Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ustadz, saya seorang karyawan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Saya ingin bertanya, di kantor saya ada salah satu teman yang suka mengambil keuntungan dari konsumen dengan cara melebihkan tagihan atau denda pada konsumen tersebut. Kadang ia membagi keuntungan tersebut dengan saya atau karyawan lain. Mulanya saya tidak tahu, setelah saya dapat info dari teman lain, ternyata uang tersebut dari hasil tagihan yang dilebihkan, uang yang saya terima itu saya amalkan ke masjid atau saya sedekahkan. Maka bagaimana hukumnya uang itu ustadz? Bolehkah jika teman saya mengambil keuntungan dari konsumen? Apakah salah jika saya menerima uang itu? Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Aliya, Jember
Indah Putrri ip6092513@gmail.com
Jawab:
Pertama, dalam berinteraksi sosial, memang kita dituntut untuk khusnu dzan (berbaik sangka) kepada siapa pun, terlebih terhadap teman sejawat atau teman sekantor. Semua pemberiannya layak diterima dengan senang hati tanpa melihat atau mempertanyakan dari mana uang yang ia berikan itu. Sungguh tidak etis jika penerima hadiah (Anda) mempertanyakan sumber uang yang diberikannya, misalnya apakah itu hasil korupsi atau sumber haram lainnya. Maka uang yang Anda terima merupakan barang halal dan boleh Anda pergunakan untuk keperluan apa saja yang diizinkan syariat Islam, apalagi untuk didermakan atau diinfakkan ke masjid atau pembinaan pendidikan dan sebagainya, walaupun uang tersebut berasal dari pendapatan yang haram, dosanya bukan pada Anda, tetapi pada pemberinya.
Namun ketika Anda betul-betul mengetahui bahwa pemberian tersebut dari harta yang haram, (menurut keyakinan Anda), maka Anda tidak layak menerimanya. Karena bagaimana pun dari harta yang awalnya haram akan berdampak pada keharaman lainnya, walaupun untuk diinfakkan atau disedekahkan dan sebagainya.
Kedua, maka pertanyaan yang sangat prinsip, apakah perilaku teman yang memberi Anda itu betul-betul masuk kategori haram? Inilah yang perlu Anda pertajam. Menurut hemat saya, prilakunya sudah masuk kategori pemakan riba, hal ini sangat dikutuk dalam syari’at Islam. Bahkan yang dikutuk bukan hanya pelakunya, semua yang terlibat dengannya juga sama-sama mendapatkan ancaman yang berat. Hasil yang ia terima tidak akan barakah, bahkan kelak menjadi bahan bakarnya di api neraka, na’udzu billah min dzalika.
Ketiga, sekali lagi agar Anda periksa keyakinan Anda, sebab dalam transaksi jual beli atau pinjam meminjam, sangat bergantung pada kesepakatannya. Terus terang saya kurang jelas terhadap paparan pola pengambilan tambahan denda yang dibebankan kepada konsumen. Jika benar-benar perilaku teman anda termasuk pemakan riba, maka semampuanya Anda dapat menolongnya untuk tidak mengulangi perbuatannya. Namun jika perilaku teman Anda memiliki dasar kesepakatan, maka tidak layak menilai perilaku orang lain dengan kacamata Anda sendiri, lakukan diskusi sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Semoga persabahabatan Anda diberkati Allah Swt. Amin ...
Tambahan: Ada kasus yang menarik dari kisah nyata. Seorang yang dikenal suka main judi menginfakkan dana yang cukup besar kepada ta’mir masjid. Oleh takmir uang sumbangan itu ditolak karena dipersepsikan sumbangan itu hasil dari perjujiannya. Setelah pemberi bertanya, dan tidak mendapatkan jawaban dari pihak takmir, maka penjudi itu menunjukkan kuwitansi penjualan tanah orang tuanya yang diwasiatkan oleh orang tuanya untuk diinfakkan ke masjid tersebut. Berangkat dari cerita ini, maka berhati-hatilah menilai orang dan jangan menilainya dengan kacamata kita sendiri, sebaiknya diklarifikasikan terlebih dahulu. Semoga bermanfaat ...