Mengenang Prof. Zaki, 'Saya Ingin Melihat' | YDSF

Mengenang Prof. Zaki, 'Saya Ingin Melihat' | YDSF

19 Juli 2020

Saya mengenal Prof. Mahmud Zaki sejak masuk YDSF di akhir tahun 2016. Sejak itu saya sering sekali berinteraksi dengan beliau sebagai ketua Pembina YDSF. Kadang saat beliau datang sendirian, ngobrol berdua, atau saat menjelang rapat. Namun yang paling saya ingat adalah saat terjun ke lapangan.

Profesor di bidang fisika ini selalu berpesan di setiap rapat pengurus YDSF, “Saya ingin melihat sisi penyaluran dana, harus optimal dan tepat.” Kalimat ini selalu beliau ulang-ulang.

Bahkan pernah kami presentasi dua jam menjelaskan penyaluran YDSF, satu-satunya yang tidak lelah dan selalu ingin tahu lebih detil adalah beliau.

 

Terjun Lapangan

Di usia yang sudah kepala delapan, penyuka atletik ini tidak luntur semangat untuk terjun langsung ke lapangan. Perhatian beliau paling tinggi adalah program Yatim. Beliau turut serta dalam penyaluran untuk puluhan panti asuhan di Pamekasan.

Ingin melihat langsung. Itu ciri laki-laki kelahiran Sumenep 4 Februari 1935 tersebut.

Bahkan beliau sering mengingatkan, “Di Surabaya, 110 lebih panti asuhan yang menjadi objek penyaluran. Kalau bisa ditambah, cari yang membutuhkan.”

Paling saya ingat adalah pemeriksaan objek pipanisasi air bersih di Pacet. Untuk pesantren Amanatul Quran dan warga sekitar. Desanya Cepokolimo. Medannya cukup menantang, di bawah bukit. Di tengah hutan. Tanah liat harus diinjak. Jika harus naik, maka harus jalan kaki sampai di titik sumber air.

“Saya ingin lihat,” begitulah perkataan sosok yang sering mengendarai mobil sendiri.

Di usia yang sudah 82 tahun saat itu, kita semua mencegah beliau mencapai sumber air. Hujan rintik turun, medan akan semakin sulit untuk ditempuh, sangat licin. Tiba di pesantren di tengah sawah kami memutar-mutarkan beliau melihat pipanya, tandonnya, air yang keruh dan sebagainya.

Tujuannya satu, waktu habis, hingga beliau mengurungkan niat. Bahkan kami sudah membuat video tentang sumber air. Menunjukkannya pada beliau yang mengangguk-angguk ketika melihatnya. Kami mengira Prof. Zaki sudah puas. Rayuan saya tidak mempan, selepas melihat video pendek langsung bertanya, “Kapan kita ke sumber air?!”

Semua menarik nafas dalam. Harus siap-siap untuk mendampingi. Kira-kira pukul 14:00-an melihat ke langit, mendung pekat, hujan rintik yang awet.  Bersama naik mobil menuju tempat yang lebih tinggi.

Sepuluh menit perjalanan harus turun. Hanya bisa dilewati sepeda motor. Beberapa motor sudah siap mengantar Prof Zaki dan lainnya. Semua mempersilakan. Ternyata dengan senyum khasnya menolak, “Tidak, tidak. Saya jalan saja sama bapak-bapak yang lain.”

Ada satu pengurus kami yang usia enam puluhan langsung geleng-geleng kepala, “Waduh, harus siap-siap kita.” Maksudnya adalah dirinya sendiri. Fisik rektor ITS dua periode itu cukup bagus. Masih kuat berjalan berkilo-kilo meter.

Persis seperti mencari jejak untuk kegiatan pramuka. Kami berbaris menelusuri jalan setapak. Sandal pun dilepas. Tongkat dibagikan satu kepada yang membutuh. Saya bagian depan untuk memeriksa apakah ada halangan yang membahayakan. Pak Machsun, kepala divisi pendayagunaan berada paling dekat dengan beliau.

Bahkan ketika menaiki jalan terjal, beliau tetap kukuh ingin melanjutkan. Keinginan melihat sumber air untuk penyaluran air bersih YDSF tidak surut. Perjalanan sekitar tiga puluh menit.

Bahkan ditunjukkan oleh tuan rumah, “Bapak yang itu sumber airnya,” sembari dilihatkan ke atas, “Ini airnya…” maksudnya biar tidak ke atas.

“Ayo sedikit lagi…”

Akhirnya semua sadar, beliau memang ingin melihat langsung. Sampai di bebatuan besar, tempat air mengalir dari celah-celahnya, beliau duduk dengan celana yang sudah disingsingkan. Melihat airnya, tangannya dijulurkan untuk menciduk, sedikit diminum, “Bagus ini…”

Barulah beliau puas. Lelah tidak tampak sama sekali. Masih sempat menunjuk-nunjuk batasan-batasan. “Semakin banyak manfaat, kami semakin senang.”

Di Lombok pun demikian, ketika YDSF bekerjasama membangun hunian sementara untuk gempa, beliau rela berangkat ke Lombok dan melihat rumah-rumah yang sudah dibangun. Wajah sumringahnya tampak ketika melihat masyarakat bisa berteduh di rumah yang dibangung donatur YDSF.

Satu waktu beliau survei program YDSF. Melewati tempat kelahirannya, Sumenep. Beliau minta berhenti di pemakaman keluarga, “Kalian di sini saja, saya yang turun.” Beliau ingin mendoakan keluarga besarnya.

Ketika kembali, beliau sembari tersenyum menyampaikan, “Saya nantinya juga mungkin akan tinggal di sini…”

Benar. Ketika beliau meninggal ambulance kami menderu untuk mengantar ke Sumenep, tempat kelahiran tokoh panutan keluarga Yayasan Dana Sosial Al Falah.

 

Oleh: Ma'mu Afani

 

Bayar Qurban Online:

 

 

Baca juga:

10 HAL PENTING DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK | YDSF

Harga Qurban Domba YDSF

MENGENANG BAPAK PROF. MAHMUD ZAKI | YDSF

Harga Qurban Sapi YDSF

Qurban untuk Orang Meninggal | YDSF

Ringkasan Fiqih Qurban | YDSF

10 HAL PENTING DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: