Mengenal Ki Bagus Hadikusumo, Sosok Pahlawan Nasional Sederhana dan Tegas | YDSF

Mengenal Ki Bagus Hadikusumo, Sosok Pahlawan Nasional Sederhana dan Tegas | YDSF

17 Oktober 2019

Kita simak kembali kisah kesederhanaan dan keteguhan Ki Bagus Hadikusuma, salah satu Pahlawan Nasional Indonesaia. Sebagai ketua salah satu organisasi terbesar di Indonesia, Ki Bagus tidak merasa dirinya hebat.

Menjadi Ketua Umum Muhammadiyah sejak zaman penjajahan Jepang, Ki Bagus masih menampakkan sifat khasnya: sederhana dan nggak neko-neko. Beliau paling anti protokoler tertentu yang membuatnya merasa harus dihormati.

Bahkan, ada beberapa protokol yang sengaja dilanggarnya. Bagi Ki Bagus, pemimpin rakyat ialah hidup secara kerakyatan. Karena dia bukan “Abdidalem” atau Keluarga Sultan. Pendirian demikian tetap dipegangnya sampai matinya. (Hamka : 1954)

Ketika Ki Bagus wafat pada 5 Muharram 1374/2 September 1954, Buya Hamka menulis obituari di majalah Hikmah No. 38 Tahun VII, 20 Muharram 1374/18 September 1954.

Hamka mencatat kisah-kisah kesederhanan Ki Bagus, termasuk sikap anti protokolernya. Dikisahkan, sebagai Ketua Muhammadiyah di zaman Jepang, Ki Bagus bersama Soekarno dan Hatta turut serta diundang ke Tokyo oleh Kaisar Jepang.

Ki Bagus merupakan salah satu ulama yang enggan melakukan seikerei atau membungkukkan badan ke arah Kaisar Jepang. Seperti dikisahkan dalam Suara Muhammadiyah (Februari : 2011), sebagai Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus menerbitkan maklumat haramnya melakukan seikerei.

Ia pernah dipanggil oleh pejabat Jepang, Kolonel Tsuda yang meminta Ki Bagus mencabut maklumatnya. Ia dengan tegas menjawab, “Tidak mungkin Tuan. Agama Islam melarang!"

Kolonel Tsuda tak terima. Dia kembali meminta Ki Bagus memerintahkan rakyat untuk melakukan seikerei. "Kalau tidak tahu, maka saya beritahu bahwa membungkuk kepada sesama manusia itu dilarang oleh agama saya!" jawab Ki Bagus.

Sang Kolonel tetap tak terima. Dia kembali menegaskan bahwa seikerei itu sebuah perintah dan wajib dilaksanakan. Ki Bagus tetap ‘kekeuh’.

"Tidak bisa Tuan. Agama melarang. Saya tidak bisa memerintahkan itu!" tegasnya. Mendengar jawaban itu, Kolonel Tsuda menggebrak meja. Ki Bagus pun terkejut. Namun dengan yakin ia mengatakan, "Tuan menganut agama seperti saya, sekalipun berlainan. Tentu Tuan juga tidak mau melanggar ajaran agama Tuan. Seperti kami orang Islam tidak mau melanggar ajaran kami.”

Melihat keteguhan Ki Bagus, Jepang tampaknya ‘menyerah.’ Pun, ketika Ki Bagus di Tokyo, ia tetap tidak bisa diatur-atur. Dengan gaya sarung khasnya, ia tetap datang. “Bahkan, ketika protokol dilanggarnya,  Bung Karno dan Bung Hatta terpaksa menahan rasa jengkel,” ungkap Hamka. Ketika pulang dari jepang, Ki Bagus bertemu Hamka dan mengisahkan kalau dirinya mendapat semacam hadiah dari Jepang.

Namun, benda pemberian Jepang itu diperlihatkan kepada Hamka dengan sikap lucu. “Sehingga kalau kiranya ada Jepang yang melihat tentu mereka akan marah. Kadang-kadang Kimono hadiah Tojo dipakainya ke rapat!” kenang Hamka dalam obituarinya.

Sampai akhir hayatnya, Ki Bagus tetap memperlihatkan prinsip hidup dan kesederhanaanya. Dia tak pernah merasa gengsi, atau merasa harus mengubah penampilannya. Atau ingin terlihat sebagai pejabat atau pemimpin salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Itulah Ki Bagus! ***

 

Sumber: Majalah Al Falah Edisi Mei 2019

Editor: Nara

 

Baca juga

Kisah Ketua DPR pertama RI, Kasman Singodimejo | YDSF

 

6 Prinsip untuk Menyiapkan Anak Sebagai Pejuang Kehidupan | YDSF

 

Biografi Abdul Wahid Hasyim, Sang Menteri Agama RI

 

ERNEST DOUWES DEKKER, MUALAF INDO, PEJUANG NEGERI INDONESIA | YDSF

 

Konsep Patriotisme dalam Islam | YDSF

 

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: