Orang ini tak pernah memakai mobil untuk pergi ke kantornya, padahal dia adalah Ketua Dewa Perwakilan Rakyat (DPR) pertama RI. Dia juga jaksa agung pertama. Dia juga anggota Konstituante yang ngantor di Gedung Perwakilan Rakyat, untuk merumuskan undang-undang.
Tak banyak orang tahu namanya, kita mengenangnya dengan panggilan Pak Kasman. Sebelum kemerdekaan, orang-orang hormat kepadanya Mr. Kasman Singodimejo yang merupakan sarjana hukum. Ia lahir dari kalangan keluarga yang berkecukupan. Tapi apa itu mengubah gaya hidupnya bak anggota DPR zaman sekarang?
Rupanya, dibesarkan dengan keluarga kaya tak membuat Kasman bersantai-santai atau menikmati fasilitas lengkap. Ia justru menggunakan uangnya untuk perjuangan. Sepenggal 1925, saat ia duduk di bangku setingkat SMA, Kasman sudah memilik mentor, namanya Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim, kata Kustiniyati Mochtar dalam 100 Tahun Haji Agus Salim (1984), merupakan orang yang bisa disebut ‘melarat’. Berpindah dari satu gang ke gang lainnya, dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Sampai-sampai Mohammad Roem (1983) terkejut, karena begitu tiba di kontrakan mentornya itu ruang tamu, kamar, makan, dan keluarga menjadi satu.
Mohammad Roem, Kasman, Sjamsurijal, Natsir menjadi murid-murid Haji Agus Salim dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Oleh karena itu, tak heran ucapan Kasman yang begitu terkenal Leiden is Lijden. “Memimpin itu menderita,” kata Kasman.
Karenanya, kita lihat bagaimana Kasman, seorang sarjana hukum memilih hidup dengan ‘menderita’ dan berjuang. Ia diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal DPR saat ini. Setelah menjabat sebentar sebagai Ketua DPR saat itu. Ia didaulat juga menjadi Jaksa Agung Pertama RI.
Menjadi Jaksa Agung dan Ketua DPR bagi Kasman adalah amanah kepemimpinan. Maka, memimpin adalah menderita, itulah prinsip hidup Kasman. Sebagai anggota Muhammadiyah, ia pun bergabung dengan Partai Masjumi. Peran Kasman dalam kehidupan berbangsa, sangat jelas dari lobi Kasman terhadap Ketua Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo hingga menghasilkan Pancasila sekarang ini, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun, belakangan beliau kecewa karena janji manis Soekarno dan Hatta yang akan kembali menerapkan gentlemen agreement (Piagam Jakarta) pascarevolusi tidak ditepati. Karenanya, di Konstituante ia menagih janji para pemimpin bangsa akan jaminan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Getolnya Kasman beraktivitas di Muhammadiyah dan Partai Masyumi membuat orang-orang dekatnya keheranan. Mengapa Kasman begitu energik, lantang berpidato berjam-jam hingga dakwah masuk ke pelosok desa terdalam?
Mr. Sudarsono Projokusumo (salah satu pimpinan Muhammadiyah saat itu) menuturkan bahwa Kasman itu seperti Gatot Kaca, otot kawat balung wesi. Orang menggeleng kepala mendengar Pak Kasman mendapat musibah kecelakaan mobil dalam rangka dakwah di Sulawesi, luka tidak dapat dihindari, jari tangannya cedera. Belum lagi sembuh dari lukanya, beliau harus ke Aceh. Di sana, dapat musibah kecelakaan truk kedua kalinya.
“Berbaring di RSIJ, dioperasi untuk mengeluarkan batu empedu, baru saja siuman sudah berpidato di depan jamaah yang menengoknya. Ia pun mengumumkan jadwal yang belum sempat beliau tunaikan,” kenang Mr. Sudarsono.
Ketika orang Muhammadiyah datang menjenguk, Kasman malah ‘membagi-bagi tugas’ para penjenguknya. Mr. Sudarsono pun mencatat Kasman sosok yang tegas dan berwibawa.
“Kadang beliau ngotot atas usulnya. Banyak yang menyangka Pak Kasman itu kaku, tidak luwes, tidak bisa berdiplomasi, dikarenakan orang-orang mendengar pidato-pidato Kasman yang menggelegar,” katanya.
Mr. Sudarsono yang mengikuti Kasman menyatakan bahwa dalam pengalamannya berjumpa pejabat tinggi, ternyata Kasman bukan tipe orang yang kaku atau seram. Bahkan, gelak tawa kerap terjadi. Menurutnya, Kasman ialah sosok yang tegas dan berwibawa.
“Sungguh pun Singo, kepribadiannya tidak selalu galak, perawakannya tegap tapi tidak kaku, sungguh jika dialog ngotot dan gigih, tetapi juga sekaligus ‘mempokrol’ dengan luwesnya. Jika keputusan sudah diambil, walau bertentangan dengan Kasman, dia akan sami’na waato’na, taat.” (Soedarsono: 1982)
Istilah Singodimedjo juga pernah tersemat karena kesederhanaan Kasman. Ia biasa jalan kaki pagi-pagi sekali, naik sepeda hingga naik sepeda motor. Padahal, beliau adalah Ketua DPR, Jaksa Agung, dan anggota Konsituante.
Ia bisa nyenyak tidur di mana pun, bahkan pernah, Kasman tidur di atas meja kantor Cabang Muhammadiyah Sumatera ketimbang harus tidur di hotel. “Ini betul-betul, maaf, singo di mejo,’’ masih tulis H. Sudarsono Projokusumo dalam buku Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo.
Bila sudah berjanji, akan Kasman sungguh-sungguh tepati. Pernah, Kasman izin bolos Rapat Muhammadiyah karena harus ke Madura, karena ada janji. Esok malamnya, dengan wajah seolah tanpa lelah, sudah kembali rapat Muhammadiyah. Kasman pun sosok yang penurut dan dekat dengan para ulama.
Oleh: Rizki Lesus
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Baca Juga:
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
Tingkatkan Semangat dan Nilai Berqurban | YDSF
Hikmah Pendidikan Dibalik Keyatiman Rasulullah | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Makna Qurban dalam Islam | YDSF
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Hakikat dan Keutamaan Silaturahim
Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF
Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF