Salah satu sumber
penghasilan yang juga perlu dimasukkan dalam perhitungan zakat adalah tunjangan
hari raya, atau yang populer disebut dengan THR. Meskipun bukan termasuk
pemasukkan yang rutin diterima setiap bulan, tetapi THR bernilai minimal sama
seperti satu kali gaji. Jadi, kedudukannya sama seperti bonus.
THR merupakan hak
pendapatan pekerja yang wajib diberikan oleh pihak perusahaan (pemilik kerja)
kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan (pasal 1 ayat (1) Permenaker
6/2016 dan pasal 9 ayat (1) PP 36/2021). Jadi, idealnya THR diberikan sesuai
dengan perayaan agama masing-masing dari karyawan tersebut. Memang untuk di
Indonesia, THR lebih banyak diberikan saat Idulfitri (mengikuti mayoritas).
Sedangkan untuk
besaran THR sebenarnya beragam, disesuaikan dengan masa kerja dari karyawan
yang bersangkutan. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari
Raya Keagamaan Bagi Buruh/Pekerja di Perusahaan (Permenaker 6/2016),
menjelaskan besaran THR adalah sebagai berikut:
1.
Pekerja
yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus atau
lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah;
2.
Pekerja
yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus-menerus tetapi kurang
dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja
dengan perhitungan: masa kerja/12 x 1 (satu) bulan upah.
Namun, kondisi
tersebut dapat tidak sama, karena juga tetap melihat dari surat perjanjian
bersama saat awal bekerja (Pasal 4 Permenaker 6/2016).
Kemudian, bagaimana THR itu bisa
masuk dalam perhitungan gaji yang dikenakan zakat pula?
Berdasarkan
pendapat dari tokoh fiqih kontemporer tentang zakat, Yusuf Al Qardhawi, beliau
menyebutkan bahwa penghasilan yang harus dimasukkan adalah semua pintu yang
didapatkan dalam kurun haulnya (satu tahun). Dalam konteks ini, maka THR
menjadi salah satu pintu penghasilan yang juga harus masuk dalam perhitungan
nishab dan besaran zakat. Tepatnya untuk zakat penghasilan, dengan nishab
sebesar 85 gram emas murni.
Lalu, untuk perhitungan zakatnya
menggunakan pendekatan apa?
Terdapat dua
metode pendekatan perhitungan zakat. Yaitu dengan menggunakan perhitungan
penghasilan bruto (seluruh penghasilan dijumlahkan tanpa dikurangi biaya apapun
lalu dikeluarkan zakatnya) dan penghasilan netto (hasil dari penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya pokok dan cicilan baru dikeluarkan zakatnya).
Dari dua
pendekatan tersebut sama baiknya. Hanya saja, bila dirasa memiliki tanggungan
atau kewajiban yang segera diselesaikan, maka lebih baik gunakan perhitungan
netto. Karena tanggungan utamanya bila berhubungan dengan hutang, juga
merupakan kewajiban yang harus dituntaskan.
Ilustrasi Perhitungan Zakat dari
THR
Contoh Kasus
Ahmad memiliki penghasilan
Rp10 juta setiap bulannya. Tahun ini, ia menerima THR senilai satu kali
gajinya. Namun, ia memiliki tanggungan cicilan kendaraan mobil senilai Rp2 juta
per bulan. Berapa besar zakat yang harus ia ditunaikan?
Perhitungan
Zakat
Sebelum
menghitung besaran zakatnya, maka mari kita hitung terlebih dahulu penghasilan
dari Ahmad.
Penghasilan
Bruto Ahmad
1 tahun = 12
bulan
THR = 1x gaji
bulanan = 1 bulan
Rp10 juta x 13
bulan = Rp130 juta
Penghasilan
Netto Ahmad
Rp130 juta –
cicilan setahun =
Rp130 juta – (Rp2
juta x 12) =
Rp130 juta – Rp24
juta =
Rp106 juta
Harga emas saat
ini (5 April 2023) = Rp1.083.000,-
Nishab zakat =
85gr x Rp1.083.000,- = Rp92,055 juta
Maka, Ahmad wajib
menunaikan zakat.
Besar zakat yang
harus ditunaikan (dengan perhitungan penghasilan netto):
2,5% x Rp106 juta
= Rp2,65 juta
Artikel
Terkait:
HUKUM BAYAR ZAKAT ONLINE DALAM ISLAM | YDSF
Keutamaan Membaca Ayat Kursi Dan Anjuran Sedekah | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Nikmatnya Membaca Al Kahfi | YDSF
DOA AGAR DIBERIKAN HIKMAH & MASUK GOLONGAN SHALIH | YDSF
Saat Amal Baik Batal Dilakukan | YDSF