Undang-undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sudah disahkan sejak 17 Oktober 2014. Undang-undang ini memberi amanah kepada lembaga baru yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), untuk menangani proses sertifikasi dan labelisasi produk halal.
Sebelumnya secara terpisah, sertifikasi halal ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan labelisasi halal ditangani oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes No. 82/MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “halal’ pada label makanan.
Semangat baru UU ini cukup memberikan kelegaan karena mengubah kebijakan dari sukarela menjadi wajib. Dengan diwajibkan, sebenarnya akan bisa lebih memberikan perlindungan, tidak hanya bagi konsumen muslim, tetapi juga produsen, karena ada kepastian secara hukum sehingga pemerintah hadir lebih dekat memberikan perhatian.
Pada Perpres No. 83 tahun 2015 pasal 45 ditegaskan bahwa BPJPH berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh kepala Badan. Tugas Fungsional BPJPH disebut pada Pasal 47 Perpres No.83 th. 2015 ini antara lain:
(1) penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal; (2) pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; (3) pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal; (4) pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan jaminan produk halal; (5) pelaksanaan administrasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal; dan (6) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri. Selanjutnya pada pasal 818 peraturan menteri agama No. 42 th 2016 disebutkan susunan organisasi BPJPH antara lain: Sekretariat BPJPH, Pusat Registrasi dan Sertifikasi, Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, dan Pusat Kerjasama dan Standarisasi.
UU 33 tahun 2014 telah berjalan hampir lima tahun. BPJPH pun telah diresmikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada 11 Oktober 2017 yang lalu. Namun banyak yang bertanya-tanya soal kinerja BPJPH. Kepala BPJPH Prof. Sukoso mengatakan bahwa BPJPH belum bisa bekerja efektif jika belum ada peraturan turunan dari UU JPH.
Nah, peraturan pemerintah (PP) yang menjadi turunan dari UU JPH yang menjadi kendalanya. Penyusunan Rancangan PP, kata Sukoso telah berproses cukup panjang sejak Oktober 2014. RPP pun telah diparap oleh para menteri terkait, sejak Januari 2019 yang lalu dan telah dikirim ke Presiden melalui Kementerian Sekretariat negara. Namun sampai akhir bulan Maret 2019 belum ada tanda-tanda ditandatangani oleh Presiden. Inilah yang membuat banyak pihak tanda tanya.
Akhir Maret lalu, Halal Center Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menyelenggarakan seminar halal ke dua. Seminar ini menghadirkan nara sumber Kepala BPJPH, Prof. Dr. Ir. Sukoso; Sekretaris Umum MUI Provionsi Jawa Timur, H. Ainul Yaqin, S.Si. M.Si. Apt; Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Dr. H. Ikhsan Abdullah, SH, MH; dan direktur Halal Center Unair, Dr.drh. H. Mustafa Helmy Efendy. Seminar ini juga dihadiri para pimpinan halal center dari berbagai perguruan tinggi.
Ada beberapa rekomendasi dari pertemuan ini yang disampaikan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Poin pertama ialah supaya BPJPH fokus dalam membentuk kantor perwakilan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia.
Rekomendasi kedua, BPJPH mesti membentuk lembaga pemeriksa halal (LPH) di seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Tiap LPH harus dilengkapi dengan minimal tiga orang auditor halal. Poin ketiga, BPJPH hendaknya membentuk auditor halal. Paling sedikit, perlu 25 ribu auditor untuk melakukan sertifikasi produk usaha besar, kecil dan menengah (UKM), yang jumlahnya mencapai 4.6 juta unit--di luar yang saat ini telah bersertifikasi halal.
BPJPH agar segera melakukan kerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melakukan sertifikasi auditor halal. Dengan begitu, hasil dari pendidikan dan pelatihan yang dilakukan BPJPH benar-benar menjadi auditor halal, bukan sekadar calon auditor. Karena sesuai UU JPH, auditor halal harus disertifikasi yang melibatkan MUI.
Rekomendasi kelima agar BPJPH mempergunakan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang selama ini telah dipergunakan oleh LPPOM MUI, yakni HAS 23000 dan semua peraturan dan Ketentuan SJH yang selama ini berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Rekomendasi ke enam agar BPJPH mengadopsi sistem audit halal serta sistem lain yang sudah ada dan berlaku secara mutatis mutandis. Sehingga tidak menimbulkan beban dan persoalan baru bagi dunia usaha dan Industri.
Kita menunggu kerja BPJPH secara efektif dan nyata, semoga lembaga ini akan benar-benar memberikan harapan yang lebih baik lagi bagi umat Islam terkait dengan perlindungan untuk mendapatkan produk yang dijamin halal. (H. Ainul Yaqin, S.Si. M.Si. Apt.)
Baca juga:
Mengenal Riba dalam Kredit | YDSF
Membuat Nafkah Menjadi Berkah | YDSF
HALALKAH MAKANAN YANG MENGANDUNG RUM ATAU ESSENCE RUM? | YDSF
Cara Menghitung Zakat Profesi | YDSF
Perbedaan Zakat, Infaq, dan Sedekah | YDSF
Konsultasi Zakat Cepat Melalui WhatsApp YDSF