Menghadapi Kenakalan Anak Milenial dengan Parenting Islami | YDSF

Menghadapi Kenakalan Anak Milenial dengan Parenting Islami | YDSF

17 Oktober 2019

Kemajuan zaman yang terus berkembang, nampaknya juga semakin mempengaruhi pola perkembangan karakter untuk anak. Kecenderungan anak masa kini, atau yang dikenal dengan istilah milenial, dekat dengan gawai, juga membuat mereka kurang begitu dekat dengan lingkungan sekitarnya bahkan orang tuanya.

Apakah kesemuanya itu sepenuhnya salah sang anak? Ataukah orangtua juga memiliki andil dalam pertumbuhan kegalauan atau bahkan kenakalan dari sang anak?

Mengenali Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Orang Tua

Menjadi orang tua memanglah sebuah peran yang mudah. Status yang telah tersematkan sejak seseorang mulai memiliki anak, tentunya terdapat pertanggungjawaban yang besar. Maka, sudah menjadi sebuah kewajiban pula bagi kita, calon orang tua dan para orang tua, untuk mau dan bisa terus belajar dalam hal parenting.

Namun, di Indonesia sendiri nampaknya pembagian peran sebagai orang tua ini masih belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian pasangan suami istri. Fatherless country, itulah Indonesia. Saat di mana ayah menjadi antara ada dan tiada. Bahkan hal inilah yang kemudian membuat semua urusan internal rumah tangga dan pendidikan menjad ‘tanggung jawab’ ibu. Dan bahkan parahnya, karena hal ini pula banyak dari masyarakaht kita yang tidak pernah membuat kurikulum keluarga jangka panjang di Indonesia.

Kurangnya concern terhadap dunia parenting dan pembagian peran dalam keluarga ini juga berdampak pada tingginya angka perceraian di Indonesia. Padahal, parenting juga menjadi salah satu kunci utama dalam urusan rumah tangga. Karena saat kita gagal menjalankan peran sebagai orang tua tidak bisa kita ulang. Terutama pada fase golden age anak-anak kita.

Sejauh ini masih banyak orang tua yang tidak pernah menjadi observer terbaik bagi anak-anak mereka. Orang tua hanya bertindak sebagai supervisor, kurang, belum, atau bahkan tidak pernah menjadi teladan dalam didikan anak itu sendiri. Padahal, anak-anak butuh contoh, butuh teladan nyata yang dekat dengan keseharian mereka. Dan itu sejatinya harus ada di orang tua.

Banyak pula dari para orang tua yang kurang bersyukur saat marah menghinggapi hati. Anak-anak selalu menjadi korban luapan marah. Sedangkan anak tidak pernah tahu apakah mereka berkontribusi dalam membuat orang tuanya marah, belum tentu tidak.

Tak berhenti sampai di situ, orang tua juga sering khilaf saat menilai anak hanya dari aspek akademik saja. Hal sederhana namun sering dilakukan adalah saat pengambilan raport. Kebanyakan dari orang tua akan menyoroti nilai mana yang paling jelek.

Lalu, apa dampaknya? Orang tua akan membanding-bandingkan anaknya dengan temannya. Justru inilah yang kemudian dapat membuat anak merasa inscure dengan orang tuanya sendiri, kurang percaya bahkan. Efek jangka panjang dari hal-hal yang telah disebutkan di atas adalah berdampak pada anak yang mudah lelah, galau, gelisah, bahkan bisa terbentuk kenakalan.

Dari hal-hal tersebut maka di sinilah peran parenting, khususnya parenting Islami atau parenting nabawiyyah. Menuntaskan misi personal kita sebagai rahmatan lil alamin, melalui pendidikan untuk anak dengan membangun peradaban Islam yang lebih baik. Kita harus berusaha membenahi karakter sebagai orang tua dengan sebaik mungkin. Bukan hanya sekedar karena ‘ingin tampil’ untuk anak, tapi memang berubah dengan ikhlas dari hati.

Pendidikan Keimanan Menjadi Pondasi Utama

Kesibukan lain sering kali membuat orang tua lupa bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian lebih. Merasa sudah bertanggung jawab dalam menyekolahkan bahkan memasukkannya ke Taman Pendidikan Alquran (TPA) atau bahkan mungkin setiap anak sudah memiliki baby sitter masing-masing. Padahal harusnya orang tua bisa memiliki wakutu lebih untk anak-anak, terutama pada fase golden age anak.

Dimulai dengan menanamkan keimanan kepada anak. Caranya adalah dengan memberikan pengenalan-pengenalan sederhana untuk cinta kepada Allah, Rasulullah, dan mengenali alam sekitar. Dimulai dari hal –hal yang sederhana dan sering dilakukan dalam keseharian, misalnya seperti saat akan tidur, maka anak hendaknya diajarkan dengan bagaiaman ketika Rasulullah akan tidur. Hal-hal sederhana yang berulang inilah nantinya akan menjadi sebuah kebiasaan.

Sehingga saat anak sudah menginjak usia pemuda bahkan dewasa, kita meminimalisir anak memulai pembangkangan terhadap nilai-nilai agaman. Seperti, tidak mau shalat dan puasa, bahkan lepas hijab. Astaghfirullah.

Dalam hal ini pun orang tua wajib memberikan contoh, sebagai teladan langsung bagi buah hati. Jangan sampai anak belajar memupuk keimanannya hanya dari seolah atau bergantung pada TPA, namun kemudian orang tua lepas tangan. Justru saat di rumahlah praktis-praktis dari teori yang telah mereka pelajari di sekolah dan di TPA tersebut dieksekusi.

Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).

Pendidikan keteladanan adalah yang terbaik dalam menghadapi keresahan atau kegalauan dari anak milenial. Melalui keteladanan secara langsung juga bisa merubah karakter anak secara perlahan, bahkan akhlaq. Karena Rasulullah SAW pun juga diutus untuk memperbaiki akhlak umat. Namun, hal-hal seperti inilah yang terkadang kita sebagai orang tua lupa.

Sedangkan lifeskill sudah harus ditanamkan sejak usia dua tahun. Seperti anakmulai ditunjukkan saat ibu menyapu sehingga ia bisa memahami bagaimana menyapu, atau hal-hal lain dalam bidang sosial, fisik, dan psikis.

Serta, orang tua juga tidak dapat memaksakan cara pendidikan dan pendekatan seperti pada masa-masa kecil kita. Karena tentu dala mmenghadapi setiap anak akan ada cara-cara tersendiri, namun tentunya tetap dengan tujuan dan visi utama yang sama.

Ali bi Abi Thalib pernah berkata, “Anakmu bukan milikmu, tetapi milik zamannya. Sejarahnya, tantangannya! Jangan biarkan ia menjelma sepertimu. Biarkan dia memiliki semua jawaban bagi zamannya.

Belajar Menjadi Orang Tua Pemaaf

Sering kita dengar, sabar itu ada batasnya. Namun, sebagian orang berpenadapat bahwa sabar tak ada batasnya. Karena Allah Swt telah mencotohkan kepada kita bagaimana Dia adalah Sang Maha Pemurah dan Maha Pengampun.

Sering pula kita melihat bahkan mungkin juga menjadi salah satu pelaku di mana saat anak milenial sudah mulai nakal justru hanya kita marah-marahi. Kita hukum tanpa ada sebuah esensi yang bisa dipetik oleh si anak. Padahal, anak kita telah Allah siapkan dengan ‘wadah’ maaf yang luar biasa. Bayangkan, saat sore kita memarahi anak bahkan sampai mencubit, mungkin satu atau dua hari kemudian, anak tetap mau membalas sapaan kita, kembali merengek dan memeluk erat diri kita.

Saat anak melakukan kesalahan, cari tahu lebih dulu apa penyebabnya, mengapa bisa demikian, bukan langsung menghakimi mereka dengan sejuta omelan bahkan ‘permainan’ fisik.

Allah berfirman,

إِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Bila kalian memaafkannya, menemuinya dan melupakan kesalahannya, maka ketahuilah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 64:14).

Selesaikan masalah anak dengan koridor-koridor Islam, instropeksi kembali apakah kita sudah bisa memberikan teladan yang baik bagi mereka. Siapkan pintu maaf yang besar dan kesabaran yang luas dalam menghadapi sang anak. Karena ketika orang tua mau dengan ikhlas memaafkan anak, maka Allah akan ridho. Saat itu juga, tabungan benih keluarga berkah mulai dirasakan.

 

Naskah: Ayu SM

Sumber: Bunda Yirawati – Psikolog (saat TALK IDOL YDSF 9 Oktober 2019)

 

Baca juga:

Tips Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak | YDSF

Pemberian Nama Anak dalam Islam | YDSF

Meneladani Cara Nabi Mengatasi Konflik | YDSF

Berinfaq untuk Yatim

Parenting Islami: Cara Mendidik Anak Agar Bahagia | YDSF

YDSF Sidoarjo bersama PHBI Pondok Candra Indah Adakan Baksos di Sekolah Sampang Madura

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: