Surat Ali Imran dalam Alquran adalah firman Allah tentang sebuah kisah. Yakni, tentang seorang ibu yang sangat mengharapkan anak laki-laki namun kemudian Allah justru menganugerahinya anak perempuan. Namun ibu tersebut tetap tawakkal pada Allah. Dia tak bersedih hingga anak perempuan tadi akhirnya tumbuh jadi seorang wanita sholeh.
Pada zaman Arab jahiliyah –sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Ragib As-Sirjani-- memiliki anak perempuan dianggap aib keluarga. Di antara tradisi buruk mereka pada waktu itu adalah mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Alasannya beragam: takut miskin (QS. Al-Isra [17]: 31), menjadi aib keluarga, dan sebagainya.
Saat Nabi datang, segala hal yang merendahkan martabat wanita secara bertahap dihapuskan. Dalam Islam, anak laki-laki maupun perempuan merupakan rezeki dari Allah yang perlu disyukuri. Apalagi, yang termulia dari kedua jenis kelamin itu bukan terletak pada fisiknya, tapi ketakwaannya.
Walaupun laki-laki memiliki keunggulan tertentu atas wanita (misalnya fisik), tapi bukan untuk dipertentangkan atau melahirkan sikap driskiminatif. Keduanya diciptakan untuk saling melengkapi dan bersinergi. Karena itulah, ketika orangtua dikaruniai anak --laki-laki atau perempuan-- sudah seyogianya bersyukur kepada Allah Swt.
Sebagaimana dialami oleh Istri Imran yang dalam keterangan kitab-kitab tafsir bernama Hannah (yang berasal dari keturunan Bani Israil). Kisahnya yang begitu mengharukan, diabadikan al-Qur`an dalam Surah Ali Imran ayat 35-37. Sebuah cerita yang menggambarkan seorang ibu salehah yang bertekad memiliki anak lelaki untuk dipersembahkan demi mengabdi kepada Allah Swt.
Perhatikan doa yang dipanjatkan Hannah, “Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku telah bernazar (anak) yang dalam perutku ini akan diperhambakan kepada Engkau . Sebab itu terimalah daripadaku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pendengar, lagi Mengetahui.” Demikian terjemahan Hamka dalam tafsir Al-Azhar dari surah Ali Imran ayat 35.
Pada masa itu, memang ada tradisi mempersembahkan anak laki-lakinya untuk mengabdi di tempat ibadah. Pada beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa pengabdian itu dari kecil hingga ia baligh. Ketika sudah dewasa, dia boleh memilih, melanjutkan pengabdiannya atau mencukupkannya.
Secara umum, anak laki-lakilah yang bisa mengemban tugas pengabdian itu. Mengingat, wanita banyak halangan dalam pengabdian, seperti haidh misalnya. Maka ketika Hannah memohon untuk dianugerahi anak laki-laki untuk diabdikan kepada-Nya, itu permintaan yang realistis dan wajar.
Takdir Allah berkata lain. Keinginannya mendapatkan anak laki-laki tak dikabulkan. Amat manusiawi jika dia merasa begitu sedih dan agak kecewa. Bayinya perempuan. Sebagai wanita salehah, Hannah tidak mau larut dalam kesedihannya. Karena bagaimana pun keinginannya, tidak akan terwujud tanpa izin Allah. Dan yang pasti Allah lebih tahu daripada dirinya mengenai bayi perempuan yang dilahirkannya. Bahwa bayi perempuan ini –kata Allah—akan mengungguli laki-laki di zamannya.
Hannah tawakkal kepada Allah Swt. Keinginannya tetap bulat untuk mengabdikan anaknya di tempat ibadah. Anak itu diberi nama Maryam yang dalam bahasa Bani Israil berarti ahli ibadah. Bersamaan dengan pemberian nama itu, sang ibu tak lupa mendoakan puterinya beserta keturunannya agar dilindungi Allah dari setan yang terkutuk.
Mengingat Imran –ayah Maryam—meninggal sebelum kelahirannya, maka puteri Hannah (Maryam) diasuh oleh Zakaria –yang merupakan suami dari bibinya). Maryam tumbuh dengan baik dan terjamin segala sesuatunya. Bahkan, seringkali Zakaria mendapati makanan sudah tersedia di tempat pengabdian Maryam.
Dua Pelajaran
Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disebut Hamka dalam tafsir al-Azhar (1994: III/161) mengambil dua pelajaran penting dalam dunia pendidikan dari kisah itu. Pertama, Maryam lahir dari keluarga yang saleh salehah. Dengan kata lain, ia berasal dari keluarga baik-baik. Kedua, orangtuanya (dalam hal ini Hannah) sangat perhatian terhadap pengasuh dan pendidik Maryam. Zakariya adalah pengasuh dan pendidik yang baik bagi Maryam.
Jadi dalam pendidikan, kedua hal itu menurut Hamka sangatlah penting. Dan itu sudah terpenuhi dalam pendidikan Maryam. Selain lahir dari kalangan yang baik dan saleh yang bisa berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa dan raganya, Maryam juga memperoleh pendidik yang baik pula. Baik di lingkungan keluarga maupun sekolah (dalam bahasa sekarang) keduanya sama-sama memberikan perangaruh positif bagi pertumbuhan jiwa dan raganya.
Sebagai tambahan yang tidak kalah penting dari dua pelajaran yang disampaikan oleh Buya Hamka adalah bagi orangtua. Boleh saja mendambakan anak laki-laki. Namun, ketika yang dilahirkan ternyata perempuan, maka sebagaimana Hannah, jangan pernah berkecil hati. Sebab, anak laki-laki atau perempuan itu sama-sama anugerah Allah yang harus disyukuri. Yang membuat keduanya unggul adalah takwanya kepada Allah, bukan semata jenis kelaminnya.
Sebagaimana Maryam, meski di mata sosial pada waktu itu perempuan dipandang sebelah mata, namun atas kehendak Allah, Maryam menjadi wanita yang salehah, taat beribadah yang mengungguli banyak laki-laki di zamannya. Bahkan, beliau dipilih sebagai ibu dari Isa yang kemudian menjadi Nabi Allah Swt.
Bisa pembaca perhatikan ‘skenario’ Allah pada Hannah. Awalnya beliau menghendaki anak laki-laki, namun pada kenyataanya perempuan. Dia pada awalnya sedih, tapi tak larut dalam kesedihan. Ia pasrah dan yakin bahwa kehendak Allahlah yang terbaik. Akhirnya, keteguhan dan kesabarannya dibalas berlipat ganda oleh Allah. Puterinya (Maryam) menjadi wanita pilihan yang meliharkan Nabi pilihan.
Sebuah pembelajaran luar biasa bagi para orangtua: yang terpenting bukan jenis kelamin anak, tapi sejauh mana orangtua bisa berperan dalam pendidikannya agar taat mengabdi kepada Allah Swt. Apapun profesinya. ***
Naskah: Mahmud Budi Setiawan
Sumber Majalah Al-Falah Edisi April 2019
Editor Nara
Baca juga
Mendekatkan Anak Kepada Masjid