Kisah ini dimulai dari suatu kelurahan di kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Petobo. Desa Petobo adalah satu desa yang terdampak Likuifaksi (pencairan tanah). Efeknya, Petobo bagaikan tertelan bumi.
Hasan (nama samaran), seorang siswa SMA tinggal di Petobo bersama orang tuanya. Saat gempa mengguncang, Hasan tidak berada dirumah. Dia sedang mengikuti latihan pencak silat di SMA-nya. Ayahnya menderita stroke, dan selalu dirawat ibunya dirumah. Ketika gempa melanda, menurut kesaksian tetangga yang selamat, ibunya sempat berlarian di depan rumah berteriak minta tolong. Ibunya enggan meninggalkan suaminya yang sakit. Disaat yang bersamaan tanah mulai menjadi sebuah pusaran maut yang menelan mereka karena likuifaksi.
Panik, Hasan segera berlari pulang menuju Ayah dan Ibunya. Tragis, anak lelaki itu mendapati desanya menjadi lautan lumpur yang telah diaduk dengan bongakahan-bongkahan rumah bercampur menjadi satu. Dia belum bisa memastikan bagaimana kondisi orangtuanya karena posisi desanya masih sangat basah dan masih ada beberapa bangunan yang tertelan lumpur. Sehingga malam itu, Hasan tidak bisa mencapai rumahnya.
Keesokan harinya, Hasan langsung menuju lokasi rumahnya karena lumpur sudah mulai mengering dan beberapa alat berat sudah mulai diterjunkan. Hasan mulai mencari posisi rumahnya yang sudah tak berbentuk. Ia melihat salah satu sisi atap rumahnya dan berlari mendekatinya. Melihat eskavator yang sedang mengevakuasi tak jauh darinya, Hasan menghampirinya dan meminta pertolongan.
"Pak, minta tolong itu di bawah sana ada orangtua saya. Tolong bantu saya Pak!", pinta Hasan.
Bukannya mendapat pertolongan dan ketenangan, Hasan mendapati realita yang pahit melalui jawaban operator eskavator.
"Sini kau bayar dulu 300.000, nanti kubantu carikan," kata operator eskavator.
Sedih, kecewa, marah, ketakutan semua bercampur aduk. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Hingga akhirnya keesokan harinya, Hasan datang kembali ke lokasi dengan berbekal sebuah sekop pinjaman dan dengan sisa-sisa harapannya ia mulai mencari orangtuanya yang tengah tertimbun di bawah telapak kaki rapuhnya yang bergetar menahan setiap kesedihannya. Setiap ayunan sekop yang ia tancapkan, hati kecilnya pun begitu sakit terasa. Batinnya memberontak tak ingin menyerah dan membiarkan orangtuanya tertelan bumi. Tapi ia juga merasa bahwa apa yang ia lakukan tak mungkin bisa memberikannya hasil yang menggembirakan. Hanya dua hari ia bertahan untuk tetap mempertahankan keyakinannya bahwa ia bisa menemukan kedua orangtuanya. Ia pun menyerah dan mengikhlaskan peristiwa yang telah menimpa dirinya dan kedua orangtuanya.
Sahabat, Palu, Donggala masih sangat butuh bantuan kita. Masih banyak Hasan-hasan yang butuh kita perhatikan kehidupan dan pendidikannya.