Pada zaman jahiliyah,
memiliki anak perempuan menjadi sebuah aib. Bahkan, tidak sedikit yang
melakukan tindakan tercela untuk dapat “menghilangkan” anak perempuannya.
Namun, sejak Islam datang, kelahiran anak perempuan disambut dengan sangat
baik.
Jika kita hidup
sezaman dengan Rasulullah saw. tentu akan terkejut saat beliau memberi pernyataan
”Termasuk dosa besar adalah caci makian anak terhadap orang tuanya sendiri”.
Menurut nalar
sehat, tidak mungkin ada anak yang telah dididik, dibesarkan dengan segala
cinta kasih akan berani berbuat demikian. Mengatakan ‘cis’ saja tidak
diperkenankan, kenapa sampai berani mencaci maki? Itulah fikiran sahabat yang
akhirnya mendorong pengingkaran mereka. Lalu mempertanyakan bagaimana mungkin
anak-anak berani mencaci maki orangtuanya, wahai Rasulullah? Nabi saw. menjawab:
Tatkala anak kita mencaci orangtua temannya, maka sebenarnya ia telah mencaci
maki orangtuanya sendiri. Pola seperti itu saja sudah termasuk dosa besar.
Kini setelah
berabad-abad pascawafatnya Rasulullah saw. tragedi itu telah menjadi kenyataan.
Anak bukan lagi mencaci orangtua temannya. Justru anak sudah bernai mencaci
maki orangtuanya kandungnya, memukul, menghadik, mengusir, memenjarakan,
mengadukan kepada pihak yang berwajib, bahkan membunuh orang tuanya.
Masihkah ada yang
mengingkari berbagai hadits isyari yang dahulu pernah diprediksikan bakal terjadi?
Sungguh Rasulullah saw. tidak bicara sesuai dengan hawa nafsunya. Yang disabdakan
adalah wahyu yang dianugerahkan Allah Swt. kepadanya.
Dekadensi moral
kian parah. Berbagai metode pendidikan telah diterapkan untuk menyelamatkan
generasi yang datang kemudian. Tentunya kita bangga dengan sistem pendidikan.
Akhirnya keluarga mulai merasakan indahnya kehidupan, bahagianya keluarga dan
tidak lagi berpikir secara individu, melainkan sudah bergeser pendidikan kebersamaan.
Walaupan
kasus-kasus itu terjadi pada kebanyakan anak laki-laki, tidak mustahil kelak juga
akan banyak dilakukan anak perempuan. Oleh sebab itu mulai terjadi pergeseran pemikiran
dari keinginan memiliki keturunan laki-laki beralih anak perempuan. Apalagi
anak perempuan diharapkan akan menjadi madrasah keluarga yang dapat menciptakan
komunitas yang Islami.
Jenis karunia
anak memang misteri Tuhan. Ada lima hal menurut Nabi saw. yang tidak diketahui
kepastiannya oleh manusia, di antaranya adalah janin yang dikandung dalam rahim
ibu, walaupun telah ditemukan teknologi canggih USG (ultrasonografi). Itu dalam
ranah prediksi.
Walaupun
demikian, manusia dapat berikhtiar sesuai bimbingan Rasulullah saw. Spekulasi
memahami wahyu tersebut memang menjadi tantangan ulama, terutama bagi yang ahli
dalam bidang biologi. Ada yang memberikan interpretasi aspek kualitas mani dan
ovumnya. Ada yang menafsirkan pihak mana yang menang dalam klimaks ejukasinya.
Baca juga:
6 Prinsip untuk Menyiapkan Anak Sebagai Pejuang Kehidupan | YDSF
Mempersiapkan Anak Gadis Menginjak Usia Dewasa | YDSF
Hasil riset pun
sangat bervariasi. Ditemukan pada keluarga yang suami kerja ektra keras
dibanding istrinya, maka anak yang dilahirkan kebanyakan perempuan. Mungkin
kualitas bebet dan bobot ovum perempuan jauh lebih prima dibanding sperma suaminya.
Wallahu a’lam.
Sesungguhnya yang
menjadi fokus pemikiran bukan jenis kelaminnya, melainkan bagaimana keturunan
itu dapat menjadi aset di kemudian hari.
Menyiapkan
generasi yang saleh, bukanlah proyek yang mudah. Ada mata rantai yang panjang
yang harus dilaluinya. Karena mencakup berbagai aspek: aspek iman, aspek moral spiritual,
aspek intelektual, aspek jasmani dan lainnya.
Semua itu tidak
mungkin dibentuk dan diformat dalam waktu singkat. Islam telah memberikan
solusi mulai dari pendidikan prenatal. Sementara konsep pendidikan yang
berorientasi pada material barulah dilakukan pascakelahiran, itupun setelah anak
berusia dini, yakni masa neonatus.
Sebagaimana
dimaklumi. Pendidikan itu dapat dilakukan secara langsung, namun juga tidak
secara langsung. Menurut Islam ada pengaruh positif kondisi ibu hamil dengan janin
yang dikandungnya. Ditemukanlah konsep pendidikan Islam, bagaimana memperlakukan
ibu hamil, misalnya.
Betapapun setiap
anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, namun Rasulullah saw. juga memberi
warning dengan adanya anak haram. Tentunya yang dimaksud Rasulullah saw.
bukannya di antara anak yang dilahirkan ada yang berstatus haram, melainkan kecenderungan
setelah kelahirannya berpotensi menjalani hal-hal yang diharamkan Allah dan
RasulNya.
Kasus demikian
itu biasanya karena hak-hak janin terabaikan. Seperti doa saat menggauli istri,
konsumsi makanan haram, sikap keras terhadap ibu hamil, doa ketika positif janin
di rahim ibu, bacaan Al-Qur’an sebagai tafaul, hak-hak istri dan janin, dan aspek-aspek
lainnya yang dapat memengaruhi psikologi.
Semoga catatan
kecil ini dapat menjadi titik tolak dalam mendiskusikan keguyuban menantikan
kelahiran anak perempuan.
Zakat di YDSF:
Artikel Terkait:
4 HAL PEMICU KERASNYA HATI | YDSF
Zakat dalam Islam | YDSF
PINTU DOSA DI ERA DIGITAL | YDSF
Program Pemerintah Cegah Stunting Berkonsep Isi Piringku | YDSF
TIPS MERAIH PAHALA TERBAIK DARI ALLAH | YDSF
8 Golongan Penerima Zakat
CARA EFEKTIF MENINGKATKAN DAYA INGAT MENURUT ISLAM | YDSF
Amanah Rumah Wakaf dari Sepupu yang Meninggal | YDSF
Distribusi Ekspedisi Qurban 1443 H YDSF