Pola Komunikasi Pengasuhan Anak dalam Islam | YDSF

Pola Komunikasi Pengasuhan Anak dalam Islam | YDSF

8 November 2019

POLA komunikasi pengasuhan terbaik hanya bersumber dari buku induk terbaik dan teladan manusia terbaik. Itu sebabnya setiap orangtua semestinya merujuk pada contoh-contoh yang sudah terbukti berhasil terbaik. Dua sumber itu adalah Al-Qur’an dan teladan Rasulullah. Karena keterbatasan ruang, di sini dibahas prinsip-prinsip dasarnya. Belum sampai pada bahasan prosedur dan teknik. 

Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

(QS 31:12)

Pertama, bersyukur. Ini merupakan prinsip dasar pengasuhan. Sebab, bersyukur itu pertanda kita melibatkan Allah dalam pengasuhan anak. Tanpa bersyukur, kita hanya akan tersungkur di jalan kufur. Anak yang merasa disyukuri keberadaannya akan menjadi anak yang lebih positif penerimaannya pada nasihat orangtua. Sebaliknya, anak yang merasa tidak disyukuri akan merasa tertolak, terabaikan. Inilah biang keladi runyamnya komunikasi pengasuhan.

Kedua, berhikmah.  Ini merujuk pada kapasitas pemahaman, ilmu, dan tutur kata. Bisa disebut berhikmah jika orangtua mempunyai pemahaman tumbuh kembang anak, punya ilmu sebagai orangtua, dan tindak tutur yang baik. Dalam hal ini kita beruntung mendapatkan nasihat dari Syayidina Ali bin Abi Tholib RA yang membagi tiga tahap tumbuh kembang. Fase 0—7 tahun disebut fase raja. Fase 7—14 tahun disebut fase tawanan perang. Fase 14—21 tahun disebut fase sahabat. Nah, berkomunikasi dengan anak perlu penyesuaian cara dan gaya yang berbeda sesuai tahap tumbuh kembangnya.

Ketiga, orientasi. Komunikasi pengasuhan semestinya berorientasi pada tumbuh kembangnya kapasitas berbakti. Mari kita simak kabar gembira keberuntungan orangtua yang komunikasi pengasuhannya berorientasi pada lahirnya sikap berbakti.  

Dalam suatu majelis Rasulullah mengingatkan para sahabatnya,  “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka.  Allah ‘Azza wa Jalla memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi menjawab, menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya,  tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.”

(HR Abu Daud)

Hormatilah anakmu dan didiklah mereka! Pesan nabi ini memberikan indikasi kuat tentang children welfare, kesejahteraan anak-anak. Tak sepatutnya kita semena-mena pada anak-anak kita karena ada perintah “hormatilah anakmu”, tak pula kita patut menuntut anak berlebihan karena ada perintah “didiklah mereka”. Kata didik lebih beraroma TUNTUNAN, bukan hanya tuntutan. Maka, semestinya sebagai ayah bunda kita lebih mendemonstrasikan perilaku menuntun, bukan semata menuntut.

Perpaduan dua kata yang menjadi pengantar seorang ayah mendapatkan rahmat adalah hormati dan didik  anak-anakmu.  Menghormati berarti menjaga harga dirinya, tidak menghinakannya, tidak menistakannya. Mendidik berarti  memberi kecukupan perhatian untuk tumbuh kembangnya ilmu, tidak menelantarkannya dalam kebodohan. Ya, mendidik, bukan semata menghardik.

Hati anak yang teduh karena diasuh dan dibasuh pendidikan membuat jalan bakti ananda terbuka pada ayah bunda.  Edukasi nabawi seperti apa yang semestinya kita lakukan sepenuh hati? Rasulullah,  ayah termulia sejagad raya, memberi panduan sekaligus keteladanan agar anak berbakti, yakni menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya,  tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.”

Menerima usahanya walaupun kecil. Nasihat ini memberi sinyal agar kita fokus pada usaha anak-anak kita. Mudah memberikan apresiasi atas USAHA anak akan mempermudah anak dekat secara emosional pada ayah bunda. Keberterimaan adalah bagian dari penghormatan. Yang diterima adalah kebaikan hati dalam usahanya, jerih payahnya, porsi besar kecilnya itu nomor sekian. Menghargai usaha, meskipun kecil, akan membuat perasaan anak menjadi positif, menguatkan sekaligus menstimulasi kebaikan berikutnya.

“Terima kasih ya nak sudah membantu ayah membereskan koran dan majalah itu.” Kalimat ini sepele rasanya, tetapi jika itu keluar dari lisan ayah dan yang mendengar adalah sang anak yang masih kanak-kanak itu, akan bernilai penghargaan. Apalagi jika sang ayah menyertakan jempolnya saat menyampaikan kalimat terima kasih itu.

Memaafkan kekeliruannya. Nasihat kedua memberi sinyal agar para ayah berlapang-lapang hati agar menjadi ayah yang pemaaf, bukan pendendam. Ini akan memberi contoh, teladan, tuntunan pada anak tentang kelapangan hati. Ini juga bagian dari kelembutan hati. Kekeliruan lama yang senantiasa diungkit-ungkit akan memperbarui rasa sakit. Memaafkan, sebuah kata yang menyiratkan kekuatan jiwa.

Jika sang ayah pemaaf, namun bukan permisif, anak akan merasa dirinya diterima sebagai manusia yang bisa salah, sekaligus anak akan belajar dari kesalahan itu, dan yang jauh lebih utama, anak akan belajar memaafkan langsung dari sumber terpercaya: ayahnya.

Tidak membebaninya dengan beban yang berat. Belum saatnya anak-anak, apalagi yang masih kanak-kanak, menerima beban berat, baik secara fisik maupun psikis. Beban berat yang melebihi kapasitas kekanak-kanakannya malah memantik ketidakbahagiannya: stress ataupun depresi. Ada satu riset yang menyatakan bahwa sebagian anak mengalami stress berlebihan saat menerima beban melebihi kapasitasnya. Maka, mengenali kapasitas anak menjadi sebuah perburuan tersendiri bagi para ayah agar proporsional jika memberikan “beban”. Bukankah, Allah juga tidak akan memberikan beban berat pada pundak yang lemah?

Tidak memakinya dengan makian yang melukai hatinya. Nasihat keempat merupakan inti pemeliharaan rasa aman secara emosional. Memaki itu melukai hati. Jika yang luka hati, maka tak mudah mengobati. Makian yang menyakitkan dan bertubi-tubi hanya akan membuat anak merasa “lumpuh” kompetensi. Kata-kata tak sedap yang terucap akan mudah mengendap, membuat suasana hati menjadi pengap.

Duhai ayah bunda, sudahkah engkau menghindarkan makian dan kata-kata negatif lainnya pada anak-anakmu sebagaimana anjuran Sang Nabi?

 

@suhadifadjaray

Motivator & Konsultan Pendidikan

Penulis buku Harmoni Cinta Madrasah Keluarga

 

 

Baca juga:

Mengasuh Anak Generasi Milenial | YDSF

JANGAN TERBIASA BERBOHONG PADA ANAK | YDSF

Parenting Islami: Cara Mendidik Anak Agar Bahagia | YDSF

Televisi Bukan Teman Anak

INILAH KUNCI SUKSES BUNDA YATIM MENDIDIK ANAK | YDSF

Televisi Bukan Teman Anak

Inilah 4 Cara Mendidik Anak Menjadi Pahlawan Secara Islami | YSDF

 

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: