Setiap tanggal 12
November, kita memperingati Hari Ayah Nasional. Pada peringatan itu hendaknya menjadi
momen terbaik untuk menilik kembali peran sentral ayah dalam keluarga. Belakangan,
banyak ayah yang sudah mulai meninggalkan peran ini, pasrah ‘bongkokan’
kepada ibu, guru, dan pihak lain. Nah, itu bertentangan dengan spirit Al-Qur’an,
yang mana pendidikan itu berbasis keluarga dan sentral penanggung jawab
utamanya adalah ayah.
Sosok ayah
merupakan pahlawan, bukan hanya bagi anak, melainkan juga seluruh keluarga.
Ayah dan Ibu mempunyai kedudukan yang sama-sama penting dan tak tergantikan
dalam sebuah keluarga. Posisi wanita sangat istimewa dalam Islam, semua orang
mengetahui bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Ayah bertanggung
jawab atas semua yang terjadi dalam keluarga. Ayah juga menjadi partner luar
biasa bagi ibu. Namun, tidak sedikit anak yang merasa takut kepada ayahnya.
Apalagi peran pengasuhan lebih banyak dilakukan ibu. Terlebih lagi bila ibu
juga bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Setelah pulang, masih
banyak pekerjaan rumah tangga yang menunggu. Dalam melakukan banyak hal di
keluarga, interaksi keseharian yang terbangun lebih banyak diwarnai antara ibu
dan anak.
Padahal Allah ‘Azza
wa Jalla telah berfirman dengan tegas dalam surat At-Tahrim ayat 6, yang
artinya:
"Wahai
orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Dalam ayat
tersebut, terdapat nilai-nilai pendidikan tauhid serta tanggung jawab dan
menyayangi keluarga, yang sebaiknya ditanamkan sejak anak usia dini. Nilai
tauhid adalah dengan mengenalkan iman dan kewajiban untuk mengerjakan segala
perintah Allah. Selain itu, juga terdapat perintah menjaga keluarga, dengan
menjalankan tanggung jawab dan menyayangi keluarga.
Sementara dalam
An-Nisa ayat 34, disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan,
karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan.
Menurut Ustadz
Wijayanto, membangun sebuah keluarga dimulai dengan ijab kabul. Di dalam Islam,
disebut sebagai perjanjian agung atau mitsaqan ghalidza. Bila dipahami
dengan benar, ayat di atas juga mengajak untuk menguatkan ikatan keluarga
sehingga menjadi kokoh. Kelak, kita semua akan mempertanggungjawabkannya kepada
Allah. Menikah itu menyenangkan. Dan dalam pernikahan diharapkan dapat
membangun kekompakan.
“(Setelah
pernikahan), ada tiga tanggung jawab yang harus diemban (suami). Yakni,
tanggung jawab lahir, batin, dan keselamatan agama di dunia sampai akhirat,”
ujar pendakwah nasional tersebut dalam Kajian Aktual al Falah YDSF.
Lebih lanjut, dai
yang juga dosen di Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan, untuk menguatkan
ikatan keluarga, selalu usahakan melakukan amal kebersamaan. Misalnya, makan
bersama, tidur bersama, membeli suatu barang, bahkan mengecat rumah pun
diputuskan dengan bersama-sama. Selain itu, juga bisa dengan, shalat bareng,
puasa bareng, membaca koran bareng.
“Jagalah amal
kebersamaan itu,” tegas pria yang telah berceramah sejak usia muda ini. Sebab,
“Kebersamaan dapat membangun keberkahan.”
Baca juga:
PERAN PENTING AYAH DI KELUARGA | YDSF
MENDIDIK ANAK KOMUNIKATIF DENGAN ORANG TUA | YDSF
Seorang suami
pandai-pandailah menyenangkan istri. Sebaliknya, seorang istri pandai-pandailah
menyenangkan suami. Bagi istri yang menyenangkan suami, pintu surga akan
terbuka baginya.
Sementara itu,
sebaik-baik suami adalah yang pandai menyenangkan istrinya. Tidak ada kemuliaan
yang lebih mulia dibandingkan suami yang memuliakan istrinya. Dan tidak ada
kehinaan yang lebih hina dibandingkan suami yang menghinakan istrinya.
“Rasulullah saw.
sendiri sangat memuliakan istri,” lanjut Ustadz Wijayanto.
Keberhasilan Ayah Mendidik Anak
Keberhasilan
mendidik anak tidak datang tanpa tujuan dan konsep yang jelas. Mendidik seorang
anak datang dari visi atau niat ayah atau kedua orang tuanya. Visi mengarungi
bahtera keluarga akan menentukan kualitas anak. Selain mampu mendidik anak
dengan baik, visi keluarga yang bagus dan jelas juga akan melancarkan
keharmonisan dan keutuhan keluarga.
Hendaklah berdoa
sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim, seperti tertuang dalam Al-Furqan ayat
74, yang artinya:
“Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang
hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ustadz Ir.
Misbahul Huda, M.B.A. menjelaskan bahwa indikator sukses seorang ayah dalam
mendidik keluarga adalah yang mampu melahirkan anak-anak yang sukses.
Terciptanya anak dan keluarga yang sukses pasti ada seorang laki-laki yang
piawai menjadi seorang suami dan ayah. Serta ada juga wanita yang piawai
sebagai istri dan ibu.
Psikolog kenamaan
dan pakar pengasuhan anak, Elly Risman Musa, S.Psi., meneliti tentang Indonesia
is Fatherless Country, atau Indonesia, sebagai negara tanpa ayah. Ayah
hanya hadir secara fisik namun tidak hadir secara emosional dan spiritual.
Rata-rata hanya 19 menit ayah berinteraksi dengan anaknya. Dapat dibayangkan
bagaimana seorang ayah dapat mendidik anaknya dengan baik jika waktu
berinteraksi ayah dan anak sangat minim.
Padahal,
Al-Qur'an menyebutkan kisah teladan tentang peran penting ayah dalam mendidik
dan mengasuh anak. Seperti, kisah Luqman yang menasihati anaknya, Nabi Ibrahim
mendidik Nabi Ismail untuk patuh mengerjakan apapun perintah Allah. Juga
terdapat kisah Nabi Zakariya serta Nabi Yahya yang mencontohkan peran sentral
ayah dalam mengarahkan anak-anaknya.
Islam memberikan
panduan dan tuntunan terkait kedudukan ayah dalam sebuah keluarga. Ayah
mempunyai peran penting dalam pengasuhan anak. Bahkan, peran ayah berpengaruh
besar dalam menentukan keutuhan karakter anak di masa depannya.
Sosok ayah yang
ideal adalah yang menjalankan perannya secara utuh demi membangun keluarga kokoh.
Bukan semata mencari dan memberikan rezeki yang halal dan baik untuk menafkahi
keluarga, tapi juga memastikan pendidikan tauhid bagi istri dan anak-anaknya.
“Peran ayah
selamanya tidak bisa digantikan oleh siapapun,” kata bapak dari enam anak ini.
Meskipun
demikian, mari berkaca dari Rasulullah yang ditinggal ayahnya meninggal sejak
beliau masih kecil. Rasulullah bertumpu dan bercermin pada sosok kakek dan
pamannya, Abdul Muthalib dan Abu Thalib. Kakek dan paman beliau berperan
sebagai ayah pengganti.
Begitu pula jika
terdapat anak yatim yang ditinggal ayahnya meninggal dunia. Sang ibu hendaknya
mencari sosok pengganti ayah dari lingkungan keluarga dekat. Pengganti sosok
ayah dapat berupa paman, kakek, dan lainnya. Asalkan, dapat menjalankan peran sosok
ayah yang memberikan pendidikan, pendampingan, dan teladan yang baik bagi anak.
“Bagaimanapun
juga, harus ada sosok laki-laki pengganti ayah,” ujar pria yang pernah menjadi
direktur utama maupun komisaris di berbagai perusahaan besar ini.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi November 2022
Raih Jariyah dengan Wakaf:
Artikel Terkait:
Teladan Kepemimpinan Ayah dalam Keluarga | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
Jangan Terbiasa Berbohong pada Anak | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF
CARA MEMIMPIN GENERASI MILENIAL | YDSF