Zuhud Bukan Soal Kaya atau Miskin  | YDSF

Zuhud Bukan Soal Kaya atau Miskin  | YDSF

7 Oktober 2019

Murid yang hendak mengisi dirinya dengan ilmu telah lama belajar dan menimba pengetahuan dari seorang guru spiritualnya. Sang guru pun merasakan muridnya juga harus menimba ilmu dan pengetahuan pada guru lainnya.

"Apa kamu tidak ingin menimba ilmu dari guru selain aku," ujar sang guru. Datanglah pada kawanku, beritahukan padanya bahwa kau adalah muridku dan sampaikan pula salamku padanya.

"Baik guru. Aku akan datang pada seseorang tersebut dan akan aku sampaikan salam," jawab sang murid. Maka pergilah sang murid meninggalkan gurunya yang sehari-bekerja pencari ikan itu. Pada guru tersebut dia telah begitu banyak belajar tentang kesederhanaan yang itu baginya merupakan perwujudan dari zuhud. Sementara pada teman gurunya tersebut, sang murid juga diminta belajar tentang zuhud.

Sampai di tempat yang diarahkan gurunya tersebut, sang murid terkesima. Kediaman tempat teman yang guru tersebut begitu megah, seperti istana. Sehingga dalam hatinya murid itu mulai ragu tentang kezuhudan teman sang guru tersebut.

Saat bertanya mengenai pemilik rumah, murid tersebut medapati bahwa yang bersangkutan sedang tidak di rumah karena sedang menemui seorang Amir atau pejabat sebuah kerajaan. Sang murid semakin ragu untuk belajar zuhud pada pemilik rumah tersebut. “Zuhud seperti apa jika memiliki rumah sedemikian megah dan selalu bergaul dengan pejabat,” seru sang murid dalam hatinya.

Pada akhirnya sang murid dapat bertemu dengan teman gurunya tersebut. Setelah beberapa hari bersama dan melihat bagaimana cara hidup teman gurunya tersebut, sang murid diperbolehkan kembali ke tempat asalnya. “Semoga engkau mempelajari sesuatu selama tinggal di sini dan melihat keadaanku. Sampaikan salamku pada gurunya. Dan sampaikan pula pesanku agar gurumu tidak terikat pada dunia dan berlakulah zuhud,” ujar pemilik rumah megah tersebut.

Sang murid akhirnya pulang dan kembali pada gurunya dengan penuh tanda tanya dalam hatinya. “Wahai guru aku ingin menyampaikan salam dari sahabatmu. Dan menyampaikan peringatannya agar engkau tidak terikat pada dunia dan berlakulah zuhud,” ujar sang murid.

Namun, sambung murid tersebut, bagaimana mungkin seorang yang memiliki rumah megah, banyak harta dan bergaul dengan para Amir mengingatkan engkau tentang sifat zuhud. “Bukankah engkau telah hidup dengan cara yang lebih zuhud daripada sahabatmu itu wahai guru,” kata murid itu.

Sang guru tersenyum mendengar pernyataan muridnya. “Sahabatku itu benar. Wahai muridku, sahabatku itu meski pun dikelilingi dunia, rumah yang megah, kekayaan yang melimpah dan bergaul dengan para Amir, namun tidak sedikit pun hatinya terpaut pada dunia. Sementara aku yang miskin ini, hidup serba kekurangan dan tidak banyak teman masih saja terikat pada dunia,” terang sang guru.

“Sungguh zuhud itu bukan tergantung pada kaya atau miskinnya seseorang. Melainkan pada hatinya,” pungkas sang guru.

Demikian cerita tentang seorang murid dan gurunya yang belajar tentang zuhud. Seperti kita ketahui, pada umumnya awam sering mengartikan zuhud sebagai keadaan yang miskin harta. Sehingga orang kaya dianggap tidak akan memiliki sifat tersebut.

Padahal, Zuhud tidak sesederhana itu. Kaitan zuhud bukan hanya soal kaya atau miskin harta. Melainkan sifat dan sikap yang tidak terikat pada dunia. Ada setidaknya tiga makna tentang zuhud yang harus kita pahami.

Pertama, zuhud adalah dengan kuat meyakini bahwa sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)

“Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud: 6].

Kedua, zuhud adalah sikap di mana seseorang lebih senang memperoleh pahala atas hilang harta benda dan hal-hal berkaitan dengan dunia lainnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya.  Seperti diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata dalam do’anya,

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا

“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan gharib”].

Ketiga, zuhud adalah sikap di mana seseorang memandang memandang sama pada orang lain yang memuji atau mencelanya ketika berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggap dunia sebagai sesuatu yang remeh dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia.

Karena sesungguhnya setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian. (nra)

 

 

Baca juga

 

KISAH BERTEMUNYA SAHABAT DENGAN SANG PENGEMIS

 

SEDEKAH ITU TIDAK MEMBUAT MISKIN

 

Rezeki Yang Allah Berkahi

 

Orang-Orang Yang Didoakan Malaikat

 

Kepada Para Pencari Nafkah

 

 

 

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: