Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) mengadakan seminar nasional dengan tema Potensi dan Tantangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia dalam Memberi Solusi Pemberdayaan Umat, Sabtu (7/3). Seminar yang diadakan di Graha Widya Bakti, Kampus STIESIA tersebut, dihadiri lebih dari 100 peserta dari berbagai latar belakang profesi.
Dengan key note speaker yaitu Prof. Dr. M. Nuh, DEA (Kepala Badan Wakaf Indonesia) serta pembicara kompeten lainnya yakni Kunrat Wirasubrata (Mantan Dirut IDB), Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi (Unida Gontor), Prof. Dr. Raditya Sukmana, SE.,MA. (Pakar Syariah Ekonomi UNAIR), Ir. Iwan Agustiawan Fuad, M.SI. (Badan Wakaf Indonesia/BWI), Muhammad Budi Pahlawan, S.H. (Ketua Majelis Wakaf & Kehartabendaan Muhammadiyah Jatim) serta Dr. H. Ahmad Djalaludin, Lc.MA sebagai moderator.
Bermula dari ide untuk mulai menggerakkan YDSF agar dapat mengelola pula wakaf, kegiatan ini pun pada akhirnya dibuka untuk beberapa undangan khusus (yakni mitra dan donatur YDSF). Mengingat masih minimnya pula pemahaman masyarakat tentang wakaf.
“Jadi, kami undang dari tiga pihak. Dari akademisi, praktisi, dan regulator. Jadi, nanti saling melengkapi. Praktisi itu best practice, yang sudah mereka lakukan itu apa, seperti Gontor dan Muhammadiyah, sudah ratusan tahun mereka melakukannya. Terus, dari regulator, pemerintah, bagaimana aturan-aturan mainnya. Maupun dari segi kajian-kajian akademisi, dari fikihnya, dari ekonominya seperti apa. Sehingga ini dapat menjadi referensi dan edukasi bagi masyarakat terkait wakaf itu sendiri,” papar Jauhari Sani, Staff Ahli YDSF.
Berbeda dengan pemahaman ZIS (zakat, infaq, dan sedekah) yang sudah mulai masif di kalangan masyarakat, pengelolaan wakaf masih dapat dikatakan minim. Wakaf yang selama ini diketahui dan dikelola hanya seputar 4M (masjid, musala, madrasah, dan makam).
Lebih dari itu, potensi wakaf sebenarnya sangat besar. Bukan hanya sekedar wakaf non tunai (dalam bentuk aset), tetapi juga ada wakaf tunai yang dapat lebih produktif. Pengelolaannya pun juga berbeda. Karena tingkat risiko wakaf uang lebih tinggi dibandingkan wakaf dalam bentuk aset yang lain.
“Jadi, untuk yang uang ini khusus. Dia harus mendapat izin secara khusus dari BWI (Badan Wakaf Indonesia-Red). Karena persyaratan jadi nazir uang (wakaf uang), itu berbeda dengan nazir aset yang lain,” ujar Prof. Dr. M. Nuh, DEA.
Berbeda dengan zakat yang mana si pengumpul (amil) langsung bisa mendapatkan 12,5% dari dana yang diterima. Wakaf bukan hanya sekedar dikumpulkan. Tetapi, juga harus dikelola dan dikembangkan. Barulah nantinya laba yang dihasilkan dari hasilnya, maka pihak pengelola hanya boleh mengambilnya maksimum 10% dari laba.
Sehingga, kolaborasi pengelolaan antara ZIS dan wakaf dapat menjadi sesuatu yang dahsyat manfaatnya bagi umat. Operasional wakaf dapat menggunakan dana dari ZIS. (asm)
Baca juga:
Contoh Istiqomah dalam Beribadah | YDSF
Perbedaan Pahala Shalat di Masjid dan Mushola | YDSF
Jamak Shalat Karena Sakit | YDSF
Keutamaan Membaca Ayat Kursi Dan Anjuran Sedekah | YDSF
MENJADI BULAN HARAM, BENARKAH RAJAB ADALAH BULAN ALLAH? | YDSF