Ada pertanyaan menarik tentang mendidik keturunan saleh: “Sejak kapan kita mempersiapkan pendidikan anak, terutama dalam hal kesolihannya?” Tentu ada sangat banyak jawaban benar untuk pertanyaan ini. Sebab setiap jawaban memiliki perspektif tersendiri yang bisa saling melengkapi dan mengayakan.
Sebagian orang akan mengatakan, pendidikan anak dimulai ketika sudah memasuki bangku sekolah. Sebagian juga akan menjawab, pendidikan anak harus sudah dimulai sejak anak lahir ke muka bumi. Sebagian lagi menyatakan, pendidikan anak sudah harus dimulai sejak anak dalam kandungan. Bahkan akan ada yang berpendapat bahwa pendidikan anak dimulai sejak seorang lelaki lajang memilihkan calon ibu bagi calon anak-anaknya, dan seorang perempuan lajang memilihkan calon ayah bagi calon anak-anaknya.
Memulai dengan Mencari Pasangan
Saya cenderung sepakat dengan pendapat terakhir. Sesungguhnyalah pendidikan anak bukan dimulai ketika anak sudah lahir, atau ketika anak sudah memasuki usia sekolah, namun jauh sebelum itu. Pendidikan anak dimulai sejak seorang lelaki memilih calon ibu bagi calon anak-anaknya, serta seorang perempuan memilih calon ayah bagi calon anak-anaknya. Di sini sebaiknya sudah mulai ada kesadaran pendidikan anak.
Kisah berikut ini sering saya jadikan ilustrasi tentang pentingnya kesadaran dini dalam proses menjadi orangtua. Glenn Doman --founder The Institute for The Achievement of Human Potential (IAHP)-- menuturkan kisah seorang ibu yang bertanya kepada ahli perkembangan anak tentang mulai kapan ia harus mendidik anaknya.
“Kapan anak ibu akan lahir?” tanya sang ahli.
“Oh, anak saya telah berusia lima tahun sekarang,” jawab ibu.
“Cepatlah ibu pulang. Anda telah menyianyiakan lima tahun yang paling baik dari hidup anak Anda.”
Kisah itu diangkat dari pertanyaan, “Kapan mulai mengajar anak membaca?” Apabila kita perluas dalam bahasa pendidikan, maka pendidikan anak dimulai bukan saja begitu bayi telah lahir, atau ketika masih dalam kandungan si ibu. Ikatan perkawinan merupakan awal mula terjadinya pendidikan, dan awal mula pendirian laboratorium peradaban.
Dengan demikian pendidikan telah dimulai dari awal: pembentukan pribadi yang bertemu dalam ikatan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga. Pendidikan anak tidak saja dilakukan ketika anak sudah “siap” untuk menerima pendidikan, bahkan harus sudah disiapkan fondasinya jauh sebelum itu.
Interaksi Bermakna
Setelah berumah tangga, semua titik interaksi antara orangtua dengan anak adalah bagian dari pendidikan. Orangtua yang disiplin, rajin ibadah, rajin bekerja, rapi dalam penampilan, senang silaturahim, memuliakan tamu, bertutur kata sopan, lembut dalam pergaulan, menghormati pasangan, menyayangi anak-anak, merawat rumah dan lingkungan, semua itu menjadi interaksi yang bermuatan pendidikan kebaikan.
Sebaliknya, orangtua yang kehidupannya berantakan, malas ibadah, kasar dalam berbicara, senang mengumpat, suka memukul, tidak merawat rumah dan halaman, ruang keluarga dan kamar tidur yang porak poranda, memelihara pertengkaran dengan pasangan, suka membentak orangtua, itu semua menjadi interaksi yang bermuatan pendidikan keburukan. Walaupun menyekolahkan anak di sekolah agama, atau pesantren, namun ketika di rumah orangtua memberikan teladan negatif, akan menjadi pendidikan negatif pula bagi anak-anak.
Dalam proses pendidikan keluarga, yang terjadi haruslah sebuah pemberdayaan yang aktif. Di rumah tak sekadar terjadi transformasi pengetahuan secara sepihak dan searah dari suami kepada istri, atau dari orangtua kepada anak-anak, akan tetapi terjadi proses pembelajaran bersama sebagai wujud kesadaran kosmopolis manusia terhadap alam, dengan landasan kesadaran akan nilai-nilai Ketuhanan. Di rumah, semua saling belajar dan tumbuh berkembang bersama dalam kebaikan.
Interaksi pendidikan yang terjadi dalam keluarga tidak boleh terkungkung hanya kepada upaya untuk menghafalkan teori-teori atau mengumpulkan konsep-konsep. Tetapi harus sampai kepada dataran pencarian-pencarian makna serta hakikat yang lebih mendalam untuk mendapatkan pemahaman yang utuh akan hakikat kehidupan dan kemanusiaan, dengan landasan nilai-nilai Ketuhanan.
Bukan sekadar menemani anak-anak mengerjakan PR matematika dan menghafalkan rumus-rumus kimia, namun pembelajaran dalam rumah itu komprehensif dalam segala sisinya.
Model interaksi yang dibangun dalam keluarga amat menentukan model pendidikan yang terjadi di dalamnya. Keluarga hendaknya memiliki hubungan yang akrab dan intim satu dengan yang lain, karena akan memudahkan untuk proses penyerapan nilainilai. Keluarga yang harmonis, penuh cinta dan kasih sayang sesama anggota keluarga, hubungan yang mesra dengan saling menghormati, saling melengkapi, saling membantu, menjadi modal yang sangat kuat dalam membentuk interaksi pendidikan di dalam keluarga.
Segala sisi yang memungkinkan hasil pendidikan menjadi lebih baik, perlu mendapat perhatian dalam keluarga. Semua itu perlu dipersiapkan jauh-jauh hari, bahkan ketika masih lajang. Ketika lajang, seorang laki-laki dan perempuan harus terus berupaya memperbaiki diri, menjaga akhlak, meningkatkan kesholihan, dan terus berupaya melakukan kebiasaankebiasaan baik. Maka ketika sudah menikah, kebiasaan itu akan lebih mudah tertanam dalam keluarga.
Ketika lajang dan sedang mencari pasangan, hendaknya seorang laki-laki ataupun perempuan menjadikan iman dan akhlak sebagai kriteria pokok yang tidak bisa ditawar. Dengan begitu, setidaknya, mereka telah memulai untuk menjaga keturunannya, memulai pendidikan yang baik dalam keluarganya di masa depan.
Sumber Malajah Al Falah Edisi November 2019
Baca juga:
Walimatul ’Ursy dalam Islam | YDSF
KRITERIA JODOH DALAM ISLAM | YDSF
3 TIPS AMPUH MENJEMPUT JODOH IMPIAN | YDSF
Zakat Profesi atau Penghasilan | YDSF
Karakteristik Para Hamba yang Dicintai Allah | YDSF
WAKTU TERBAIK TERKABULNYA DOA | YDSF