Memberi atau menerima sesuatu ternyata mempunyai efek luar biasa terhadap kondisi batin. Rasulullah Saw merupakan uswah dalam hal ini. Beliau adalah manusia yang paling dermawan dari manusia yang pernah ada. Kedermawanan Rasul memiliki rahasia-rahasia yang bisa kita ambil nilai-nilainya.
Mental Kenabian
Sifat dermawan merupakan fitrah yang dimiliki Rasulullah saw. Memberikan sesuatu menjadi kebiasaan hari-hari beliau. Di antara citra dermawan beliau adalah selalu memberikan sesuatu yang diminta orang lain. Atau ada tanda-tanda seseorang suka pada barang yang dimiliki beliau. Jika beliau tidak memiliki barang yang diminta, beliau selalu menggantinya dengan yang beliau miliki.
Dermawan adalah sebagian tanda kenabian. Setelah perang Hunain, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang cukup banyak, di antaranya onta dan kambing super. Shafwan yang belum ber-Islam sangat tertarik pada onta-onta super tersebut.
Melihat gelagat itu, Rasul menawarkan kepadanya. “Wahai abu Wahb, Anda tertarik onta itu?”. Langsung saja dia menjawab ‘Iya’. ‘Unta itu milikmu!” kata Nabi.
Shafwan takjub pada sifat dermawan Nabi. Dia langsung menyatakan syahadat. “Saya bersaksi bahwa Engkau adalah Rasulullah, tidak ada yang memiliki jiwa seperti ini kecuali jiwa seorang Nabi”. (al-Waqidi, a-Maghazy)
Posisi memberi bagi Rasulullah sama dengan kedudukan shalat malam. Shalat malam memiliki derajat tinggi di hadapan Allah swt ‘maqaman mahmuda’. Hal terberat bagi manusia biasa ternyata bukan shalat malamnya, melainkan proses bangun pertama dan mengambil air wudlu.
Bagi Nabi, shalat malam menjadi kekhususan yang wajib dilaksanakan. Namun walaupun wajib, tidak ada kamus ‘berat’ dalam pribadi Nabi. Malahan, beliau melaksanakanya sebagai kebutuhan primer sebagai bentuk syukur.
Nah, posisi memberi sesuatu bagi seorang Nabi tak ubahnya seperti shalat malam. Tidak ada kata ‘berat’ bagi seorang Nabi. Dalam sebuah hadits disebutkan, “dua hal yang yang tidak berat dilaksanakan Nabi saw kepada orang lain; berwudlu di malam hari ketika hendak melaksanakah qiyam lail, dan orang yang meminta maka rasul akan segera memberinya dengan diri beliau (tanpa perantara).” (HR. Ibn Sa`ad).
Membunuh Ego
Sedekah tidak bisa dilakukan oleh manusia yang masih terbelenggu egonya. Memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan sangat dianjurkan. Selain memiliki pahala sangat tinggi, hal ini menunjukkan bahwa dia memiliki sifat penyayang. Nabi memberi contoh, sedekah juga harus diberikan kepada orang yang tidak suka kepada kita.
Shafwan bin Umayyah bercerita bahwa Nabi Muhammad Saw memerikan apa yang dia minta dan dibutuhkan. Padahal, kata Shafwan; Nabi adalah orang paling dia benci dalam hidupnya ‘innahu laabghadynnas ilayya’. Namun, Rasul membalas kebencian itu dengan jiwa dermawanya. Sehingga sifat itu meluluhkan api kebencian. Bahkan, setelah memeluk Islam Rasul menjadi manusia yang paling dicintainya ‘hatta innahu la ahbbunnas ilayya”. (HR. Tirmidzy)
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa dengan sedekah, kebencian berubah menjadi kecintaaan, kecintaan menjadi sebab ketenteraman, dan ketenteraman adalah tanda kebahagiaan. Hati siapa yang tidak luluh oleh jiwa yang teduh. Cahaya kedermawanan akan menutupi gelapnya kebencian.
Mental Cukup
Nabi juga memberi wejangan. Walaupun mendapatkan pemberian, seseoraag dilarang mempunyai mental peminta-minta, mental tangan di bawah. Seseorang yang diberi juga diperintahkan bersyukur atas rizqi yang datang padanya.
Dalam suatu kisah disebutkan bahwa Nabi membagi-bagikan bahan-bahan kebutuhan rumah tangga dari harta Nabi sendiri. Setiap sahabat mendapatkan bagian masing-masing. Namun, beberapa sahabat di kalangan anshar meminta tambahan, bahkan sampai beberapa kali, hingga barang itu habis. Inilah benih-benih munculnya mental tamak dan mental peminta yang dikhawatirkan Nabi.
Melihat sikap seperti ini, Nabi menyatakan; "Siapa yang menjaga kehormatan, maka Allah akan menjagaanya. Siapa yang merasa cukup Allah akan mencukupinya. Siapa yang berusaha sabar, Allah akan menguatkan kesabaranya. Siapa yang sudah diberi, pemberian itu adalah yang terbaik baginya". (HR. Imam Enam)
Maka, mental yang harus dimiliki adalah mental hamba yang bersyukur dan berkecukupan. Pemberian itu sebagai bentuk kasih sayang Allah agar hanya fokus kepada Allah, tanpa memikirkan urusan uang. Selain itu, ia juga diminta membalas sang pemberi dengan senantiasa mendoakan kebaikan untuknya. ***
Sumber Majalah Al Falah Edisi Januari 2020
Baca juga:
Konsultasi Zakat dari Tabungan Gaji di Bank | YDSF
Cara Menghitung Zakat Profesi | YDSF
Perbedaan Zakat Profesi dan Zakat Pertanian | YDSF
Tips Puasa Gadget di Bulan Ramadhan | Ydsf
Tips Melatih Anak Berpuasa | YDSF
Bayar Zakat untuk Orang yang Meninggal | YDSF
Perbedaan Zakat, Infaq, dan Sedekah | YDSF
Waspadai Perkara Perusak Amal | YDSF
ZAKAT FITRAH | YDSF