Pelajaran Istiqomah dari Seorang Pahlawan Bangsa | YDSF

Pelajaran Istiqomah dari Seorang Pahlawan Bangsa | YDSF

21 Maret 2019

Bunyi tembakan amunisi menggegerkan Yogyakarta. Membuat riuh seisi kota. Hingga sanggup membuat dada seorang pemuda bergejolak penuh amarah.

Belanda melanggar perjanjian!

Seperti mendapat suntikan energi, pemuda itu langsung bangkit. Mencoba berdiri. Satu kali, dua kali. Namun gagal. Kondisi fisiknya tak bisa dimanipulasi.

Tuberkulosis, kata dokter. Paru-parunya hanya berfungsi 50%. Penyakit itu menggerogoti kesehatannya. Tubuhnya lemah. Kurus dan rapuh. Bahkan untuk berdiri saja harus dipapah. Tapi ia bersikeras. Tak ada kompromi untuk nasib negeri. Akhirnya, ia ditandu. Tak sebatas ikut serta, ia justru tokoh sentral dalam peperangan. Menjadi pemimpin.

Peristiwa tersebut sangat epik. Di bawah komandonya, para pejuang berhasil memukul mundur penjajah. Agresi Militer II menjadi pertempuran bersejarah yang mengantarkan Indonesia pada gerbang kemerdekaan.

Panglima bertandu itu bernama Jenderal Soedirman. Pemuda zaman now mungkin hanya mengenalnya sebagai nama jalan tersohor di pusat ibu kota, atau nama universitas negeri bergengsi di Jawa Tengah.

Di balik nama kawasan tersebut, ada sosok hebat yang kisah hidupnya layak diteladani. Selama masa hidupnya yang singkat (hanya 34 tahun), Soedirman telah memberi banyak kebermanfaatan serta menorehkan berbagai prestasi gemilang. Salah satunya menjadi Panglima Besar pertama dan termuda di Indonesia.   

Sejak kecil, Soedirman selalu haus ilmu. Semangat belajarnya ditumbuhkan oleh Kyai Haji Qahar, seorang guru agama. Beranjak dewasa, ia makin getol menuntut ilmu di dalam maupun luar sekolah. Berbagai kemampuan ia kuasai mulai dari berhitung, bahasa, maupun sains. Guru di sekolah, Suwarjo Tirtosupono, mengungkapkan bahwa Soedirman mampu menangkap pelajaran tingkat dua meski baru berada di tingkat pertama.

Tak hanya ilmu duniawi, Soedirman juga rajin belajar mengaji. Bahkan, kerap memberi ceramah pada teman-temannya. Mereka pun memberi julukan “haji” karena pengetahuannya yang mendalam akan ilmu agama.  

Ilmu yang didapat dari berbagai guru menggelorakan hati Soedirman untuk berjuang melawan kezaliman penjajah. Salah satu ucapannya yang terkenal adalah, “Kejahatan akan menang, bila orang benar tidak melakukan apa-apa”. Kalimat ini barangkali terinspirasi dari ucapan Ali bin Abi Thalib yaitu, “Kedzaliman akan terus ada. Bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik”.

Spirit menolak kezaliman inilah yang kemudian menggerakkan Soedirman melakukan perlawanan. Ia menginisiasi Perjanjian Linggarjarti, berperang melawan Jepang, hingga memimpin Pertempuran Ambawara dan Agresi Militer II. Hasilnya? Tanggung jawab yang diemban berakhir sukses. Belanda bertekuk lutut setelah tujuh bulan dilawan habis-habisan.   

Totalitasnya untuk kemaslahatan umat tak perlu diragukan. Waktu, tenaga, pikiran, bahkan aset berharga pun diberikan. Konon, perhiasan istrinya dijual demi kebutuhan perang.

Istiqomah (konsekuen dan konsisten) yang diterapkan Jenderal Soedirman sejalan dengan ciri-ciri istiqomah menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauzi, yaitu yakin dalam menyuarakan dan menjalankan kebenaran. Tidak ada rasa takut, ragu, cemas, ataupun gentar.

Soedirman istiqomah berjuang demi bangsa. Meski raga melemah, pantang baginya berputus asa. Walau ditandu, semangatnya tetap menggebu. Sikap ini selaras dengan firman-Nya yang berbunyi:

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan 'Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah)', maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih." (QS 41:30).

Pemimpin sejati tak disulap semalam. Ada peran pendidik yang istiqomah mencurahkan pendidikan dalam jangka waktu lama. Jika ada Syaikh Aaq Syamsuddin yang “menggembleng” Muhammad Al-Fatih hingga menjadi sultan dan menaklukkan Konstantinopel, maka ada peran besar Raden Muhammad Kholil di balik patriotisme Jenderal Soedirman.

Berkaca pada kisah hidup Sang Jenderal, pendidikan tak melulu bersumber dari bangku sekolah. Ada ilmu agama, life skill, dan keterampilan yang juga perlu diasah. Karena itulah, kehadiran pendidik-luar-sekolah menjadi sangat urgent dan dibutuhkan.

Pendidik luar sekolah berperan menyuburkan kebiasaan baik, memberi pendalaman agama, serta rutin melakukan kontrol. Di tengah hiruk-pikuk perkembangan zaman, pembinaan rutin sangat diperlukan. Soedirman-Soedirman muda diharapkan lahir dari sini. Pemuda yang tangguh, rajin menuntut ilmu, dan relijius. Mereka yang peduli dan bergerak untuk melayani umat, bukan pemuda yang apatis dan egois.

Penulis: Alfi Humaida Bahroini Ilma

Editor: Ayu SM

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: