Seorang juragan ayam menugasi
Binsar, karyawannya untuk mengantar
21 ekor ayam ke pelanggan, penjual
soto yang laris. Karena karyawan
baru, ia dibekali alamat penjual
soto. Eh, dalam perjalanan sepedanya
oleng dan roboh. Ayam pun keluar dari
keranjang.
Orang-orang di sekitarnya
berusaha membantu menangkap ayam yang berhamburan ke jalanan. Tapi Binsar malah bersikap tenang-tenang saja.
“Ndak usah ditangkap.
Nanti mereka akan kembali ke sini!”
“Kok bisa?!?” tanya
seseorang.
“Mereka kan tidak tahu tujuannya. Alamatnya saya yang pegang!” ujar Binsar.
Cerita Irvan itu membuat ibu dan
ayah tersenyum. Putri sambil terkekeh
nyeletuk: Gak nyambung!
“Fenomena gak nyambung
seperti itu banyak terjadi dalam
kehidupan kita. Satu di antaranya gak
nyambung-nya Pendidikan sekolah
dengan apa yang diajarkan di masyarakat,”
tutur ibu. Tiba-tiba jadi serius.
“Apa yang dilarang guru di
sekolah, tersedia melimpah di
masyarakat. Guru melarang murid
merokok, tapi di luar anak-anak melihat begitu banyak orang dan remaja merokok!” kata ayah.
Pendidikan karakter, faktanya
makin tidak mudah diajarkan di
sekolah. Pendidikan agama bahkan
terbawa arus model pendidikan
kuantitatif. Diberi skor. Padahal
semestinya menggunakan penilaian kualitatif.
“Menurut pendapat Irvan, pada
dasarnya setiap anak sudah memiliki
karakter religius, jujur, toleran,
disiplin, kreatif, mandiri, cinta Tanah
Air, cinta damai, peduli sosial, dan sebagainya.”
“Sepakat! Menurut bahasa agama,
itu fitrah anak manusia,” tutur ibu.
“Karakter itu akan berkembang
baik kalau mereka melihat
contoh dari guru, orangtua, dan
masyarakat. Jika masyarakat memiliki nilai-nilai
positif, akan terbentuk karakter individu
yang baik,” kata Irvan diamini Putri yang
mengangguk-angguk.
“Sayang sekali anak-anak
kehilangan figur teladan. Putri
pernah membaca di suatu pelatihan
pengolahan sampah yang diikuti guru
dan murid, hanya murid yang aktif melakukan
pembuatan kompos. Guru hanya menonton.”
“Guru sebatas menyampaikan
nasihat. Tidak nyambung. Padahal
ketika membangun masjid, Nabi
Muhammad ikut mengangkat batu bata
bersama para sahabat,” kata ibu.
“Dan ketika ada acara memasak,
Nabi juga ambil bagian mencari kayu
bakar. Para sahabat sudah mencegah,
tapi beliau menolak hanya menonton.”
Jadi, sebenarnya tidak tepat kalua umat Islam ikut-ikutan mengatakan krisis keteladanan. Sebab ada Rasulullah Muhammad yang sudah dinobatkan Allah sebagai teladan terbaik. Juga nabi-nabi lainnya.
“Kita juga pernah memiliki tokoh
teladan, namanya Agus Salim,” kata
Putri membuat ibu dan ayah
terperangah. “Putri pikir beliau meneladani
Nabi Muhammad,” sambungnya.
“Lanjut!” kata ayah.
“Mohammad Roem menggambarkan sosok Agus Salim dengan mengutip pepatah kuno Belanda Leiden is lijden.
Artinya: Memimpin adalah Menderita.
Pak Roem menggambarkan betapa
zuhudnya Agus Salim. Hidup
keluarganya kurang uang belanja,
sering pindah rumah kontrakan.”
“Padahal Sarekat Islam yang
dipimpinnya termasuk partai besar di
zamannya,” sahut ibu.
Agus Salim adalah contoh pemimpin yang berani susah. “Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin sesungguhnya jalan menderita,” kata ayah.
Sumber Majalah Al Falah Edisi Agustus 2022
Zakat di YDSF:
Artikel Terkait:
BATAS PENGHASILAN WAJIB ZAKAT | YDSF
Definisi Rezeki Berkah dalam Islam | YDSF
PERBEDAAN NAZHIR DAN WAKIF DALAM WAKAF | YDSF
Doa Minta Rezeki Halal dan Berlimpah Sesuai Sunnah | YDSF
BOLEHKAH UMRAH TAPI BELUM ZAKAT MAAL? | YDSF
Jamak Shalat Karena Sakit | YDSF
BAYAR ZAKAT UNTUK ORANG YANG MENINGGAL | YDSF