Pendidikan yang Mendewasakan | YDSF

Pendidikan yang Mendewasakan | YDSF

2 Mei 2023

Pulang dari shalat isyak di Masjid An-Nur, Ayah bertanya kepada Irvan. “Apa komentarmu tentang ceramah Fikri tadi?”

“Yang menarik bukan isi ceramahnya, tapi keberaniannya berceramah. Di podium, di hadapan puluhan jamaah.”

“Setuju. Anak itu baru kelas 2 setingkat SMP. Dia mondok di pesantren. Ayah membayangkan, empat tahun lagi, dia akan menjadi pendakwah yang baik. Ayah perhatikan dia berani memandang keliling ke seluruh jamaah.”

“Sesekali Irvan perhatikan dia berusaha mengajak dialog jamaah. Luar biasa itu!”

“Setiap Ramadhan, pesantrennya mengirim para santrinya berdakwah selama sebulan penuh ke daerah-daerah. Bahkan sampai ke Singapura. Mereka wajib berangkat sendiri, tidak boleh diantar. Hanya berbekal alamat masjid atau tokoh masyarakat di daerah tujuan.”

“Barangkali itu yang dinamakan pendidikan yang mendewasakan,” sergah Irvan.

“Maksudmu?”

“Bukan sistem pendidikan yang memperlakukan secara terus menerus anak didiknya sebagai kanak-kanak. Irvan merasakan itu. Sekitar 12-14 tahun, sejak TK sampai SMA, kita hanya dipersiapkan untuk memasuki jenjang perguruan tinggi. Itu artinya sampai umur 18 tahun, kita masih diperlakukan sebagai anak-anak. Saat berusia 18-25 tahun baru dianggap memasuki dewasa awal. Baru awal. Belum dewasa beneran!”

“Boleh jadi karena mereka memang belum dewasa beneran!” kata Ayah.

“Pada zamannya Ayah, itu mungkin. Realitasnya sekarang anak-anak tumbuh dewasa lebih cepat. Kabarnya anak penempuan sekarang sudah menstruasi lebih dini. Bocah lelaki mimpi basah lebih cepat. Kondisi itu mestinya direspon oleh sistem pendidikan kita.”

“Masuk akal. Ketika anak-anak pada dasarnya sudah memasuki usia matang, namun masih diperlakukan sebagai kanak-kanak, mereka akan makin gelisah menuntut pengakuan. Para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip remaja, apalagi kanak-kanak. Mereka ingin segera memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, bahkan sudah dewasa.”

“Ayah benar. Mungkin karena dorongan itu sekarang banyak remaja bertindak seperti orang dewasa. Mereka tampil berperilaku yang dihubungkan dengan status dewasa. Merokok, minum minuman keras, narkoba, terlibat perbuatan seks. Remaja bingung atau kebingungan! Menurut pendapatku, mereka terbentuk oleh proses pendidikan yang salah. Sistem pendidikan yang tidak mendewasakan!”

“Padahal sependek yang Ayah ketahui, Ki Hajar Dewantara sudah membagi jenjang pendidikan menjadi empat. Taman Indria, Taman Muda, Taman Dewasa, dan Taman Pamong (Taman Guru). Yang masuk kategori “Taman Dewasa” umur 14-16 tahun. Sedangkan Taman Pamong 17-21 tahun. Itu dunia pendidikan kita dulu.”

“Berarti mulai dari mana ya salahnya?!?”

“Ayah pernah membaca tulisan DR Adian Husaini, Mohammad Natsir atau Pak Natsir, waktu sekolah di tingkat SMA Belanda (AMS), diwajibkan membaca minimal 36 buku untuk menghadapi ujian satu mata pelajaran saja.”

“Mahasiswa zaman now, cukup waktu wisuda berfoto dengan latar belakang poster almari penuh buku!”

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi Maret 2018

Istiqamah Berbagi Kebaikan

Artikel Terkait:
PERBEDAAN ZAKAT, INFAQ, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF
Doa Agar Diberikan Hikmah & Masuk Golongan Shalih | YDSF
PIPANISASI AIR DAN PAKET SEMBAKO YDSF UNTUK PENYINTAS GEMPA CIANJUR
Sedekah Atas Nama Orang Tua yang Telah Meninggal | YDSF
Niat Puasa Ayyamul Bidh | YDSF
ZAKAT DARI HASIL GAJI | YDSF
DAKWAH YDSF DI BALI
Saat Amal Baik Batal Dilakukan | YDSF

 

Riyadhus Shalihin Bab Taubat (BAGIAN 2) | Ustadz Isa Saleh Kuddeh


Tags: pendidikan, pendidikan yang mendewasakan, pendidikan untuk dewasa, pendidikan ydsf, ydsf

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: