Nikmat dalam bentuk harta dan kekayaan merupakan rezeki yang memang harus kita usaha. Selain dengan doa tentunya yang selalu kita panjatkan. Karena berdoa saja tanpa disertai dengan ikhtiar juga akan sia-sia. Begitu kita telah mendapatkan nikmat rezeki, maka juga memang sudah seharusnya kita panjatkan syukur kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah berfirman, “lainsyakartum laaziidannakum…” (Qs. Ibrahim: 7). Dengan arti, “jika kalian bersyukur pasti akan Aku tambah ni’mat-Ku padamu.”
Salah satu wujud bersyukur dapat diawali dengan menjaga asupan makan kita dengan yang baik. Allah Swt berfirman,
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari ayat tersebut maka kita mengetahui bahwa sesuatu yang memang telah Allah jadikan baik untuk kita, maka harus kita ikuti. Sebegitu detilnya Islam mengatur tentang kehidupan kita.
Contoh lain, saat seorang musyrik bertanya kepada Salman Al Farisi, “Apakah benar Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai buang air besar dan buang air kecil?” maka Salman berkata, “Ya, beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau kencing.” (HR. Muslim: 262). Penjelasan sederhananya, hal tersebut tidak diperbolehkan apabila kita berada di tanah lapang. Namun, bila ada hijab dan pembatas ruang, maka beberapa ulama masih memperbolehkan bilamana ada kakus yang bila dibuka pembatasnya sehadap dengan Ka’bah.
Hal detil ini pun juga Allah sampaikan dengan adab pembelanjaan dan rezeki. Bahkan hal yang paling sederhana tentang bagaimana kebaikan seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya. Dari Sa’ad -Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa Sallam- bersabda kepadanya, “Apa pun yang engkau berikan berupa suatu nafkah kepada keluargamu, maka engkau diberi pahala, hingga sampai sesuap makanan yang engkau angkat (masukkan) ke mulut istrimu.” (HR. Al-Bukhari: 56 dan Muslim: 1628).
Karena semua yang kita miliki dalam dunia yang fana ini hanyalah sebuah titipan. Kesemuanya akan diminta pertanggungjawabannya. Baik itu ilmu, umur, dan harta kekayaan, akan ditanya dari mana kita mendapatkannya, untuk apa, hingga dibelanjakan kemana.
Saat mengusahakan rezeki yang ingin kita dapatkan, maka juga perlu dilandasi dengan dasar ikhlas. Serta selalu melangkah dengan lafadz Allah, bismillah. Keikhlasan ini lah yang menjadi sebuah awal bisa menjadikan nafkah atau rezeki yang kita dapatkan menjadi berkah. Memberangkatkan kerja dengan sebuah niat yang ikhlas.
Bukan hanya ikhlas, namun sifat itqon atau sungguh-sungguh juga menjadi kunci. Dimanapun kita ditempatkan dalam pekerjaan, maka kita harus ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan setiap tugas yang diberikan. Jangan sampai kita tinggalkan kewajiban yang seharusnya kita lakukan dan menjadi hal yang sia-sia. Karena sungguh Allah tidak menyukai mereka yang menyia-nyiakan.
Setelah mendapatkan rezeki atas ikhtiar dan doa, Allah juga telah mengajarkan kepada kita untuk tidak berlebihan dalam membelanjakan apa yang kita miliki. Sebagaimana Allah berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Qs. Al-Furqon: 67).
Pun kita harus membedakan hemat dan kikir, karena keduanya memiliki pembeda yang tak terlihat. Islam mengajarkan skala prioritas kepada kita dalam mengatur pola keuangan. Artinya, kita harus sudah tahu betul mana yang memang sebuah keperluan dan hanya sebuah kesenangan.
Prinsip ini pun juga dapat kita gunakan dalam bersedekah. Saat akan berinfak dan kita memiliki selembar seratus ribu, selembar Rp 50 ribu, selembar Rp 20 ribu, selembar 10 ribu, dan selembar Rp 5 ribu. Manakah yang ideal untuk kita infakkan? Jawabannya adala Rp 20 ribu. Karena ideal dan tidak berlebihan dalam konteks ini adalah masalah nominal. Allah tidak menyukai kita bersedekah hingga Rp 100 ribu, tetapi setelahnya justru banyak mengumpat atas harta yang baru saja kita keluarkan.
Kikir pun juga tidak bisa disamakan dengan zuhud. Karena zuhud berbicara tentang harta yang kita keluarkan untuk Allah. Misal, kita memiliki rezeki lebih senilai Rp 1 juta, dan memang ada keperluan untuk membeli bulpoin, maka belilah dengan harga yang rasional, Rp 200 ribu (misal), lalu sisanya infakkan di jalan Allah. Zuhud tidak berarti kikir untuk diri sendiri.
Rasulullah Saw juga pernah mengkhawatirkan bahwa harta yang berlebihan akan mendatangkan kesulitan. Bukan hanya itu, namun juga bisa memunculkan sifat ifrat atau berlebihan dan terlalu boros. Menjadi konsumtif dan dikalahkan oleh nafsu belaka. Padahal Allah pun tak hanya mengingatkan kita dalam satu ayat saja, dalam Qs. At-Talaq ayat 7, Allah berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Belanjakanlah harta kita sesuai kemampuan, begitulah maksud dari ayat di atas. Jangan sampai memaksakan dan menuruti nafsu yang justru dapat menyusahkan kita di kemudian hari. Misalnya, kita memiliki gaji yang memang hanya cukup untuk membeli motor dan keperluan bahan bakarnya, jangan kita paksakan dengan membeli mobil, cicilannya berat pun kebutuhan bahan bakar dan perawatannya juga lebih mahal.
Bentuk syukur hendaknya juga jangan kita rasakan sendiri. Makan di tempat yang terlalu mewah untuk memuaskan batin sendiri, contohnya. Padahal, akan lebih hemat dan sehat bila masak sendiri. Kecuali, kita ke restoran dengan berbagi bersama anak-anak yatim atau saudara-saudara kita yang hidupnya kurang beruntung.
Bahkan, malaikat akan selalu mendoakan mereka yang gemar bersedekah pada tiap harinya. Menurut sebagian ulama, para malaikat akan mendoakan orang yang gemar bersedekah pada tiap datang waktu maghrib. Beginilah doa para malaikat untuk hamba-Nya yang rajin membelanjakan hartanya di jalan Allah:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)
Ikhtiar dan doa akan mengantarkan kita pada rezeki. Ikhlas dan selalu ingat pada Allah akan mengantarkan rezeki kita menjadi sesuatu yang berkah. Aamiin. (ASM)
Baca juga:
DEFINISI REZEKI BERKAH DALAM ISLAM | YDSF
HUKUM BAYAR ZAKAT ONLINE DALAM ISLAM
Bayar Zakat untuk Orang yang Meninggal | YDSF
Cara Menghitung Zakat Profesi | YDSF
Zakat Sebagai Pengurang Pajak | YDSF
Konsultasi Berzakat Cepat Lewat WhatsApp