Energi Ramadhan yang dirasakan sebulan penuh oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, berdampak sangat positif terhadap mereka selepas Idul Fitri. Bukti sejarah dan pernyataan menunjukkan betapa dahsyatnya energi Ramadhan tetap dirasakan hatta pada bulan-bulan selanjutnya.
Ketika Ramadhan berakhir dan Idul Fitri tiba, yang dipikirkan oleh para sahabat bukan semata menikmati kesenangan dan kebahagiaan bersama sanak keluarga. Energi Ramadhan membuat mereka merasa cemas kalau amalan-amalan selama Ramadhan tidak diterima Allah. Karena itulah, selepas Idul Fitri mereka berdoa selama enam bulan setelahnya agar amalan mereka diterima (Ibnu Rajab, 2004: 148).
Kekhawatiran ini juga menjadi perhatian Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sekalipun. Beliau pernah berujar, “Hendaknya kalian lebih memperhatikan diterimanya amal daripada amal itu sendiri. Tidakkah kalian mendengar Allah azza wajalla berfirman: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.’(QS. Al-Ma`idah [5]: 27)” Ini berarti mereka mengevaluasi diri.
Bahkan Ali bin Abi Thalib menyampaikan penghargaan serta berbela sungkawa. Beliau berkata, “Demi Allah! Siapakah orang yang diterima amalnya sehingga kami beri selamat kepadanya. Dan siapakah yang ditolak sehingga kami berbela sungkawa kepadanya!”
Perhatian ayah Hasan dan Husain ini bukan sekadar retorika. Pada waktu Idul Fitri, beliau kedatangan tamu. Saat itu, suami Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallamini sedang makan roti kasar. Melihat itu sang tamu lantas bertanya, “Wahai Amirul Mu`minin! Ini `kan Idul Fitri, tapi (makan) roti kasar!”
Ali merespon: “Idul Fitri itu untuk orang yang diterima puasa dan shalat malamnya. Hari raya adalah untuk orang yang diampuni dosanya, usahanya diapresiasi, dan amalnya diterima. Hari ini dan besok adalah Idul Fitri. Setiap hari yang tidak dipakai untuk bermaksiat kepada Allah pun adalah Idul Fitri.”
Pernyataan Ali meluruskan pola pikir kita. Idul Fitri bukanlah sekadar hari bersenang-senang dan terbebas dari berbagai amalan yang sudah dilakukan di bulan Ramadhan. Selepas Idul Fitri pun semestinya amalan tetap terjaga.
Senada dengan sikap Ali, Ibnu Mas’ud ra. juga mengungkapkan apresiasinya, “Siapakah orang yang diterima amalnya di antara kita yang akan kita beri ucapan selamat. Dan siapakah di antara kita yang ditolak amalnya sehingga kita berbela sungkawa kepadanya. Wahai orang yang diterima amalnya, selamat dan sukses! Wahai orang yang ditolak amalnya, semoga Allah memulihkanmu dari ujian.”
Ini menunjukkan bahwa fokus para sahabat adalah pada diterimanya amal bukan sekadar banyaknya amal. Energi kesadaran seperti itu juga tidak luput dari perhatian Ka’ab ra. Beliau berujar, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, sedangkan dalam jiwanya terbetik keingingan untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah pasca puasa Ramadhan, maka puasanya tertolak.”
Beralasan, karena segala ketaatan di bulan Ramadhan semestinya bersinambung pada bulan-bulan berikutnya. Demikian juga kemaksiatan dan larangan yang ditinggalkan di bulan Ramadhan, seharusnya juga ditinggalkan pada bulan-bulan berikutnya.
Lebih dahsyat lagi adalah apa yang diutarakan Abu Dzar ra. Dalam buku “Târîkh Dimask”(66/214) karya Ibnu Asakir disebutkan bahwa puasa Ramadhan menyulut energi kesadaran orang mukmin hingga ke akhirat. Nasihat Abu Dzar, “Berpuasalah kalian pada terik dunia, sebagai persiapan untuk menghadapi panasnya padang mahsyar.”
Puasa yang dilakukan selama Ramadhan, sepanas dan sesusah apapun kondisinya akan terasa ringan kalau diorientasikan menuju akhirat. Terpateri pada jiwa mereka bahwa puasa adalah wujud kesadaran internal keimanan terhadap akhirat. Amalan apapun yang diorientasikan ke akhirat sehingga energi mereka begitu dahsyat.
Sebagai penutup, inilah cerita Bisyr rahimahullah. Suatu hari ada yang bercerita kepada beliau bahwa ada kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh hanya dalam bulan Ramadhan. Kemudian beliau menimpali, “Betapa jeleknya kaum itu, hanya mengenal Allah pada waktu Ramadhan saja. Sesungguhnya orang saleh adalah yang beribadah kepada-Nya dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.” (Sayyid Affani, 1417: 163-164) ***
Oleh: Mahmud Budi Setiawan