Sudah
sadarkah kita bahwa bekerja itu adalah salah satu bentuk bersyukur? Hari ini, tepat
1 Mei merupakan Hari Buruh atau May Day, di mana banyak para karyawan
terutama buruh menyuarakan aspirasinya agar terdapat peningkatan upah dan
kesejahteraan setiap tahunnya. Namun, apa betul kita sudah memberikan yang
terbaik saat bekerja? Atau sesederhana mengucap niat bekerja untuk beribadah saat
hendak berangkat setiap hari agar selalu dilimpahkan keberkahan, apakah sudah?
Dalam hadits,
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Berikanlah upah (gaji) kepada pekerja sebelum
kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan upahnya sebagaimana apa yang
dikerjakan.” (HR. Ibnu Majah).
Pada posisi pekerja pun tetap ada etikanya tersendiri.
Jangan karena sudah diberi upah sesuai ketentuan, kemudian bermalas-malasan
ketika bekerja. Setiap orang yang mencari nafkah, hendaklah selalu menjaga
semangatnya.
Islam menempatkan posisi kerja yang halal sebagai salah
satu bukti adanya keimanan. Memisahkan antara kerja dan iman berarti
mengucilkan Islam dari aspek kehidupan, dan membiarkan kerja berjalan pada
wilayah kemashlahatannya sendiri.
Dalam
bekerja, seorang muslim hendaknya memahami betul tujuan dari pekerjaan yang
dilakukan. Hendaknya ia bekerja bukan sekadar demi mendapatkan upah dan imbalan,
karena tujuan utama bekerja pada hakikatnya adalah demi memperoleh keridhaan
Allah Swt. Jika prinsip ini yang dipegang, maka hasil pekerjaan akan lebih
berkualitas.
Sebagai salah
satu aktivitas muamalat, kerja menduduki posisi penting dalam Islam. Kerja
dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik materi
atau non-materi, intelektual atau fisik, keduniaan atau keakheratan. Dalam Al-Quran,
Allah Swt. menyebut kata amal 'kerja' dan bentukannya sebanyak 602 kali. Hadist-hadist
Rasulullah saw. juga banyak menyinggung tentang keutamaan kerja.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman,
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Bekerjalah! Maka, Allah,
rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan
dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada
kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).
Etika
Bekerja
Etika kerja
menuntut adanya sikap baik budi, jujur, dan amanat. Dalam kerja ada kesesuaian
upah dan tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan, dan melakukan
perbuatan semena-mena.
Pekerja harus
memiliki komitmen serta motivasi untuk menjalankan kewajiban yang diamanatkan
kepadanya. Semua itu dikembalikan kepada tujuan utama bekerja, yaitu untuk
mencari ridla Allah Swt. Yang termasuk etika kerja islami, diantaranya bekerja
sesuai dengan yang diperbolehkan dan menghindari pekerjaan yang dilarang oleh
Islam, dan hendaknya seorang muslim mau bekerja sungguh-sungguh.
Dari sini
dapat ditegaskan bahwa pengertian kerja dalam pandangan Islam itu amat luas,
mencakup seluruh pengerahan potensi manusia. Bukan sekadar pengerahan potensi
untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal,
serta peningkatan taraf hidupnya sebagaimana pengertian kerja yang sering dipakai
dalam dunia ketenagakerjaan saat ini.
Semoga Allah
mengaruniakan semangat kepada kita untuk senantiasa melakukan yang terbaik
dalam hidup ini. Karena, itulah kunci meraih prestasi dalam segala hal.
Semangat bekerja keras harus ada dalam diri. Dengan bekal semangat dan kerja
keras, diharapkan kita mampu berbuat semaksimal mungkin bagi kemaslahatan umat,
keluarga, dan diri pribadi.
Baca juga: ETOS KERJA DALAM ISLAM | YDSF
Bekerja
Bentuk Bersyukur
Ada satu lagi
pontensi manusia yang bisa kita manfaatkan, selain potensi jasad, akal, yakni
potensi hati. Setelah kita sukses bekerja keras, bekerja cerdas, kita
juga harus menanamkan kepada diri sifat keikhlasan. Amalan hati ini memang
tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi, ketika kita merasa sudah mampu
menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik.
Setelah itu, kadangkala kita tidak menjaga hati, sehingga
terselip riya atau sombong. Menganggap bahwa keberhasilan itu adalah karena
usaha dan upaya berpayah-payah kita belaka. Padahal, kita harus tetap
mengikhtiarkan agar sikap ikhlas, mengharap keridlaan Allah, sebagai tujuan puncak
kita dalam segala aktivitas.
Perlu kita pahami, bahwa potensi fisik, akal, dan hati harus
bersinergi secara seimbang. Salah satu tidak boleh terlalu mendominasi yang
lainnya. Fisik saja, tentu lelah yang akan didapatkan. Akal saja, bisa jadi
berbuah kesombongan. Hati saja, tentu tak akan menghasilkan apa-apa, sebab kita
diharuskan berikhtiar dengan optimal. Sebab karunia Allah tidak datang begitu
saja tanpa ada usaha dari setiap makhluknya.
Oleh karena itu lah, bekerja juga bisa dikatakan sebagai
wujud rasa syukur kepada Allah Swt. Dari karunia Allah berupa fisik dan akal
yang sehat, setiap manusia bisa beraktivitas hingga bekerja untuk meraih rezeki
yang halal. Apabila tubuh yang sehat ini, hanya digunakan untuk
bermalas-malasan, maka sama saja kita tidak mensyukuri nikmat Allah Swt.
Allah berfirman, “Para jin itu membuat untuk Sulaiman
apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan
piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di
atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’: 13).
Semoga Allah Swt. senantiasa menjaga semangat kita dalam
bekerja dan meluaskan rasa syukur kita. Aamiin.
Disadur dari Majalah Al Falah Edisi November 2011
Sedekah Mudah
Artikel Terkait
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
RELA LEPAS HIJAB UNTUK PEKERJAAN DALAM HUKUM ISLAM | YDSF
KERJA (ITU) IBADAH | YDSF
AMALAN IBADAH PEMBUKA PINTU REZEKI | YDSF
EMPAT CARA MENJEMPUT REZEKI | YDSF
DOA MEMOHON REZEKI YANG BERKAH DAN UMUR PANJANG | YDSF