Telah tiga kali lebaran kita jalani di tengah pandemi Covid-19 diiringi
beragam pembatasan sosial. Tentunya, itu sangat memengaruhi berbagai sisi
kehidupan bermasyarakat. Berbagai kegiatan sosial dibatasi.
Dampak lainnya, meredupnya budaya silaturahmi serta menurunnya kemampuan
bersosialisasi. Bagi sebagian orang, perlu beberapa waktu untuk beradaptasi,
lantaran bukan perkara mudah baginya bila tiba-tiba harus bersosialisasi.
Tereduksinya momen silaturahmi terjadi secara kualitas maupun kuantitas.
Secara kualitas, silaturahmi yang kita lakukan pada era pandemi terbatas hanya
dalam bentuk komunikasi media sosial.
Teknologi memang memungkinkan dan memudahkan berkomunikasi. Namun, tidak
dapat dimungkiri bila mengurangi nilai bersilaturahmi. Akibatnya, banyak etika
dan norma terpangkas yang memengaruhi kualitas silaturahmi.
Selanjutnya, jika dilihat secara kuantitas, pandemi Covid-19 memunculkan
beragam kebijakan baru seperti pembatasan mobilitas sosial. Akibatnya kuantitas
silaturahmi bertatap muka secara langsung, semakin menurun dan jarang
dilakukan.
Sekarang, pembatasan sosial secara fisik sudah tidak ada lagi. Inilah
saatnya kembali memupuk dan menumbuhkan wujud silaturahmi. Seperti disampaikan
Pembina YDSF Ustadz Muhammad Jazir, ASP. Beliau mengatakan, Indonesia bisa utuh
dan merdeka lantaran kuatnya ikatan ‘kesetiakawanan’.
“Di dalam struktur saat negara kita berdiri, saat itu dalam situasi perang
dunia kedua, Indonesia bisa merdeka. Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki
modal sosial yang besar, namanya kesetiakawanan,” ujar Ketua Dewan Syuro Masjid
Jogokariyan Yogyakarta ini.
Cikal Bakal
Lebih lanjut dijelaskan Ust.
Jazir, kesetiakawanan merupakan cikal bakal terciptanya silaturahmi yang baik. Setia kepada istri, keluarga, kerabat juga
pertemanan adalah pemupuk silaturahmi.
Lebaran tahun ini sudah semestinya menjadi momen menabur kembali pupuk
silaturahim yang sempat pupus. Tidakkah kita rindu berkumpul bersama keluarga
dan karib kerabat. Bercengkerama dan berkunjung ke rumah tetangga, dan diakhiri
dengan saling meminta maaf. Atau berkumpul bersama teman sejawat dan rekan
kerja untuk saling berbagi cerita.
Bayangan mungkin tertuju saat berada dalam momen lebaran tahun-tahun
lampau. Saat itu, budaya silaturahmi kental dalam keseharian masyarakat. Bahkan
momen lebaran dirasa kurang jika bersilaturahmi belum khusyu’ dilakukan.
Ustadz yang aktif sebagai Tim Ahli Pusat Studi Pancasila Universitas Gajah
Mada itu lebih jauh mengatakan, sudah semestinya saat ini masyarakat kita
melakukan suatu gerakan ‘restorasi sosial’. Ada tiga nilai yang menjadikan
Indonesia merdeka, padahal kala itu Indonesia bahkan dunia mengalami krisis.
Mulai krisis ekonomi, politik, maupun sosial.
“Ada tiga nilai yang merata dalam masyarakat kita kala itu. Pertama, rela
berkorban. Kedua, adalah persatuan dan kesatuan, dan ketiga adalah
kesetiakawanan sosial,” ungkapnya.
Baca juga: Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Ketiga nilai kesatuan itu,
lanjutnya, masih bisa bertahan hingga tahun 70-an. “Semua rakyat memiliki
tatanan yang sama,” tutur Ustadz yang aktif membesarkan Masjid Jogokariyan
Yogyakarta sekaligus menjadikan sebagai Masjid Percontohan Nasional itu.
Lantas, beliau mencontohkan yang
terjadi di Kampung Jogokariyan. Saat pasaran Pahing dalam kalender Jawa, warga
menyiapkan kendi berisi air putih yang sudah dimasak. Kendi berisi air
disiapkan dengan maksud untuk menyediakan air minum bagi para blantik (pedagang
hewan) yang lewat jalan depan rumah mereka.
“Artinya dalam benak rakyat, ada
pikiran tentang orang lain. Dalam pikirannya, ia memikirkan kebutuhan orang
lain juga,” tandasnya.
Pondasi Silaturahmi
Upaya membenahi tatanan sosial
inilah yang sudah semestinya dilakukan dalam momen lebaran pasca-pandemi.
Semangat momen kemerdekaan Indonesia, sudah semestinya dibangun kembali. Peduli
sesama, rela berkorban, bersatu, dan kesetiakawanan adalah pondasi silaturahmi
yang sudah tercermin pada masyarakat Indonesia masa itu.
Menurut Ustadz Jazir, menurunnya
kualitas dan kuantitas silaturahmi terjadi lantaran masyarakat saat ini dirasa
tidak cukup memiliki kesetiakawanan dan jiwa sosial. Beliau mencontohkan
kondisi miris, kurangnya fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat. Atau,
adanya toilet umum yang malah dikenakan biaya pemakaian.
“Anda bisa bayangkan ketika
pedagang kecil berjualan pecel di sekitar mall besar, tiap kencing harus bayar
Rp2 ribu. Pasti mereka akan mencari tempat yang gratis,” ujar Ustadz Jazir,
yang juga Presiden Direktur BKPAKSI periode 2022-2027 ini.
Menurut Ustadz Jazir, uang Rp2
ribu bagi pedagang kecil merupakan sesuatu yang sangat bernilai. “Kalau dia lima
kali buang air, sudah Rp10 ribu. Padahal, dengan uang itu bagi pedagang kecil
sudah bisa membeli 1 kilogram beras, untuk makan keluarganya sehari,”
lanjutnya.
Ia kembali menegaskan, kepedulian
dan kepekaan kepada lingkungan sosial inilah yang kurang dipahami masyarakat
kita saat ini.
Begitu juga rumah-rumah megah
dengan pagar tinggi menjulang. Masyarakat mau lari ke mana ketika hujan, kalau
pagarnya sudah semakin tinggi dan tertutup. “Mereka mau ngiyup (berteduh) di
mana?!?” tegasnya.
Beberapa nilai yang sudah semakin
terkikis inilah yang semestinya dapat direstorasi atau ditata kembali.
Kepedulian terhadap sesama perlu diasah dan ditumbuhkan. Dengan tumbuhnya benih
kepedulian sosial, insya Allah memudahkan jalinan silaturahmi dengan
baik. Sudah seharusnya silaturahmi kembali diwujudkan sebagai bentuk
kebersamaan.
Sumber Majalah Al Falah Edisi 421 April 2023
Istiqamah Berbagi Kebaikan
Artikel Terkait:
HUKUM BAYAR ZAKAT ONLINE DALAM ISLAM | YDSF
Keutamaan Membaca Ayat Kursi Dan Anjuran Sedekah | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Nikmatnya Membaca Al Kahfi | YDSF
DOA AGAR DIBERIKAN HIKMAH & MASUK GOLONGAN SHALIH | YDSF
Saat Amal Baik Batal Dilakukan | YDSF