Ahad (17/9/17), bada subuh di masjid Al-Falah Surabaya, mengadakan Gerakan Sholat Subuh Berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan kajian yang bertema Sejarah dan Kondisi Terkini Rohingya, dengan pembicara Moh. Rozaq Asyhari, S.H, M.H. dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM Indonesia). Ia mengutarakan banyak dimedia tersebar video-video, maupun gambar yang beredar tentang kekejaman junta militer Myanmar, dalam melakukan kekejamannya terhadap etnis Rohingya. Dan hal ini saat kami konfirmasi pada para pengungsi Rohingya di sana (Bangladesh), video dan gambar ini adalah benar adanya, tanpa editan, dan bukan video atau gambar Hoax (palsu). Jadi memang isu bahwa mereka (etnis Rohingya) bukan warga asli Myanmar, inilah yang sejak awal disampaikan oleh junta militer Myanmar. Dan akhirnya terjadilah tragedi kemanusiaan ini.
“Pengusiran di Rohingya sudah sejak lama terjadi, sudah ada 20 sekian operasi militer yang orientasinya adalah genosida (pembasmian massal) kepada etnis Rohingya, dan hal ini dapat dilihat dari banyaknya eksodus (meninggalkan kampung halaman) berpindah ke negara lain, dan puncak dari genosida ini yaitu pada tahun 2012 kemarin. Tapi konfirmasi tentang berapa jumlah korban penduduk Rohingya sampai saat ini belum diketahui secara resmi.” Jelas Sekjen dari PAHAM ini.
Di awal pemerintahan U Nu setelah merdeka tahun 1952, etnis Rohingya diberikan National Registration Card (NRC), setelah di pimpin oleh Junta Militer diganti dengan Temporary Registration card (TRC), yang di mana kartu ini hanya menunjukan bahwa etnis Rohingya ini diregistrasi (dicatat), tapi tidak menyebut bahwa ,mereka adalah warga negara Myanmar. Hal ini semakin kuat dengan adanya peresmian undang-undang Burma Citizens Law pada 1982. Setelah negara mengesahkan undang-undang tahun 1982 ini, maka sejak itu akhirnya negara secara resmi tidak mengakui, Rohingya sebagai warga negara. Dari total seluruh etnis di Myanmar ada 144 etnis dan yang diakaui sebagai warga negara hanya 135 etnis saja. Dalam hal ini etnis Rohingya tidak diakui sebagai salah satu etnis yang diakui sebagai warga negara.
“Sensus di Myanmar, bahwa tahun 1970an etnis muslim di Rakhine Rohingya ada 5 juta orang, pada tahun 2012 menjadi ada 1,5 juta orang, dan yang terakhir tahun 2017 ini diperkirakan yang tersisa hanya ada 750 ribu orang. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pernah menyebut bahwa Rohingya adalah etnis paling teraniaya di dunia.” Terang calon doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Ketika etnis Rohingya menjadi stateless (tanpa kewarganegaran), maka etnis ini tidak memiliki hak-hak sipil. Dan saat orang tidak memilikistatus kewarganegaraan, maka akses apapun seperti pendidikan, kesehatan, kerja, dan sebagainya juga akan sulit.
“Kita membuat aliansi strategis dengan YDSF sudah sejak lama, baik di SEAHUM (South East Asia Humanitarian Committe), Akim, KNSR. Jadi kita mitra mereka (YDSF), dan kami tahu betul kiprahnya, efektivitas, dana yang digalang oleh YDSF secara langsung dana yang akan disumbangkan kepada saudara-saudara muslim kita di Rohingya. Oleh karena itu apapun berapapun yang disumbangkan kepada YDSF, dari masyarakat Indonesia kami sangat mengetahui akuntabilitasnya. Saran saya terus kita bantu teman-teman Rohingya melalui YDSF.” Pungkasnya.