Islam Mengajarkanku Bersedekah | YDSF

Islam Mengajarkanku Bersedekah | YDSF

13 September 2019

Sebut saja aku Fulanah. Aku berasal dari Kota Pahlawan. Ya, Surabaya. Namun, saat ini aku sedang diamanahkan bekerja di Pekalongan.

Agamaku dulunya Kristen. Berbeda dengan kaum Nasrani pada umumnya yang menganut paham Trinitas, Kristenku dulu tidak. Kami menganut paham bahwa Tuhan itu satu. Esa.

Sebenarnya keluarga dari buyut Mamaku muslim. Namun, setelah kakek dan nenekku menikah, keluarga kami pun menjadi Kristen. Keluarga besar kami pun memiliki keyakinan yang beragam.

Ketika mengetahui bahwa Kristen yang aku anut memiliki kesamaan paham dengan Islam, semasa kuliah aku pun sering berdiskusi dengan temanku. Keherananku saat itu mulai muncul dan semakin bertambah.

Hingga kemudian di Oktober 2015, aku bertugas di Pekalongan. Dulu, masa-masa awal di kantor, aku merupakan minoritas karena aku bukan seorang muslim. Bahkan aku dikucilkan.

Aku pun mulai dekat dengan salah satu rekan kantorku. Seorang pria muslim yang berhasil memikat hatiku. Karena perbedaan agama ini, tak jarang aku semakin parah dihujat oleh rekan kantorku.

Suatu hari, aku diajak oleh pria itu untuk menyalurkan sedekah ke sebuah panti asuhan atas nama ibunya yang telah meninggal. Dari situlah aku mulai kagum pada Islam. Kuakui di agamaku, tak pernah sekalipun ada ajaran kami harus bersedekah.

Di saat yang bersamaan, aku mendapat kabar bahwa ayahku terkena serangan stroke dan terpaksa harus berhenti bekerja. Mulai terombang-ambinglah perekonomian keluargaku. Saat meminta bantuan pihak gereja, ditolak. Alasannya, karena aku, Mama, dan adikku belum menjadi anggota tetap gereja.

Dari peristiwa-peristiwa itu, semakin penasaranlah aku dengan Islam. Aku pun mencoba mencari-cari informasi tentang Islam. Awalnya, aku ingin pindah agar hubunganku dengan si pria itu dimudahkan. Ah, konyol sekali aku saat itu!

Bulan demi bulan pun berganti. Aku masih belajar tentang Islam. Allah pun semakin menunjukkan sifat-sifat asli dari pria itu. Mungkin ini cara Allah mengetuk pintu hatiku. Untuk siapa nantinya aku menjadi muslim.

Beberapa kajian pun sempat aku ikuti. Banyak hal tentang Islam yang membuatku ingin banyak bertanya. Tentang bagaimana Islam mengatur kehidupan dengan sesama, orangtua, sejarah Islam, hingga masalah poligami.

Sebagai seorang wanita menurutku hal yang wajar mengkhawatirkan persoalan poligami. Apalagi pernah aku membaca di media bahwa seorang lelaki memiliki empat jatah wanita. Sempat miris aku mendengarnya.

Aku tak patah semangat. Hal itu tidak langsung membuatku angkat kaki dalam mendalami Islam. Aku berusaha mendekati teman-temanku yang sudah hijrah lebih dulu.  Dari mereka aku banyak belajar, termasuk soal poligami. Alasannya, tujuannya, dan kehidupan dalam poligami itu harus seperti apa. Serta bagaimana sejatinya Islam sangat memuliakan wanita. Sungguh tergugah hati ini.

Hal kecil lain contohnya seperti bahwa kita harus bisa lebih santun kepada ibu. Dulunya, bisa dibilang aku kurang nyaman dengan Mamaku. Mengingat beliau ini orangnya emosional. Namun, setelah mengenal Islam, entah mengapa aku bisa menjadi lebih sabar dalam menghadapi Mama.

Memutuskan untuk akhirnya pindah agama pun tidak semudah yang aku bayangkan. Gejolak batin datang tak henti. Membayangkan apakah aku masih bisa diterima di keluargaku dan teman-teman lamaku.

Aku pun mencoba berdiskusi dengan Papa. Beliau memang lebih demokratis. Justru beliaulah yang pertama tahu aku bersyahadat. Tahun 2017.

Awalnya aku sempat takut jika kemudian aku masuk Islam namun aku berpisah dengan teman priaku itu lalu bagaimana aku bisa belajar Islam lebih dalam. Aku putuskan untuk selalu memanjatkan doa agar diberi petunjuk. Meski saat itu aku masih berdoa dengan cara agama lamaku.

Allah semakin memantapkan hatiku. Urusan jodoh aku pun menjadi lebih pasrah. Jika memang berjodoh dengannya, aku tahu Allah pasti memudahkan. Tetapi, jika memang tidak, maka aku hanya ingin meminta yang terbaik dari Allah. Lelaki yang benar-benar bisa membimbingku ke jannah-Nya bersama.

Lebaran 2017, aku mudik ke Surabaya. Menjelang shalat ied, justru Mama yang membangunkan aku. Ternyata Mama sudah mengetahui keIslamanku. Meski begitu, Mama masih menentang keIslamanku.

Firasat seorang ibu memang selalu tepat. Mungkin Mamaku tahu bahwa aku ingin berhijab. Beliau pun sempat marah besar sebelum aku kembali merantau ke Pekalongan. Bahkan Mama mengancam akan membakar hijabku di depan banyak orang. Sedih sekali hati ini.

Kembali merantau ke Pekalongan, Papa pun berpesan agar sebaiknya aku tidak pulang ke Surabaya lagi dalam beberapa waktu itu. Dua bulan kemudian, musibah pun terjadi lagi. Aku kecelakaan hingga tanganku patah dan harus operasi.

Sabar dan ikhlas. Dua hal yang terus aku tanamkan dalam diriku. Berusaha mengambil sisi positif dari semua yang Allah beri padaku. Papa dan Mama datang menengokku.

“Mau pakai jilbab, ngga?” ucap Mama saat tahu orang-orang kantor menjengukku.

Sontak hati ini kaget dengan pertanyaan beliau. Mungkin dari peristiwa kecelakaanku ini, akhirnya Mama bisa terbuka terhadapku. Ya, aku yakin bahwa Allah sangat sayang padaku.

Allah membuka jalan hidupku. Semenjak saat itu, hubunganku dengan Mama justru lebih baik. Bahkan lebih baik dibanding saat aku masih menjadi seorang Nasrani. Alhamdulillah.

Kita memang tidak pernah tahu bagaimana Allah menyampaikan hidayah kepada hambaNya. Jika kita memang ingin membuktikan Islam itu baik, tak hanya support mereka dari segi ilmu saja, tapi juga dari sikap kita.

 

Naskah: Ayu SM

Sumber: Majalah Al Falah Edisi April 2019

 

Baca juga:

Kisah Mualaf dari Ausi, Terlahir Tak Kenal Tuhan | YDSF

ERNEST DOUWES DEKKER, MUALAF INDO, PEJUANG NEGERI INDONESIA | YDSF

Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF

Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim

Hidup itu sedekah | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: