Pulang dari
shalat isyak di Masjid An-Nur, Ayah bertanya kepada Irvan. “Apa komentarmu
tentang ceramah Fikri tadi?”
“Yang menarik
bukan isi ceramahnya, tapi keberaniannya berceramah. Di podium, di hadapan
puluhan jamaah.”
“Setuju. Anak itu
baru kelas 2 setingkat SMP. Dia mondok di pesantren. Ayah membayangkan, empat
tahun lagi, dia akan menjadi pendakwah yang baik. Ayah perhatikan dia berani memandang
keliling ke seluruh jamaah.”
“Sesekali Irvan
perhatikan dia berusaha mengajak dialog jamaah. Luar biasa itu!”
“Setiap Ramadhan,
pesantrennya mengirim para santrinya berdakwah selama sebulan penuh ke
daerah-daerah. Bahkan sampai ke Singapura. Mereka wajib berangkat sendiri,
tidak boleh diantar. Hanya berbekal alamat masjid atau tokoh masyarakat di
daerah tujuan.”
“Barangkali itu
yang dinamakan pendidikan yang mendewasakan,” sergah Irvan.
“Maksudmu?”
“Bukan sistem
pendidikan yang memperlakukan secara terus menerus anak didiknya sebagai
kanak-kanak. Irvan merasakan itu. Sekitar 12-14 tahun, sejak TK sampai SMA, kita
hanya dipersiapkan untuk memasuki jenjang perguruan tinggi. Itu artinya sampai
umur 18 tahun, kita masih diperlakukan sebagai anak-anak. Saat berusia 18-25
tahun baru dianggap memasuki dewasa awal. Baru awal. Belum dewasa beneran!”
“Boleh jadi
karena mereka memang belum dewasa beneran!” kata Ayah.
“Pada zamannya
Ayah, itu mungkin. Realitasnya sekarang anak-anak tumbuh dewasa lebih cepat.
Kabarnya anak penempuan sekarang sudah menstruasi lebih dini. Bocah lelaki
mimpi basah lebih cepat. Kondisi itu mestinya direspon oleh sistem pendidikan
kita.”
“Masuk akal.
Ketika anak-anak pada dasarnya sudah memasuki usia matang, namun masih diperlakukan
sebagai kanak-kanak, mereka akan makin gelisah menuntut pengakuan. Para remaja menjadi
gelisah untuk meninggalkan stereotip remaja, apalagi kanak-kanak. Mereka ingin segera
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, bahkan sudah dewasa.”
“Ayah benar.
Mungkin karena dorongan itu sekarang banyak remaja bertindak seperti orang
dewasa. Mereka tampil berperilaku yang dihubungkan dengan status dewasa. Merokok,
minum minuman keras, narkoba, terlibat perbuatan seks. Remaja bingung atau kebingungan!
Menurut pendapatku, mereka terbentuk oleh proses pendidikan yang salah. Sistem
pendidikan yang tidak mendewasakan!”
“Padahal sependek
yang Ayah ketahui, Ki Hajar Dewantara sudah membagi jenjang pendidikan menjadi
empat. Taman Indria, Taman Muda, Taman Dewasa, dan Taman Pamong (Taman Guru).
Yang masuk kategori “Taman Dewasa” umur 14-16 tahun. Sedangkan Taman Pamong
17-21 tahun. Itu dunia pendidikan kita dulu.”
“Berarti mulai
dari mana ya salahnya?!?”
“Ayah pernah membaca
tulisan DR Adian Husaini, Mohammad Natsir atau Pak Natsir, waktu sekolah di
tingkat SMA Belanda (AMS), diwajibkan membaca minimal 36 buku untuk menghadapi
ujian satu mata pelajaran saja.”
“Mahasiswa zaman now,
cukup waktu wisuda berfoto dengan latar belakang poster almari penuh buku!”
Sumber
Majalah Al Falah Edisi Maret 2018
Istiqamah Berbagi Kebaikan
Artikel Terkait:PERBEDAAN ZAKAT, INFAQ, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF
Doa Agar Diberikan Hikmah & Masuk Golongan Shalih | YDSF
PIPANISASI AIR DAN PAKET SEMBAKO YDSF UNTUK PENYINTAS GEMPA CIANJUR
Sedekah Atas Nama Orang Tua yang Telah Meninggal | YDSF
Niat Puasa Ayyamul Bidh | YDSF
ZAKAT DARI HASIL GAJI | YDSF
DAKWAH YDSF DI BALI
Saat Amal Baik Batal Dilakukan | YDSF