Biografi Abdul Wahid Hasyim, Sang Menteri Agama RI

Biografi Abdul Wahid Hasyim, Sang Menteri Agama RI

28 Agustus 2019

Yogyakarta kali itu sedang sangat ramai. Para ulama, kiai, santri se-Jawa dan Madura datang berkumpul untuk mendirikan Partai Masyumi, pada 7-8 November 1945.

Tampak hadir tokoh-tokoh Islam seperti K.H. Hasjim Asy’ari dan puteranya -K.H.A. Wahid Hasyim- Haji Agus Salim, Prof. Abdoel Kahar Moezakir, Dr. Aboe Hanifah, Dr. Mawardi, Dr. Soekiman, Prawoto Mangkoesasmito, K.H. Wahab Hasbullah, Ki Bagoes Hadikoesumo, Abikoesno Tjokroseojoso, Wali Al Fatah, dan ratusan kiai se-Jawa dan Madura saat itu.

Pagi itu, para ulama sedang mencicipi masakan yang cukup lezat khas Yogyakarta. Namun, K.H.A. Wahid Hasyim, Menteri Agama itu hanya duduk di atas tikar dan memakan kol mentah, mentimun dan daun pisang. Pemimpin besar ini hanya makan itu saja, dan itu sudah menjadi kebiasaan.

“Kenapa hanya makan sayur mentah saja, Gus?” kata orang-orang kepada Gus Wahid, sapaan akrabnya, seperti ditulis Saifudin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren.

Dengan tenang, ia menjawab,”Ulaaika kal an’aami bal hum adhal ‘seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.’” K.H. Saifuddin Zuhri yang berada di sana bilang, bahwa apa yang dijawab Gus Wahid merupakan Surat al A’raf ayat 179.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Terjemahan lengkapnya, “Dan sesungguhnya untuk mengisi neraka jahanam Kami telah menjadikan kebanyakan jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami perintah-perintah Allah, mereka mempunyai penglihatan tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan juga mereka mempunyai telinga tapi tidak digunakan untuk mendengar nasihat-nasihat. Mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.”

K.H. Saifuddin Zuhri, yang menjadi ‘adik mentor’ Gus Wahid, bergumam dengan meminjam ayat Al Quran tersebut Gus Wahid merasa dirinya sangat hina di hadapan Allah. Gus Wahid, pemimpin muda pimpinan Masyumi itu, tak bisa lama-lama di Yogyakarta.

Dia harus kembali menuju pelosok-pelosok, mempersiapkan pasukan-pasukan berjihad melawan penjajah yang datang kembali usai Jepang diusir dari negeri ini. Sebenarnya, dirinya sudah diangkat jadi Menteri Agama pertama, namun kondisi darurat, dan pergantian sistem parlementer, Gus Wahid tak sempat lama-lama menjadi Menteri Agama, dan digantikan oleh Prof. H.M. Rasjidi yang sama-sama dari Masyumi.

Pernah Gus Wahid ditanya, apakah dia kecewa tak dapat duduk lagi di kursi Menteri Agama? “Tak usah kecewa! Saya toh bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang, tinggal pilih saja,” jawaban yang mengundang tawa hadirin.

Belum selesai tertawa, sudah ditanya oleh kawannya, H. Azhari, “Kenapa kok jadi menteri cuma sebentar?”

Dengan santai, Gus Wahid menjawab,” Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke kuburan, pembaca talqin itu kan memperingatkan kita wa mal hayaatud dunyaa illa mataa’ul ghurur ‘kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (QS. Ali Imran 185).’ Memangnya orang menjadi menteri untuk selamanya?” Gus Wahid menenteramkan kami, kenang K.H. Saifudin Zuhri.

“Kami mendengar Gus Wahid akan diangkat menjadi menteri, bagaimana itu?” tanya yang lain. “Wa maa tadri maadzaa taksibu ghadan‘dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok (QS. Lukman 34).’ Orang bisa beramal banyak dan bermanfaat dimana saja, sekalipun tidak menjadi menteri. Kebanyakan orang menganggap jabatan menteri itu kehormatan dan kemuliaan, padahal itu tak lebih dari sekadar amanat yang harus dipertanggungjawabkan,” tukas Gus Wahid.

Selain sangat sederhana, Saifuddin Zuhri mencatat bahwa K.H.A. Wahid Hasyim terbiasa puasa sunnah. Sepenggal waktu, Saifuddin Zuhri menyertai K.H. Wahid Hasyim dalam suatu perjalanan dakwah ke daerah Jawa Barat. Seharian penuh keduanya disibukkan dengan acara-acara yang sangat padat.

“Sekalipun demikian, K.H. A. Wahid Hasyim tetap berpuasa (sunnah),” kata Saifuddin Zuhri.

Ketika mereka tiba di hotel, waktu sahur telah datang. Sementara Syaifuddin Zuhri baru menyadari kelengahannya. K.H. Syaifuddin Zuhri lupa menyediakan santapan sahur bagi K.H. A. Wahid Hasyim. Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh bagian Saifuddin Zuhri ketika sore.

“Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH Wahid Hasyim bersahur,” kata Saifuddin Zuhri.

Padahal bila K.H.A. Wahid Hasyim mau lebih dari itu, Saifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung dekat hotel yang masih melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi goreng, sate ayam, gado-gado, dan sebagainya.

Rupanya Wahid Hasyim tidak mempedulikan tawaran Syaifuddin Zuhri. Jawaban Wahid Hasyim hanya berkata, ”Ah, besok toh lapar juga sepanjang hari.” Sambil menyelesaikan sebutir telur yang satu-satunya untuk sahur itu K.H.A. Wahid Hasyim berucap, “Kita berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar.”

Oleh: Rizki Lesus*
Sumber: Majalah YDSF

*Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

 

Baca Juga:

Karakteristik Para Hamba Yang Dicintai Allah  | Ydsf

Tingkatkan Semangat dan Nilai Berqurban | YDSF

Makna Qurban dalam Islam | YDSF

Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF

Hikmah Pendidikan Dibalik Keyatiman Rasulullah | YDSF

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF

Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF

Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF

Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: