Dahulu, ketika Adam belum tercipta, malaikat dan iblis hidup berdampingan. Keduanya berlomba dalam ketaatan, bersatu padu dalam kekhusyukan. Tak
ada kejahatan dan pembangkangan. Yang ada hanya kepatuhan. Perbedaan jenis dan ras tidak membuat nuansa ibadah terasa beda. Hingga hampirhampir
tidak bisa dibedakan mana yang malaikat dan mana yang iblis. Mana yang dari api dan mana yang dari cahaya.
Iblis yang kita kenal sebagai terlaknat dan terkutuk, dulunya memang ahli ibadah. Ahli sujud dan dzikir. Rival ibadahnya para malaikat. Bahkan ia menjabat sebagai penjaga tamantaman surga kala itu. Ia lebih dikenal dengan sebutan Azazil, saking rajinnya dia ibadah, hingga tak ada sejengkal tanah surga pun yang belum pernah ia sujudi. Hingga datanglah ujian pembeda. Allah Jalla wa ‘Alaa menciptakan makhluk baru bernama manusia, yang kemudian dikenal dengan Adam. Terbuat dari tanah, unsur yang berbeda dari kedua makhluk sebelumnya. Teranugerahi komponen yang berbeda pula, akal dan nafsu, juga ilmu dan pengetahuan. Yang dengan semua ini, makhluk ini diproyeksikan menjadi khalifah di muka bumi. Maka diperintahkanlah malaikat dan iblis untuk melakukan sujud penghormatan kepada Adam.
Mendengar perintah ini, malaikat serta-merta sujud seketika. Taat sepenuhnya dengan perintahNya. Memang sebelum Adam tercipta malaikat pernah bertanya
“Mengapa Engkau akan menciptakan makhluk perusak? Bukankah kami selalu bertasbih kepada-Mu?”.
Tetapi pertanyaan ini hanya sekadar ingin tahu, bukan ketidaksetujuan apalagi pembangkangan. Terbukti setelah Adam tercipta, mereka tidak menolak untuk melakukan sujud penghormatan kepada makhluk baru ini. Juga mengakui kelemahan dan ketidakmampuan mereka menjawab soal ujian ketika Allah menguji antara Adam dan malaikat dalam hal keilmuan. Mereka berucap
“Maha suci Engkau. Kami tidak mengetahui apapun kecuali apa yang Engkau beri tahu. Sungguh Engkau maha mengetahui lagi bijaksana” (QS Al-Baqarah : 32).
Pengakuan yang indah. Tanpa angkuh dan malu.
Lain malaikat, lain pula iblis. Respons yang ia berikan berbeda. Ia langsung menolak untuk bersujud hormat kepada Adam. Meskipun Adam memiliki ilmu, sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak membuatnya luluh untuk berhormat. Bahkan keangkuhannya membuatnya mengungkit asal muasalnya yang dari api dan juga prestasi-prestasi ibadahnya.
“Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api menyala, sedangkan dia hanya seonggok tanah”, ujar iblis dengan congkaknya.
Sebab angkuh dan congkaknya inilah ia terlaknat dan diusir dari surga. Malang iblis, ternyata ibadah yang selama ini ia kerjakan tidak membuatnya merunduk dan tawadhu. Malah semakin angkuh dan acuh. Merasa lebih baik dari yang lain. Ia lupa bahwa kemampuan melaksanakan ibadah juga taufik dari Allah. Ibadah yang ia kerjakan hanya didasari nafsu tanpa ilmu.
Mengaku Atau Angkuh?
Kita, sebagai anak cucu Adam, memiliki dua kecenderungan berbeda. Baik dan buruk. Akal dan nafsu. Sehingga tidak akan bisa menjadi selurus malaikat atau searogan iblis. Kita selalu dihadapkan pilihan kehidupan. Dengan ilmu diharapkan menuntun kita kepada pilihan yang tepat.
Dalam realita kehidupan, seringkali kita dihadapkan pada keadaan untuk memilih mengaku tidak tahu atau angkuh tak mau tahu. Seperti ketika ada informasi baru datang dari orang yang usianya lebih muda. Atau ketika ada ilmu dari orang yang strata ekonominya lebih rendah. Juga ketika ada teguran dari orang yang tingkat pendidikannya di bawah kita. Apakah kita mau angkuh tak mau tahu dan menerima kebenaran? Dengan dalih senioritas, tingkat kekayaan, tingkat pendidikan atau apapun itu.
Bahkan intensitas dan kuantitas ibadah pun tak layak kita sombongkan untuk menerima ilmu. Karena sebenarnya tak ada yang benar-benar kita miliki. Semuanya adalah anugerah. Kalaulah tanpa taufiq dan tadbir Nya tak mungkin kita tergerak untuk ibadah. Pangkat, jabatan dan strata apapun itu hanya ilusi. Bukan tingkat kita sebenarnya di mata Ilahi.
Bila sikap angkuh yang kita pilih, lantas apa bedanya kita dengan iblis yang menolak hormat kepada Adam dengan dalih ras? Atau Abu jahal yang menolak iman hanya karena gengsi kabilah? Bukankah masih ada pilihan lain yang lebih indah dan menyejukkan? Masih ada opsi untuk mengaku tidak tahu. Mengaku tidak mampu. Sadar kemampuan dan tidak menonjolkan ego diri untuk menerima ilmu baru. Menerima cahaya baru.
Ini yang disebut tawadhu’. Merendah untuk mengangkasa. Bukankah anutan kita, Rasul Muhammad alaihissholatu wassalam adalah sosok yang paling tawadhu, tidak ada keangkuhan sedikit pun. Beliau juga melalui haditsnya memotivasi kita untuk selalu bersikap tawadhu. “Tidaklah seorang bertawadhu karena Allah kecuali Ia mengangkatnya”.
Semoga kita senantiasa digolongkan dalam lingkaran orang-orang tawadhu dan haus akan ilmu. Aamiin.
Oleh : Muhammad Anfaul Ulum, Lc
Pembina asrama dan tahfidh STIDKI
Ar Rahmah Surabaya.