10 Oktober, menjadi peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia setiap tahunnya. Seberapa penting sebenarnya kesehatan jiwa? Lalu, bagaimana ajaran dalam Islam untuk bisa selalu menjaga kebersihan dan kesehatan jiwa? Beginilah Ustadz Zainuddin, Dewan Syariah YDSF, menjabarkan.
Saat manusia hidup di zaman Jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah saw, kehebatan intelektual masyarakat jahiliyah boleh dikata cukup memadai. Seorang yang berniaga mempunyai dua timbel. Ilustrasinya, untuk timbangan 1 kg. Timbel pertama dilubangi dua ons, sedangkan timbel kedua dijejali dua ons.
Timbel pertama untuk menjual, sedangkan timbel kedua untuk kulakan. Dengan demikian jual beli satu kilogram sudah untung 4 ons. Belum lagi dari sisi harga. Biar bisa laku lebih mahal, maka penjual menggunakan jasa combe. Saat ada konsumen, sang combe pura-pura menawar dengan harga tinggi agar pihak konsumen bisa membeli dengan harga yang lebih tinggi lagi.
Praktik dewasa ini sebenarnya tidak jauh dari itu. Kita yang memiliki pom bensin, harga per liter tetap tercantum sesuai dengan aturan resmi, namun kadar liternya sering terkurangi dengan mengutak-atik teknologi meterannya. Tujuannya sama, yakni mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menzalimi orang lain.
Itulah gambaran sederhana kekotoran jiwa manusia. Belum lagi pada aspek aqidah. Dengan kecerdasan intelektual, tidak mungkin seseorang meminta kepada Tuhan tanpa bermediator. Pada zaman Nuh, mereka bermediator dengan Lata Manat, Uzza, Hubal, Yaguts, Ya’uq, Suwa’, dan lainnya. Pada zaman Yahudi mereka bermediator dengan Uzair. Pada zaman Nasrani mereka bermediator dengan Isa (Yesus), dan pada zaman sekarang kita bermediator dengan Nabi Muhammad saw., bahkan dengan orang-orang yang kita aggap keramat seperti Rifa’i, Abdul Qadir Jailani dan lainnya. Inilah gambaran kekotoran jiwa manusia.
Seperti itu pula dalam berbagai macam ritual keagamaan. Tolok ukur kebaikan bukan diukur dengan wahyu, namun dengan adat istiadat bahkan dengan pemikiran.
Dampaknya, terbukti dalam perjalanan sepanjang sejarah, manusia tanpa dibantu bimbingan wahyu Ilahi tidak akan mampu menjamah kesejahteraan yang sejati, lebih-lebih untuk menggapai keridhaan Allah Swt.
Maka Allah Swt. lewat Nabi-Nya yang ummi (yang tidak bisa baca tulis, red.) memberi solusi cerdas agar setiap manusia bercermin dengan pola hidup Rasulullah saw. dan menjadikannya sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan.
Baca juga: Karakteristik Para Hamba yang Dicintai Allah | YDSF
Ajaran Rasulullah dalam Menjaga Kebersihan Jiwa dalam Islam
Kehadiran utama Rasulullah saw. Membawa misi menyucikan jiwa kita, sebagaimana firman Allah Swt.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan ia ingat nama Tuhannya, lalu ia shalat. Tetapi kamu (orangorang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Al-A’la 87: 14-17).
Selama ini filosofi pola hidup kita berawal dari starting, lalu processing, kemudian ending. Maka kehidupan ini menjadi liar tanpa arah, lalu setan mengotori jiwa kita, hidup ini hanya sekali. Maka mulailah bekerja untuk kebahagiaan duniamu, lakukan proses dengan segala cara agar kamu mencapai ending yang membuat kamu kaya, beristri banyak, dengan uang segalanya bisa terbeli, bahkan kemenangan di pengadilan dunia.
Kita lupa bahwa semua itu hanya mengotori jiwa manusia. Dampaknya kita menjadi sombong, pelit, tidak peka dalam kehidupan bersosial, tidak peka dalam gerakan tengok tetangga.
Untuk menyucikan jiwa, Al-Qur’an dan sunah justru memberi filosofi pola hidup yang berbeda. Mestinya berawal dari ending, baru silahkan starting yang dibarengi dengan proses yang sejalan dengan sunnatullah yang syar’i. Menyadari Rasulullah saw. adalah uswatun hasanah. Manusia hanyalah seperti musafir, maka kita disadarkan bahwa kehidupan hakiki adalah kehidupan akhirat.
Simaklah bimbingan Allah Swt. berikut ini:
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qasas 28: 77).
Itulah sebabnya Rasulullah saw. mengingatkan kita:
“Sesungguhnya kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat. (Hr. Ibnu Majah: 742 dan Ahmad: 12199).
Jika manusia memulai hidup dari endingnya, maka ia menyadari harta kekayaan ini adalah fitnah, kebersihan jiwa mendorong untuk menginfakkannya di jalan Allah, berharap dapat mengantarkan pada nikmatnya di hari akhirat, bukan justru menjadikannya istidraj yang akan menjadi bahan bakarnya di api neraka. Maka berbahagialah mereka yang telah menyucikan dirinya, sebagaimana firman Allah Swt.:
“Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. Al-Syamsu 91: 9-10).
Semoga dengan jiwa yang suci, menjadikan kita tenang, bersama-sama menuju Allah, dan memasuki surga-Nya.
Sumber Majalah Al Falah Edisi Oktober 2020
Baca juga:
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
4 HAL PEMICU KERASNYA HATI | YDSF
Tangguh Menghadapi Persoalan Hidup | YDSF
TIPS HIDUPKAN CAHAYA SURGA DI RUMAH | YDSF