mengabdi Dai YDSF. Tepatnya di Bondowoso, pembangunan fasilitas jalan desa pun terpaksa ditunda. Hal tersebut terjadi karena dana yang seharusnya untuk pembangunan jalan desa terpaksa dialihkan untuk BLT (Bantuan Langsung Tunai) masyarakat terdampak Covid-19.

Negara ini memang negara hukum. Namun, beberapa hal positif yang pernah diterapkan Rasulullah dalam pemerintahan pun juga tidak ada salahnya untuk bisa diteladani. Salah satunya dari bidang ekonomi, yakni dengan mengelola sebaik mungkin sumber pendapatan negara yang dimiliki.

Sumber APBN masa Rasulullah dan Khalifah

Sumber pendapatan pemerintahan pada masa Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin mengacu pada apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan disebutkan dalam Al-Qur’an. Seperti yang juga dijelaskan dalam QS. Al Anfal ayat 41 dan Al Hasyr ayat 7.

Beberapa di antara pendapatan pemerintahan muslim saat itu adalah:

  1. Zakat

Zakat yang dimaksudkan bukan hanya zakat fitrah yang ditunaikan pada saat Ramadhan saja. Namun, juga meliputi zakat maal atas harta benda yang dimiliki seseorang bila telah memenuhi nishab dan haul. Pada waktu itu, dana zakat dikumpulkan menjadi salah satu pendapatan negara. Dan disalurkan sesuai dengan asnaf yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dengan ini, maka tentu ekonomi menjadi sangat terbantu.

Baca juga: Zakat dalam Islam | YDSF
  1. Jizyah

Jizyah merupakan pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim saat itu sebagai bentuk jaminan perlindungan jiwa, properti, bahkan untuk tidak wajib militer. Kewajiban jizyah hanya dibayarkan oleh pemuda yang telah mampu membayar. Sedangkan, perempuan, anak-anak, dan lansia dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah.

  1. Kharaj

Kharaj atau pajak tanah, mulai diberlakukan ketika Khaibar ditaklukan. Saat itu, Rasulullah mengizinkan para Yahudi untuk tetap menggunakan lahan mereka namun dengan syarat bahwa mereka harus berkenan membayar sebagian dari hasil lahannya kepada pemerintah Islam.

Kharaj ini pun terus berkembang pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Bahkan juga ada lembaga khusus yang menangani kharaj kala itu. Kharaj kemudian diadaptasi pada perekonomian modern. Kita mengenalnya sebagai pajak bumi dan bangunan (PBB).

  1. Khums (Pajak Seperlima)

Mudahnya, khums merupakan pajak yang wajib dikeluarkan seseorang (orang kaya) saat itu di luar dana zakat. Khums dapat diambil dari beberapa hal, yakni rampasan perang, barang-barang tambang, harta karun, berbagai jenis permata dan barang berharga yang diambil dari dalam lautan, keuntungan perniagaan, tanah yang dibeli nonmuslim dari muslim, dan harta halal yang bercampur dengan harta haram yang kadar dan pemiliknya tidak diketahui.

  1. Wakaf

Konsep dana wakaf berbeda dengan zakat. Wakaf tidak boleh habis begitu saja. Melalui dana dan aset wakaflah perekonomian dapat berkembang lebih pesat. Bahkan, beberapa universitas, dan penerapan beberapa bidang di negara asing pun  menggunakan konsep pengelolaan wakaf. Meski, mereka memakai istilah berbeda, yakni endowment fund.

  1. Lain-lain

Beberapa pemasukan lain dalam pemerintahan Islam saat itu, berasal dari sedekah, qurban, kafarat, dan sebagainya.

 

Baca juga:

Hidup itu sedekah | YDSF

Doa Minta Rezeki Halal dan Berlimpah Sesuai Sunnah | YDSF

AMALAN IBADAH PEMBUKA PINTU REZEKI | YDSF

Tangguh Menghadapi Persoalan Hidup | YDSF

 

 

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: