Oleh : Miftahul Jinan
Direktur Griya Parenting Indonesia, Lembaga Training dan Konsultasi Parenting
Mengapa banyak orangtua yang masih bergerombol di depan kelas anak-anak mereka, padahal saat ini sudah memasuki bulan ketiga dari tahun ajar baru? Mengapa beberapa ibu masih sering menyuapi anak-anak padahal mereka sudah duduk di sekolah dasar? Mengapa banyak orangtua yang mengunjungi anak-anak mereka
di pesantren kilat padahal sudah ada pemberitahuan tidak boleh dikunjungi selama masa nyantri? Mungkin satu jawaban untuk tiga pertanyaan di atas dan pertanyaan-pertanyaan lain yang semisal adalah “karena kami tidak tega”.
Kita sering memaklumi perasaan tidak tega ini sebagai hal yang biasa dan sudah semestinya. Bahkan parahnya ada sebagian orang memahaminya sebagai bentuk kasih sayang orangtua terhadap putranya. Sebaliknya orangtua yang membiarkan anaknya untuk belajar menghadapi kesulitan dianggap sebagai pribadi yang tidak mempunyai kasih sayang yang cukup pada putranya.
Padahal terlalu banyak keburukan yang ditimbulkan dari sikap tidak tega orang tua yang berlebihan dan bukan pada tempatnya. Di antara keburukan tersebut adalah:
Terhambatnya perkembangan kemandirian dan tanggung jawab anak, karena ia selalu dibantu dalam aktivitas yang sebenarnya harus ia kerjakan sendiri.
Anak-anak yang selalu dibantu biasanya tidak tahan menghadapi stres-stres kecil dalam hidupnya. Karena ia tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam menghadapi kesulitan kecil karena tak pernah terlatih menghadapi masalah.
Anak-anak tidak mempunyai kepercayaan diri yang kuat. Karena saat sukses melakukan sebuah aktivitas yang sulit tanpa bantuan orang lain akan membuat anak merasa bisa. Perasaan bisa ini tidak dimiliki oleh anak-anak yang selalu mendapat bantuan dari orangtuanya.
Anehnya adalah anak-anak yang selalu mendapat bantuan dari orangtuanya justru tidak memiliki rasa empati yang kuat pada orangtuanya.
Sikap tak tega tidak selalu identik dengan hilangnya perasaan kasih sayang terhadap anak. Bahkan kasih sayang kadang kala justru memaksa diri kita untuk bersikap tega. Seperti tega memberi obat yang rasanya pahit pada anak yang kadang membuatnya harus menangis panjang.