Dalam sejarah Islam, ibadah Qurban tidak hanya dilaksanakan oleh orang-orang kaya. Uswah paling agung adalah Rasulullah Saw. Beliau yang hidup sederhana layaknya orang miskin, hewan Qurban beliau seperti standar saudagar kaya-raya. Tidak tanggung-tanggung 100 unta berkelas (HR. Ahmad).
Semangat Qurban juga datang dari para sahabat secara umum. Sebut saja Zaid bin Arqam, seorang sahabat Nabi yang sangat antusias menanyakan perihal Qurban kepada Rasulullah. Sahabat ini tidak terkenal sebagai sahabat kaya atau pedagang sukses seperti Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaydillah, dan Sa’d bin Abi Waqqash Radlyaalh `Anhum.
Suatu ketika ia dan beberapa sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, untuk apakah hewan Qurban ini?” Beliau menjawab: “Itu sunnah bapak kalian Ibrahim.” Mereka bertanya lagi, “Lalu kebaikan apakah yang akan kami peroleh darinya?” Beliau menjawab: “Setiap helai dari bulunya adalah kebaikan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan domba?” beliau menjawab: “Setiap helai bulu domba itu adalah bernilai satu kebaikan.” (HR. Ahmad).
Dalam kitab ‘al-Bayan fi Fiqh Imam Syafi`i’disebutkan bahwa penduduk Madinah semenjak masa Rasulullah melaksanakan Qurban di rumah masing-masing. Kegiatan ini terus berlangsung secara terus-menerus bahkan ketika Rasulullah sudah wafat. Tentu tidak semua penduduk Madinah kaya.
Nilai Ibadah Qurban
Selain sangat dianjurkan, ibadah Qurban memiliki makna-makna tersembunyi. Menyelami pesan Qurban tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang penuh semangat dan Uswah Nabi Ibrahim Alaihis Salam. Semenjak sebelum diangkat menjadi Rasul, putra Azar ini melawan arus masyarakat pada waktu itu. Simbul-simbul kesyirikan diratakan dengan tanah. Ia tidak memperdulikan apa kata orang tentang dirinya.
Ujian terberatnya adalah melaksanakan perintah Alah untuk menyembelih anak semata wayangnya. Konsekuensinya, bisa saja orang akan menyebutnya sebagai ayah durhaka. Namun perintah Allah itu tetap dilaksanakannya dengan ikhlas.
Konon, golok Nabi Ibrahim diasah sangat tajam hingga mampu membelah batu. Ada pesan tidak terkatakan dari Nabi Ibrahim yang harus diperhatikan. Jangan sekali-kali menganggap barang mahal jika digunakan pada jalan Allah. Harta apalagi yang lebih berharga dan dijaga mati-matian melebihi anak kandung?! Untuk mencapai derajat ini, manusia harus melepaskan diri dari cengkeraman materialisme; sebuah faham kecintaan membai buta terhadap dunia.
Mampu menyembelih nafsu hewani yang ada dalam dirinya. Juga memusnahkan egoisme dalam diri pribadinya. Hakikat Qurban yang sebenarnya tidak hanya terletak pada bentuk fisik sembelihan, tetapi makna instrinsik berupa peningkatan ketaqwaan. Dengan pribadi takwa itu, maka segala hal dilakukan karena Allah. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya…”(Qs. Al Hajj: 37)
Perubahan Qurban sang Khalil ini memberikan perubahan besar dalam ibadah umat manusia. Beliau memberikan makna baru terhadap Qurban. Qurban adalah jenis ibadah yang tergolong tua. Dalam catatan sejarah, Qurban dianggap hanya diperuntukkan kepada kekuatan yang dianggap Tuhan.
Arab jahiliyyah menyembelih kambing untuk berhala. Tradisi Mesir kuno menceburkan wanita ke Sungai Nil untuk dewa. Suku Kan`an, Irak, mengorbankan bayi kepada Dewa Ba`al.
Selain praktik tersebut bertentangan dengan prinsip monotheisme-tauhid, ritual tersebut hanya berjalan vertikal dan tidak horizontal. Artinya, Qurban itu hanya ‘dicicipi’ Dewa dan tidak menyentuh aspek kemanusiaan. Namun, dalam syari`at Qurban yang dimulai ayah Isma`il, ibadah Qurban tidak hanya menghubungkan hamba-Nya dengan Allah, tetapi juga mempererat hubungan antar sesama manusia.
Maka, makna baru Qurban bukan hanya ritual penyembelihan, tetapi semangat dan solidaritas untuk meringankan beban orang lain.
Semangat Berqurban
Qurban sang Khalil ini juga bertujuan menghapus ritual mengorbankan hak hidup manusia. Menghabisi nyawa manusia di zaman kuno dianggap ibadah luar biasa. Pada era ini, sebenarnya Qurban jenis ini secara maknawi masih menjadi konsumsi bagi beberapa komunitas adidaya.
Bahkan lebih kejam, karena bersembunyi di balik aturan-aturan internasional yang dibuat-buat. Mengorbankan manusia hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Tentu, dengan semangat Ibrahim, tindakan ini harus segera dihilangkan. Inilah kesempurnaan pendekatan kepada Ilahi.
Maka syari`at ini biasa disebut ‘Qurban’, yang memang bermakna “kedekatan sempurna”. Maka Allah menyebut Nabi Ibrahim sebagai “Khalil”; Sang Kekasih; orang yang sangat dekat pada-Nya. Totalitas penyerahan, kepasrahan, dan jiwa dan raga hanya kepada Allah secara bahasa biasa disebut ‘Islam’.
Maka beliau berkata ‘hanifan muslima’, lafal yang juga kita ucapkan setiap shalat. Ia juga masuk deretan Nabi yang bergelar “ulil azmi”; orang-orang yang bermental kokoh, berhasil melewati terpaan kerasnya perjuangan. **
Baca Juga:
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Makna Qurban dalam Islam | YDSF
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Hakikat dan Keutamaan Silaturahim
Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF
Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF