Pernahkah ketika hari menjelang malam, ketika akan menutup
mata, kita sempatkan mengingat dan
menghitung-hitung perbuatan kita selama
hari ini? “Apa tindakan buruk hari ini? Siapa saja yang aku sakiti hari ini? Dan apa kebaikan yang
telah aku lakukan hari ini?”
Demikian itulah yang dilakukan
para sahabat Nabi. Mereka tidak
pernah menutup malamnya kecuali telah melakukan muhasabah.
Menjelang wafatnya, Abu
Bakar memanggil putrinya Aisyah, lalu
ia berkata, “Sesungguhnya semenjak kita menangani urusan kaum Muslimin, tidak pernah makan dari (dinar dan dirham) mereka. Yang kita makan adalah makanan yang keras dan sudah rusak.” (HR. Ahmad).
Demikianlah Abu Bakar menghisab
dirinya sendiri. Bahkan sahabat utama
Nabi itu tidak memperkenankan Aisyah mengambil apa yang dimiliki Abu Bakar. Semuanya diminta untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab sebagai khalifah selanjutnya.
Tentu, langkah Abu Bakar ini
sagat berat. Tetapi tatkala muhasabah
telah menjadi gaya hidup, tidak ada
yang lebih penting selain menyucikan
diri demi ridha Ilahi.
Abu Bakar dan sahabat Nabi
lainnya benar-benar serius menghisab
dirinya. Semua didorong hadits Nabi;
“Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu.” (HR. Tirmidzi).
Umar bin Khattab sering mengingatkan
umat Islam untuk selalu melakukan
muhasabah diri. Perkataan beliau yang terkenal adalah “Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”
Umar menganggap evaluasi
diri lebih dini akan menguntungkan
pada kehidupan kelak. Mengapa? Karena dengan mengevaluasi diri sendiri, manusia akan mengenali kekurangankekurangannya yang diharapkan
dapat diperbaiki sesegera mungkin.
Kondisi ini akan meminimalkan kesalahan sehingga tanggung jawab dalam kehidupan di akhirat nanti menjadi sangat ringan.
Baca juga:
Batas Istiqomah Menjadi Sebuah Karakter | YDSF
Cara Membentuk Karakter Baik pada Anak Menurut Islam | YDSF
Umar pernah menghukumi dirinya
dengan mengeluarkan sedekah berupa
tanah yang harganya 200.000 dirham karena luput dari shalat ‘Ashar secara berjamaah. Kebiasaan ini
berlanjut kepada anaknya, Ibnu ‘Umar.
Pernah suatu kali beliau luput dari
sholat berjamaah, ia mengganti dengan menghidupkan malam seluruhnya.
Ibnu Abi Rabi’ah
rahimahullah pernah luput dari dua
raka’at sholat Sunnah Fajar, untuk
tebusannya, ia membebaskan seorang budak.
Ibnu ‘Aun
rahimahullah pernah melakukan
kesalahan, Ketika ibunya
memanggilnya, ia menjawab dengan
suara keras. Ia pun membebaskan dua
orang budak.
Dalam pandangan Hasan Al-Bashri
muhasabah akan meringankan hisab di
hari akhir. Sebab, Allah tidak pernah melewatkan satu perbuatan pun melainkan telah tercatat di sisi-Nya. Jadi, sebagai apa pun dan di masa apa pun seorang muslim wajib melakukan muhasabah. Sebelum hari perhitungan benar-benar kita hadapi.
Bagaimana dengan kita?
Cara Muhasabah
Pertama, mengoreksi diri dalam hal wajib, apakah seluruh kewajiban telah kita jalankan dengan baik
atau masih ada kekurangan. Amal wajib
merupakan hal pertama yang harus diperhatikan, karena amal wajib adalah modal utama bagi seorang muslim untuk mencari ridho Allah.
Kedua, mengoreksi diri dalam hal yang haram, berusaha sekuat tenaga menjauhi semua larangan Allah. Jika
belum bisa sepenuhnya meninggalkan,
berdoalah, meminta kekuatan agar dapat menjauhi larangan Allah.
Ketiga, mengoreksi diri atas kelalaian yang dilakukan.
Misalnya melakukan kegiatan yang
sia-sia secara berlebihan. Sibuk main game sepanjang
hari, sibuk menonton tontonan yang melalaikan sepanjang hari. Hal ini perlu kita kurangi, karena menghabiskan banyak waktu dengan sia-sia sama dengan menyia-nyiakan
umur yang diberikan Allah.
Keempat, mengoreksi diri dengan apa yang dilakukan oleh anggota badan, apa yang telah dilakukan
oleh kaki, tangan, pendengaran,
penglihatan dan lisan. Cara mengoreksinya adalah dengan menyibukkan anggota badan dalam melakukan ketaatan. Terakhir, mengoreksi diri dalam niat,
yaitu bagaimana niat kita dalam
beramal, apakah amal kebaikan yang kita lakukan murni ikhlas karena Allah ataukah karena selain Allah.
Karena semua amal akan diberi balasan
sesuai dengan niatnya.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi September 2020
Artikel Terkait:
TIPS MENJADI MUSLIM BERKUALITAS | YDSF
Menabung Emas di Pegadaian dalam Islam | YDSF
MENDIDIK ANAK KOMUNIKATIF DENGAN ORANG TUA | YDSF
Amanah Rumah Wakaf dari Sepupu yang Meninggal | YDSF
TIPS MENUMBUHKAN TANGGUNG JAWAB ANAK | YDSF
Fidyah dalam Islam dan Ketentuannya | YDSF