Televisi Bukan Teman Anak

Televisi Bukan Teman Anak

8 Januari 2017

Ibu mengantar tamunya sampai di depan pagar, perempuan paro baya yang biasa disapa Bi Ijah. Irvan dan Putri yang mendengar pembicaraan Ibu dan Bi Ijah, segera menghambur.

“Kok sampai begitu parah ya Mam?” tanya Putri. “Sesungguhnya Ibu tidak tahu dan tidak paham. Ibu jadi takut membayangkan andai kita menghadapi masalah seberat itu.”

“Kok kita?!?”
“Yaa. Masalah yang dihadapi beliau bisa juga menimpa keluarga kita. Ternyata tidak selalu mudah menghadapi tuntutan anak!”

“Oh, kasihan Bi Ijah!”
“Bi Ijah merasa serba salah. Mau bersikap keras, khawatir disangka tak sayang anak. Kalau dituruti, di samping tidak baik, beliau memang berada dalam posisi tidak bisa menuruti permintaan putrinya.”

“Menurut Irvan, seharusnya ya jangan dituruti. Beri pengertian bahwa pekerjaan beliau hanya buruh cuci. Mana mungkin membelikan gadget seharga empat juta. Lagi pula, buat apa. Putrinya kan baru SMP!”

“Itu yang tadi Ibu sampaikan. Tapi itu tidak mudah. Sebab putrinya seperti hidup di awang-awang. Tidak memahami kondisi. Ibunya tidak berdaya karena putrinya mengancan minggat. Dan memang sudah pernah minggat,” tutur Ibu sedih.

“Irvan bisa memahami. Anak perempuan minggat, ibunya tentu membayangkan risiko besar yang bakal dihadapi. Itu yang membuatnya ketakutan dan merasa tidak berdaya.”

“Bi Ijah menduga putrinya terpengaruh gaya hidup teman-temannya,” kata Putri.

“Pengaruh jelek bukan hanya datang dari teman, Mam. Terlalu banyak menonton televisi juga bisa salah bergaul. Remaja biasanya tidak menyadari bahwa hampir semua tayangan televisi adalah semu atau rekaan belaka yang meninabobokkan pemirsanya.”

“Yang membahayakan, sinetron yang memamerkan hidup glamor, hidup dalam kemewahan. Tak tergambar sedikit pun bagaimana proses mencapai hidup serba glamor seperti itu. Tak ada kerja keras, tak ada keprihatinan. Seolah semua kemewahan itu datang begitu saja. Semuanya serba mudah!” kata Irvan bersemangat.

“Hiperealitas yang direkayasa televisi ini sungguh berbahaya. Coba lihat, berapa banyak remaja yang telah terjangkit virus glamor dari sinetron remaja masa kini.”

“Apa iya televisi bisa memengaruhi penonton?”
tanya Ibu.

“Ada hasil penelitianMam yang menyebutkan bahwa pemirsa televisi mampu mengingat 50% materi yang ditayangkan satu kali kali. Bayangkan kalau ditampilkan berulang-ulang,” kata Irvan.

“Putri pernah membaca, pemirsa masih mampu mengingat 85% tayangan setelah tiga jam kemudian. Bahkan masih tersisa 65% ingatan setelah tiga hari ditayangkan.”

“Kalau begitu penting mendidik anak-anak, remaja khususnya untuk bersikap cerdas menggunakan televisi. Kesadaran dalam menyikapi televisi itu bisa menjadi pagar dalam menghadapi serangan program televisi berkualitas rendah.”

“Kelompok yang paling perlu dilindungi adalah anak-anak dan remaja. Sebab mereka kelompok yang paling sulit membedakan dunia nyata dengan dunia semu yang dihadirkan media,” sela Putri.

“Ibu pernah membaca laporan Yayasan Pendidikan Media dan Anak (YPMA) Kidia, rata-rata anak Indonesia menonton televisi 3,5-5 jam sehari. Itu berarti sama dengan 127,5 - 1825 jam per tahun, padahal jam belajar anak SD menurut UNESCO tidak melebihi 1000 jam per tahun.”

“Menyedihkan ya. Pada saat budaya membaca belum terbentuk, budaya menonton sudah sangat kuat. Sedihnya lagi, kehadiran orangtua dalam mendampingi kehidupan anak kini semakin berkurang.”

“Orangtua perlu menjadwalkan jam menonton. Televisi bukan teman makan, teman bermain bagi anak!”

 Oleh: Zainal Arifin Emka

 

Baca juga:

Tips Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak | YDSF

Hukum Mengajak Anak Kecil ke Masjid | YDSF

Mengasuh Anak Generasi Milenial | YDSF

Berdonasi untuk Yatim

Parenting Islami: Cara Mendidik Anak Agar Bahagia | YDSF

Pintu Dosa di Era Digital | YDSF

Tips Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak | YDSF

Inilah 4 Cara Mendidik Anak Menjadi Pahlawan Secara Islami | YSDF

Segera Konsultasikan Zakat Anda di YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: