Siapkan Kado HUT RI ke-100  dengan Generasi Qurani

Siapkan Kado HUT RI ke-100  dengan Generasi Qurani

19 Mei 2017

“Kami tidak mengutus engkau melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” Itu pula yang diyakini Fadzlan Rabbani Garamatan, seorang dai asal Papua. Di internet, nama Fadzlan Garamatan identik dengan sebutan ustadz sabun mandi.

 

Ia   bercerita   tentang   asal   mula   sebutan itu saat tim YDSF berkunjung ke Ponpes Nuu Waar yang ia pimpin di kawasan Setu, Bekasi. “Kami berdakwah sesuai keadaan. Kondisi alam di Irian memang begitu. Butuh 10 hari dari pedalaman menuju kota. Maka, pakaian adalah hal yang langka di sana saat itu,”  ucap  Fadzlan  ketika  mengenang  era 1980an.

 

Selain itu, Fadzlan mengungkapkan misionaris menanamkan pemahaman koteka itu pakaian kebudayaan yang mahal harganya.    “Juga    ada    upaya-upaya    agar masyarakat  Irian  tetap  bodoh,  miskin  dan tertinggal. Tujuannya agar potensi alam di sana bisa terus mereka kuasai,” tegasnya. “Islam  ‘kan  tidak  mengajarkan  demikian. Kami  dekat  dan  bermain  dengan  mereka. Di awal, kami tidak bicara Islam tapi bicara kebersihan.    Maka    mandi    adalah    pintu masuk dakwah,” sambungnya.

 

Lebih Suka Nama Irian Ketimbang Papua

Fadzlan lebih suka nama Irian Jaya atau Nuu Waar. “Karena ini pemberian pendahulu. IRIAN punya arti Ikut Republik Indonesia Anti Netherland Pasti Jaya. Saya termasuk yang protes penggantian nama Papua,” ungkap pendiri sekaligus Presiden Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) ini.

 

Kenangan paling berkesan bagi Fadzlan adalah ketika masuk ke pedalaman untuk mengajari mandi. “Sebelum itu, mereka hanya mandi dengan lemak babi. Mereka juga biasa minum miras. Sering mereka mabuk hingga tertidur di jalanan bahkan di kandang babi. Ini yang pertama yang kami ubah,” jelasnya.

Ia ajak kepala suku mandi lalu samponya   dituang   ke   kepala.   Lantas   ia tak mau membilasnya. Ketika disuruh membilas, dia menyahut, “Tidak, ini ‘kan wangi.” Ternyata kepala suku terkesan dengan aroma harum itu.

 

Dia biarkan busanya itu. Dia tetap pergi ke kebun dengan tubuh penuh busa. Lalu Allah turunkan hujan pada sore hari dan segarkan tubuhnya. Itu membuatnya nyaman   saat   tidur.   Esoknya   ia   berkata, “Cara  mandi  yang  Anak  ajarkan  kemarin itu yang betul. Belum pernah Bapak tidur enak seperti itu.” Bagi kepala suku besar, siapapun dianggap anak tanpa peduli ia pejabat ataupun tokoh.

 

Keesokannya harinya kepala suku mengundang seluruh warga yang tersebar di 28 kampung. Hadir saat itu 3.712 orang untuk belajar mandi. “Saya bagikan satu sabun yang diiris jadi empat agar cukup jumlahnya,” tutur Fadzlan.

 

Kemudian, Fazdlan shalat berjamaah bersama 19 dai lainnya di atas musola di atas panggung kecil dari kayu. Semua mengamati. Kepala suku bertanya, “Mengapa, Anak berdiri, angkat tangan dan mulutnya bicara- bicara?” Fadzlan menjawab, “Dalam sehari kami lima kali harus menghadap Tuhan. Kami menyerahkan punya jiwa dan badan kepada Tuhan.” Kepala suku menyahut lantang, “Ini baru agama yang benar.”

 

“Lalu mengana Anak dan teman-teman bongkok badan?” Fadzlan menjawab, “Di bawah kita ada tanah, pasir, hewan, dan tumbuhan yang harus dilindungi dengan baik.”   Kepala   suku   menyahut,   “Ini   baru agama yang benar.”

 

“Lalu mengapa Anak       tunduk mencium papan?” tanyanya lagi. “Kami merendah di depan Tuhan. Kami banyak dosa, kami menangis. Nanti kita akan juga mati dan jadi tanah,” jawab Fadzlan. “Itu mengapa Anak menoleh dan mulutnya bicara?” kejarnya lagi. “Itu agar kami tahu siapa saudara-saudara yang belum bisa mandi   dan   belum   punya   baju.   Mungkin ada sakit, ada yang belum makan atau juga belum kenal. Kita harus bantu. Mungkin ada yang belum kenal Allah,” papar Fadzlan.

Seketika itu, kepala suku besar berpidato.   “Hari   ini   kami   senang.   Anak- anak sudah mengajar agama yang benar.” Fadzlan terharu melihat ketulusan mereka. “Ribuan orang bersyahadat. Kami pun menangis,” tuturnya. “Langkah selanjutnya adalah memberi nama mereka. Lalu kami mengkhitan para pria. Mulai usia 7 bulan hingga 63 tahun,” paparnya.

 

Ada Yang Jadi Bupati dan Camat

Itu   terjadi   pada   1985.   Atas   izin Allah, banyak anak yang asli yang belajar di ponpes di Fak-fak, Wamena, dan Jayapura. “Agar kebiasaan yang buruk bisa dikurangi, maka kami juga bangun ponpes di Bekasi. Agar mereka bisa berkembang. Lalu mereka kuliah di Jakarta, Jogja, Medan, dll. Setelah itu, mereka harus kembali. Tapi   mereka harus tuntaskan hafalan minimal 15 juz,” jelasnya.

 

Alhamdulillah,   lanjut    ia, sejak 1999  ponpes  Nuu  Waar  telah  melahirkan 2.500an pendakwah muda di Irian. “Ada yang jadi bupati, guru, tentara, camat, sekwilcam, bidan, perawat dan lainnya. Mereka tersebar di Fak-fak, Raja Ampat, Teluk   Bintuni,   Kaimana,   Sorong   Selatan, dan Boven Digul. Cita-cita kami adalah memberi hadiah HUT NKRI ke-100 dengan kado generasi qurani dari Irian yang siap membangun Indonesia,” pungkasnya.

 

Foto | naskah oki

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: