Oleh Dr. H. Zainuddin MZ, Lc. MA (Anggota Dewan Syariah YDSF)
Secara etimologi, qurban berasal dari kata qaruba yang berarti kedekatan. Secara terminologi adalah upaya pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya dengan media penyembelihan ternak. Secara syar’iyah, binatang ternak yang dipaparkan hadits berupa domba, sapi dan unta. Sehingga hari itu dinamakan hari nahr (hari penyembelihan hewan), atau lebih populer dinamakan hari raya Adha (hari raya penyembelihan). Definisi seperti ini dipertajam dengan pernyataan Nabi yang mengatakan, “Dinamakan hari raya Fitri, karena setiap umat futur (makan), dan dinamakan Adha karena umat diharapkan menyembelih binatang qurban. Dengan demikian tidaklah dinamakan qurban apabila tidak ditandai dengan penyembelihan ternak dan pada kedua hari ini umat dilarang untuk berpuasa.”
Munculnya reinterpretasi qurban dengan memalingkan substansi (penyembelihan ternak qurban) tentunya tidak sinergi dengan pendefinisian qurban itu sendiri. Adapun secara teknis, dimana daging qurban dikemas sedemikian rupa sehingga muncul inisiatif rekayasa untuk pengalengan agar lebih berdaya guna dan lebih lama pemanfaatannya, tentu tidak berseberangan dengan isyarat hadits bahwa penyembelihan yang dimaksud bukan murni untuk dikonsumsi saat itu, namun ada peluang untuk juga dijadikan simpanan.
Ada kerancuan dalam membahas ibadah penyembelihan ternak karena pengertian qurban di berbagai referensi fikih sering tidak dibedakan. Padahal ibadah penyembelihan ternak dalam perspektif hadits setidaknya ada 4 macam:
1. Udhiyah: penyembelihan terkait dengan merayakan hari raya Idul Adha.
- Mukalafnya adalah atas nama keluarga (kolektif), bukan individu, walaupun juga boleh dilakukan secara individu.
- Hukumnya sunah. Bagi yang mewajibkan akan terkendala pada siapa mukalafnya, apa batasan kemampuan, apakah setiap tahun atau seumur hidup hanya sekali dan problem lainnya. Padahal ditemukan hadits shahih, ada tiga perkara bagi Nabi hukumnya wajib, namun bagi umatnya hukumnya sunah, di antaranya adalah Udhiyah. Maka dalil-dalil yang dipergunakan mewajibkannya perlu ditinjau kembali dan masih multitafsir.
- Distribusinya bebas, boleh kepada yang kaya dan miskin.
2. Hadyu: penyembelihan terkait dengan sukses pelaksanakan ibadah haji.
Qurban Hadyu, adalah penyembelihan ternak qurban terkait mensyukuri suksesnya ibadah haji, terlebih bagi mereka yang melaksanakan haji tamattu’ sehingga pelaksanaannya seusai mereka wukuf di Arafah.
- Mukalafnya, adalah individu pelaksana haji. Jika sekeluarga tujuh orang, maka qurbannya sebanyak tujuh ekor kambing, atau berserikat seekor sapi. Jika ada yang tidak mampu, maka solusinya diganti dengan puasa 10 hari, 3 hari sewaktu haji dan tujuh hari sepulang haji.
- Hukumnya, wajib atas individu pelaku haji.
- Distribusinya, hanya untuk orang miskin, walaupun sebagai wujud syukuran yang bersangkutan juga diijinkan ikut menikmati sebagian daging qurbannya. Itulah sebabnya aturannya sangat ketat, sehingga Nabi sewaktu haji menyuruh Ali untuk menyembelih qurbannya, tidak boleh dijual kulitnya, tidak boleh dijual bulunya, tidak boleh dijual sepatu ternaknya, tidak boleh dijual pakaian (tanda) ternaknya, bahkan penyembelihnya tidak boleh diberi upah. Semuanya disedekahkan, maka konotasinya adalah untuk orang miskin, bukan untuk orang kaya.
- Hukumnya, untuk haji tamattu’ disepakati wajib.
3. Dam: penyembelihan terkait dengan sanksi pelanggaran manasik haji.
Qurban Dam, adalah penyembelihan ternak qurban terkait dengan pelanggaran seseorang dalam manasik hajinya. Memang dendanya bervariasi berghantung pada jenis manasiknya.
- Mukalafnya, adalah individu pelaksana haji yang melanggar manasik hajinya.
- Hukumnya wajib atas pelanggar manasik haji.
- Distribusinya, hanya untuk orang miskin.
4. Aqiqah: penyembelihan terkait dengan tasyakuran kelahiran anak.
Qurban Aqiqah, adalah penyembalihan ternak qurban terkait syukuran atas kelahiran anak. Jika laki-laki dua ekor, jika perempuan satu ekor bagi yang mampu, Nabi saw. sendiri mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing hanya seekor kambing.
- Mukalafnya, boleh orang tuanya atau kakeknya.
- Distribusinya, bebas bagi orang kaya atau miskin.
- Hukumnya, ada yang menghukumi wajib, ada yang menghukumi sunah. Padahal ditemukan hadits shahih bahwa aqiqah tidak harus hari ke-tujuh.
Pada keempat jenis penyembelihan tersebut mempunyai prosesi dan persyaratan yang berbeda. Berangkat dari sinilah semestinya setiap hadits diletakkan dan dipergunakan secara proporsional. Kapan sebuah hadits yang terkait penyembelihan ternakdigeneralisasikan dan kapan sebuah hadits dipergunakan secara spesifik.
Sebagai contoh, tempat penyembelihan hadyu dan dam telah ditemukan tuntunan khusus. Yakni ketika jamaah haji masih berada di manhar (tempat penyembelihan qurban) di tanah suci. Maka tidak mungkin keduanya (hadyu dan dam) disembelih di tanah air Indonesia hanya karena pemikiran mungkin lebih manfaat atau lebih efisien dan sebagainya. Hal itu berbeda dengan udhiyah yang boleh disembelih dimana pun keberadaan kita.
Pada kasus hadyu dibebankan pada setiap individu, maka tujuh person orang yang berhaji, setiap individu terbeban penyembelihan seekor domba, dan mereka boleh berkongsi untuk hanya menyembelih seekor unta atau sapi. Hal ini berbeda dengan udhiyah, yang dibebankan kepada keluarga, bukan individu. Namun, kalau ada yang melakukan secara individu boleh-boleh saja. Apabila konsep keluarga dimaknai ‘keluarga besar’ YDSF misalnya, maka diperbolehkan setiap anggota urunan untuk ramai-ramai berhari raya bersama umat.
Untuk aspek pendistribusiannya pun jauh berbeda. Kalau hadyu dipertuntukkan al-qani’ wa al-mu’tar (orang miskin yang meminta dan tidak meminta-minta). Namun tidak sedemikian dalam pendistribusian udhiyah. Selain fakir miskin, orang kaya juga boleh untuk ikut merasakan kebersamaan dengan segenap umat untuk menikmati udhiyah.
Apabila kita jeli dapat membedakan berbagai nama penyembelihan ternak di atas, maka kita dapat memahami hadits yang menerangkan tidak boleh menjual kulit, mencukur bulu dan sebagainya. Apakah hadits ini dipergunakan dalam konteks hadyu atau dalam konteks udhiyah? Dari sya’nul wurud (konteks disabdakannya sebuah hadits) seorang alim dapat memahami konteks hadits larangan di atas adalah hadyu, bukan udhiyah. Hadits tersebut dinarasikan Ali ibn Abu Thalib ra sebagai amirul hajj (pemimpin rombongan haji) dari wilayah Yaman.
Kepada Ali, Rasulullah saw. memerintahkan untuk menyembelih hadyu dari rombongannya. Pesan Nabi saw. bukan hanya tidak boleh menjual kulitnya, dan tidak mencukur bulunya, namun juga diperintahkan untuk menyedekahkan pelananya, pakaian yang dikenakan pada binatang hadyu dan semua yang melekat pada binatang tersebut.
Penulis yakin artikel ini dapat dijadikan langkah awal untuk mendiskusikan lebih detil hal-hal yang terkait dengan penyembelihan qurban. Misalnya, sembilan kambing udhiyah dijual untuk dirupakan seekor sapi. Udhiyah disembelih bersama, dimasak bersama dan sisanya dibawa pulang masing-masing. Kulit udhiyah bisa dijual untuk dibelikan kambing lagi atau urunan untuk membeli hewan qurban dan sebagainya. Semoga dapat didiskusikan lebih lanjut.{}
Yuk Salurkan Qurban bagi saudara kita di plosok desa, Dengan Program Qurban YDSF menguatkan Aqidah dan mengeratkan Ukhuwah.
Kelebihan bequrban di YDSF
1. Hewan Qurban yang Sehat dan Sesuai dengan ketentuan Syar’i
2. Bobot Hewan Qurban yang terjamin, dengan harga yang stabil
- Kambing Minimal 30 Kg ( 1.995.000 )
- Sapi Minimal 280 Kg ( 17.500.000 )
- Sapi Patungan 2.500.000 ( 7 Orang )
3. Titik Salur yang tepat Sasaran
4. Penyaluran Lebih dari 35 Kota/Kab di Jawa Timur,
Jawa Tengah, Bali, Yogyakarta
5. Laporan Penyaluran Hewan Qurban yang Rinci + Foto Kegiatan Qurban
--------------------------------------------------------------------------------
Informasi Qurban :
Website : http://ydsf.org/event/Qurban
No Telp : 031 505 6650 / 54
No WA : 0813 3309 3725 / 081 615 44 5556
Rek Qurban di
BNI Syariah 0999.9000.27
a.n Yayasan Dana Sosial Al Falah