Ketika mulai kuliah di IPB jurusan pertanian pada 1979, ia ikut ujian tulis mata kuliah Agama Islam. Salah satu soalnya menulis surat Al Fatihah. “Saya nggak kerjakan. Jadi selama setengah jam saya diam saja,” tuturnya.
“Maklum orangtua saya baru masuk Islam setelah saya menyelesaikan tingkat persiapan bersama, akhir semester II pada 1980. Waktu SD sampai SMA saya hanya ikut-ikutan mengikuti pendidikan agama. Setelah menikah, baru saya belajar membaca Al Qur'an dari istri yang memang lebih mahir dari saya,” kata pria kelahiran Jember, 18 November 1959 ini.
Ketika mendapat kesempatan studi S2 dan S3 di Kanada pada 1986, awalnya ia sempat depresi. Jauh dari anak istri. Lalu kultur yang sangat berbeda dengan Indonesia. Belum lagi, ilmu yang ia pelajari menyimpang dari disiplin ilmu sebelumnya. “Sarjana saya pertanian. Tapi di Kanada saya memperdalam komputer,” ujarnya saat bercerita di hadapan jamaah Masjid Ar Rahmah Jln. Teluk Buli Surabaya.
Resep Prof. Dr. Kudang Boro
Software Hidup
Di negeri bagian utara benua Amerika itu ia Prof. Dr. Kudang Boro mengisi ceramah di sela-sela kegiatannya.
Melihat dekadensi moral yang parah. Ia sempat kaget menghadiri pernikahan yang ternyata penhantinnya sudah tinggal serumah selama delapan tahun. Hidup bebas antara pria dan wanita serta dijualnya alat kontrasepsi secara terbuka menyuburkan hubungan seks tanpa nikah. “Kultur yang serba bebas seperti ini membuat saya stres,” lanjutnya.
Ia kemudian mengibaratkan kehidupan manusia seperti komputer yang baru bisa berfungsi jika dipasang Sistem Operasi atau Operating System (OS) seperti Windows atau Linux. Tanpa OS, komputer ibarat bangkai piranti keras yang tidak bermanfaat. Tingkat kualifikasi dan kehandalan sebuah komputer sangat bergantung pada OSnya. Semakin handal dan canggih OS-nya, semakin tinggi pula kinerjanya.
Jika komputer buatan manusia memerlukan OS, tentu manusia memerlukan OS yang jauh lebih handal dan komprehensif agar bisa menjalankan fungsinya sesuai kehendak Pencipta-nya. “Lalu apakah sistem operasi untuk manusia? Tidak lain adalah agama yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah,” tuturnya.
Tanpa sistem operasi, perilaku manusia ibarat hewan. “Seperti firman-Nya, ...Mereka itu ibarat binatang ternak, bahkan lebih buruk lagi,” katanya menunjuk Al A’Raaf ayat 179. “Kemuliaan manusia di mata Allah tergantung pada seberapa besar muatan agamanya yang ter-install pada dirinya,” ulasnya.
Sejak itulah ia bertekad mendalami Al Qur'an dan as-Sunnah. Pucuk dicita, ulam tiba. Di Kanada, ia kenal seorang hafidz Al Qur'an asal Sudan. “Namanya Yahya Fadhlala. Dia kokoh dalam beragama dan telah menikah dengan warga asli Kanada yang telah terbimbing berbusana dan berbudaya muslimah. Malah istrinya itu lebih islami ketimbang kebanyakan muslimah Indonesia saat itu. Hal ini menambah motivasi saya untuk belajar agama darinya,” kenangnya.
Ia pun mulai belajar membaca Al Qur'an dari Yahya. Ternyata bacaannya banyak dikoreksi. Ia juga mendalami masalah agama lainnya. Ia bersyukur justru di Kanada yang umat Islamnya minoritas ia berkesempatan memperdalam agama.
Pada 1993, Kudang pun kembali ke tanah air. Semangat belajarnya masih menggebu. Ia pun mencari guru di Jakarta. Ia bertemu dengan Ustadz KH Ahmad Musyaffa, Alhafidz. Sembilan saudara laki dan perempuannya semuanya hafal Al Qur'an. Kudang merasa nyaman karena diberi keleluasan waktu untuk belajar. Mungkin Ustadz
Musyafffa mempertimbangkan kesibukannya sebagai pengajar dan PNS.
“Ustadz Musyaffa bilang jam berapa saja saya mau datang ke rumahnyadi Jakarta, beliau siap menerima saya. Pulang ngajar jam 9 malam atau bahkan jam 12 malam, beliau dengan sabar dan tulus menerima. Saya pun tidak menyia-nyiakan kemudahan ini,” kenangnya.
4 Resep Jitu
Ia membocorkan sejumlah resep belajar Alquran yang ia dapat dari gurunya itu. Pertama, belajar Al Qur'an -baik membaca apalagi menghafal- harus berguru. Kedua, musti sabar tidak tergesa-gesa. Ketiga, mohon kepada Sang Pemilik Al Qur'an, yaitu Allah swt.
Ketiga resep itu, termaktub di ayat 16-19 surat Al Qiyamah. “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.”
Kudang telah membuktikan janji Allah ini. Setelah 4 tahun membaca bin nadzor (melihat lembaran bukan menghafal), ia mulai menghafal. “Alhamdulillah, saya bisa menyelesaikan satu putaran khatam dalam 5 tahun. Padahal saat itu saya sudah usia 45 tahun lebih. Dua hari sekali dari Bogor saya ke Jakarta untuk menghadap ustadz. Kalau ada kegiatan kampus atau lainnya, saya usahakan ganti di lain hari,” ucapnya. Sekarang sudah putaran ketiga.
Mempertahankan bacaan adalah tugas terberat. “Kuncinya menyediakan waktu untuk menderes bacaan dan hafalan sebanyak dan serutin mungkin. Juga menjaga diri dari perbuatan maksiat, itu pesan guru saya. “Al Qur'an adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Tak mungkin keduanya bisa bersatu,” tegasnya.
Lebih Tua
Resep terakhir yang ia beberkan adalah memperbanyak hadir dalam majelis Al Qur'an. “Kita perlu sering ikut acara khataman,” katanya. Atas nasihat gurunya, Kudang mengadakan khataman tiap pekan di kampus. “Alhamdulillah, ada mahasiswa, dosen dan pegawai yang tertarik dan termotivasi untuk belajar bahkan ada yang menghafal Al Qur'an,” katanya.
“Yang pasti usia bukan halangan untuk menghafal Al Qur'an. Guru saya menceritakan ada seorang ibu yang mulai belajar menghafal di usia 50 tahun. Dan alhamdulillah dia mampu walau memerlukan 15 tahun,” ujarnya.
Kudang menunjuk ayat, ‘Kami telah memudahkan Al-Qur’an untuk dipelajari. Maka adakah orang yang mau mempelajarinya?’ Ayat itu diulang 4 kali di surat al-Qamar. “Ini menunjukkan bahwa Al Qur'an dijadikan mudah untuk dipelajari,” pungkasnya.{}