“Kami tidak mengutus engkau melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” Itu pula yang diyakini Fadzlan Rabbani Garamatan, seorang dai asal Papua. Di internet, nama Fadzlan Garamatan identik dengan sebutan ustadz sabun mandi.
Ia bercerita tentang asal mula sebutan itu saat tim YDSF berkunjung ke Ponpes Nuu Waar yang ia pimpin di kawasan Setu, Bekasi. “Kami berdakwah sesuai keadaan. Kondisi alam di Irian memang begitu. Butuh 10 hari dari pedalaman menuju kota. Maka, pakaian adalah hal yang langka di sana saat itu,” ucap Fadzlan ketika mengenang era 1980an.
Selain itu, Fadzlan mengungkapkan misionaris menanamkan pemahaman koteka itu pakaian kebudayaan yang mahal harganya. “Juga ada upaya-upaya agar masyarakat Irian tetap bodoh, miskin dan tertinggal. Tujuannya agar potensi alam di sana bisa terus mereka kuasai,” tegasnya. “Islam ‘kan tidak mengajarkan demikian. Kami dekat dan bermain dengan mereka. Di awal, kami tidak bicara Islam tapi bicara kebersihan. Maka mandi adalah pintu masuk dakwah,” sambungnya.
Lebih Suka Nama Irian Ketimbang Papua
Fadzlan lebih suka nama Irian Jaya atau Nuu Waar. “Karena ini pemberian pendahulu. IRIAN punya arti Ikut Republik Indonesia Anti Netherland Pasti Jaya. Saya termasuk yang protes penggantian nama Papua,” ungkap pendiri sekaligus Presiden Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) ini.
Kenangan paling berkesan bagi Fadzlan adalah ketika masuk ke pedalaman untuk mengajari mandi. “Sebelum itu, mereka hanya mandi dengan lemak babi. Mereka juga biasa minum miras. Sering mereka mabuk hingga tertidur di jalanan bahkan di kandang babi. Ini yang pertama yang kami ubah,” jelasnya.
Ia ajak kepala suku mandi lalu samponya dituang ke kepala. Lantas ia tak mau membilasnya. Ketika disuruh membilas, dia menyahut, “Tidak, ini ‘kan wangi.” Ternyata kepala suku terkesan dengan aroma harum itu.
Dia biarkan busanya itu. Dia tetap pergi ke kebun dengan tubuh penuh busa. Lalu Allah turunkan hujan pada sore hari dan segarkan tubuhnya. Itu membuatnya nyaman saat tidur. Esoknya ia berkata, “Cara mandi yang Anak ajarkan kemarin itu yang betul. Belum pernah Bapak tidur enak seperti itu.” Bagi kepala suku besar, siapapun dianggap anak tanpa peduli ia pejabat ataupun tokoh.
Keesokannya harinya kepala suku mengundang seluruh warga yang tersebar di 28 kampung. Hadir saat itu 3.712 orang untuk belajar mandi. “Saya bagikan satu sabun yang diiris jadi empat agar cukup jumlahnya,” tutur Fadzlan.
Kemudian, Fazdlan shalat berjamaah bersama 19 dai lainnya di atas musola di atas panggung kecil dari kayu. Semua mengamati. Kepala suku bertanya, “Mengapa, Anak berdiri, angkat tangan dan mulutnya bicara- bicara?” Fadzlan menjawab, “Dalam sehari kami lima kali harus menghadap Tuhan. Kami menyerahkan punya jiwa dan badan kepada Tuhan.” Kepala suku menyahut lantang, “Ini baru agama yang benar.”
“Lalu mengana Anak dan teman-teman bongkok badan?” Fadzlan menjawab, “Di bawah kita ada tanah, pasir, hewan, dan tumbuhan yang harus dilindungi dengan baik.” Kepala suku menyahut, “Ini baru agama yang benar.”
“Lalu mengapa Anak tunduk mencium papan?” tanyanya lagi. “Kami merendah di depan Tuhan. Kami banyak dosa, kami menangis. Nanti kita akan juga mati dan jadi tanah,” jawab Fadzlan. “Itu mengapa Anak menoleh dan mulutnya bicara?” kejarnya lagi. “Itu agar kami tahu siapa saudara-saudara yang belum bisa mandi dan belum punya baju. Mungkin ada sakit, ada yang belum makan atau juga belum kenal. Kita harus bantu. Mungkin ada yang belum kenal Allah,” papar Fadzlan.
Seketika itu, kepala suku besar berpidato. “Hari ini kami senang. Anak- anak sudah mengajar agama yang benar.” Fadzlan terharu melihat ketulusan mereka. “Ribuan orang bersyahadat. Kami pun menangis,” tuturnya. “Langkah selanjutnya adalah memberi nama mereka. Lalu kami mengkhitan para pria. Mulai usia 7 bulan hingga 63 tahun,” paparnya.
Ada Yang Jadi Bupati dan Camat
Itu terjadi pada 1985. Atas izin Allah, banyak anak yang asli yang belajar di ponpes di Fak-fak, Wamena, dan Jayapura. “Agar kebiasaan yang buruk bisa dikurangi, maka kami juga bangun ponpes di Bekasi. Agar mereka bisa berkembang. Lalu mereka kuliah di Jakarta, Jogja, Medan, dll. Setelah itu, mereka harus kembali. Tapi mereka harus tuntaskan hafalan minimal 15 juz,” jelasnya.
Alhamdulillah, lanjut ia, sejak 1999 ponpes Nuu Waar telah melahirkan 2.500an pendakwah muda di Irian. “Ada yang jadi bupati, guru, tentara, camat, sekwilcam, bidan, perawat dan lainnya. Mereka tersebar di Fak-fak, Raja Ampat, Teluk Bintuni, Kaimana, Sorong Selatan, dan Boven Digul. Cita-cita kami adalah memberi hadiah HUT NKRI ke-100 dengan kado generasi qurani dari Irian yang siap membangun Indonesia,” pungkasnya.
Foto | naskah oki