Assalamualaikum wr. wb.
1. Mohon dijelaskan jenis qurban udhiyah, hadyu, dam dan aqiqah. Karena banyak kesimpangsiuran dalam tata cara, antara pra, pas sembelih dan pascasembelih.
2. Banyak yang mempertanyakan hubungan antara udhiyah dan aqiqah. Adakah hubungannya? Misalnya aqiqah anak lebih dulu baru boleh berqurban? Atau dulunya belum diaqiqahi orang tua kini ragu mau berqurban? Terima kasih.
Ttd
Roni, Sidoarjo
JAWAB
1. Baik Udhiyah, Dam, Hadyu maupun Aqiqah adalah kategori “qurban”, yang didefinisikan “penyembelihan ternak qurban untuk media kedekatan kepada Allah subhanahu wa taala, dan jenis ternaknya telah dijelaskan secara rinci dalam syariat”, maka tidak mungkin keempat jenis qurban itu dengan menyembeli “ayam” misalnya dengan alasan keluarga tidak suka daging sapi, unta, atau kambing. Sedemikian pula rincian kuwantitasnya, juga telah dijelaskan secara detail.
>> Qurban Udhiyah, adalah penyembelihan ternak qurban terkait syukuran hari raya Adha.
- Mukalafnya, adalah atas nama keluarga (kolektif), bukan individu, walaupun juga boleh dilakukan secara individu.
- Hukumnya sunah. Bagi yang mewajibkan akan terkendala pada siapa mukalafnya, apa batasan kemampuan, apakah setiap tahun atau seumur hidup hanya sekali dan problem lainnya. Padahal ditemukan hadits shahih, ada tiga perkara bagi Nabi hukumnya wajib, namun bagi umatnya hukumnya sunah, di antaranya adalah Udhiyah. Maka dalil-dalil yang dipergunakan mewajibkannya perlu ditinjau kembali dan masih multitafsir.
- Distribusinya bebas, boleh kepada yang kaya dan miskin.
>> Qurban Hadyu, adalah penyembelihan ternak qurban terkait mensyukuri suksesnya ibadah haji, terlebih bagi mereka yang melaksanakan haji tamattu’ sehingga pelaksanaannya seusai mereka wukuf di Arafah.
- Mukalafnya, adalah individu pelaksana haji. Jika sekeluarga tujuh orang, maka qurbannya sebanyak tujuh ekor kambing, atau berserikat seekor sapi. Jika ada yang tidak mampu, maka solusinya diganti dengan puasa 10 hari, 3 hari sewaktu haji dan tujuh hari sepulang haji.
- Hukumnya, wajib atas individu pelaku haji.
- Distribusinya, hanya untuk orang miskin, walaupun sebagai wujud syukuran yang bersangkutan juga diijinkan ikut menikmati sebagian daging qurbannya. Itulah sebabnya aturannya sangat ketat, sehingga Nabi sewaktu haji menyuruh Ali untuk menyembelih qurbannya, tidak boleh dijual kulitnya, tidak boleh dijual bulunya, tidak boleh dijual sepatu ternaknya, tidak boleh dijual pakaian (tanda) ternaknya, bahkan penyembelihnya tidak boleh diberi upah. Semuanya disedekahkan, maka konotasinya adalah untuk orang miskin, bukan untuk orang kaya.
- Hukumnya, untuk haji tamattu’ disepakati wajib.
>> Qurban Dam, adalah penyembelihan ternak qurban terkait dengan pelanggaran seseorang dalam manasik hajinya. Memang dendanya bervariasi berghantung pada jenis manasiknya.
- Mukalafnya, adalah individu pelaksana haji yang melanggar manasik hajinya.
- Hukumnya wajib atas pelanggar manasik haji.
- Distribusinya, hanya untuk orang miskin.
>> Qurban Aqiqah, adalah penyembalihan ternak qurban terkait syukuran atas kelahiran anak. Jika laki-laki dua ekor, jika perempuan satu ekor bagi yang mampu, Nabi saw. sendiri mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing hanya seekor kambing.
- Mukalafnya, boleh orang tuanya atau kakeknya.
- Distribusinya, bebas bagi orang kaya atau miskin.
- Hukumnya, ada yang menghukumi wajib, ada yang menghukumi sunah. Padahal ditemukan hadits shahih bahwa aqiqah tidak harus hari ke-tujuh.
2. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kaitan antara Aqiqah dan Udhiyah, mukalafnya berbeda, dan tidak ditemukan hadits yang shahih seseorang mengaqiqahi dirinya sendiri, atau atas nama orang tua. Apalagi bagi mereka yang menghukumi sunah, maka orang tua tidak berdosa walaupun tidak mengaqiqahi anaknya. Maka seseorang boleh berqurban Udhiyah, walaupun dirinya merasa belum diaqiqahi oleh orang tuanya, sebagaimana dia diwajibkan berqurban Dam jika malanggar manasik haji yang sampai pada batas penyembelihan qurban, sedemikian pula diwajibkan qurban Hadyu jika berhaji tamatu’, walaupun dia belum diaqiqahi. (Ust. Dr. Zainuddin MZ, pakar tarsir hadits & Dewan Syariah YDSF).