“Mama, haid itu nanti kayak gimana? Katanya sakit ya? Katanya temen-temen kalau perempuan sudah haid, bisa hamil kalau ciuman sama anak laki-laki. Masa’ sih Ma, ciuman itu bisa bikin hamil?”
Tantangan dari berbagai pertanyaan yang muncul dari anak-anak perempuan pada sang ibu. Tanda-tanda dewasa sudah mulai nampak. Penasaran yang timbul dari dalam diri mereka selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali menjadi susah untuk bisa dijelaskan. Ketakutan salah menjawab hingga takut si anak perempuan dapat bertindak di luar nalar menjadi tugas tersendiri bagi seorang ibu. Belum lagi, ke depannya si anak perempuan ini juga akan memiliki kehidupan baru dan menjadi seorang ibu untuk anak-anak mereka kelak. Lantas, apa yang perlu dilakukan?
1. Kenali Tanda Awal Anak Perempuan Mulai Dewasa
Kita mengenal istilah aqil baligh, mukallaf, dan mumayyiz dalam Islam untuk menandai anak-anak yang masuk usia dewasa. Secara bahasa aqil artinya adalah orang yang berakal, baligh artinya adalah sampai dan mukallaf artinya dibebani. Maka bila kita simpulkan, aqil baligh memiliki makna orang yang sudah cukup umur dan berakal. Berbeda dengan mukallaf adalah orang yang akil baligh dan telah memiliki kewajiban menjalankan hukum agama.
Secara umum, tanda-tanda dewasanya seorang anak perempuan dimulai dengan mereka mengalami haid. Setiap anak pun memiliki fase usia yang berbeda saat mereka mulai haid yang pertama. Namun, secara teori juga dikatakan bila anak perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mereka masih belum haid, maka otomatis ia dianggap sudah baligh. Karena pada usia tersebut, seorang anak perempuan telah mampu membedakan mana yang baik dan buruk, secara istilah dikenal dengan mumayyiz. Tidak setiap anak yang telah mumayyiz memiliki perubahan fisik.
Sedangkan dalam psikologi, anak yang beranjak dewasa dikenal dengan istilah pubertas. Kata pubertas berasa dari serapan bahasa Inggris, yakni ‘puberty’ dengan kata dasar ‘pubic’. Pubic adalah jenis rambut-rambut halus yang tumbuh di bagian tubuh tertentu sebagi tanda berkembangnya fungsi reproduksi dalam tubuh anak-anak yang akan menjadi dewasa. Jadi, pubertas secara harfiah mengarah pada kajian perubahan perkembangan fisik. Namun, paa ilmuwan dan praktisi psikologi lebih cenderung membahas pubertas pada arah kajian terkait perubahan sikap dan perilaku, seperti mulai mencari jati diri, sikap suka mencoba, emosi labil, dan berbagai perubahan pada fase remaja yang sering ditangkap ‘tak sesuai aturan’ dan ekspresif oleh sebagian masyarakat.
2. Mencoba Memahami Tidak Adanya Fase Remaja
Masa remaja yang labil itu bisa tidak ada. Artinya dari fase anak langsung jadi dewasa. Ketika menggunakan kata remaja, orang tua jadi sering mentoleransi "kesalahan anak yang sudah beranjak dewasa", menganggap ini adalah masa transisi. Sedangkan oleh hukum syariat hal ini justru tidak ditoleransi. Misalnya ada anak perempuan, 12 tahun dan masih SMP, sudah mengalami haid. Dia digoda temannya, diajak pacaran, dan dengan suka rela disetubuhi, lalu hamil. Apakah karena anak ini masih dianggap remaja labil, sehingga dia tidak bersalah? Bahkan undang-undang perlindungan anak pun masih menganggapnya anak-anak. Tapi secara hukum agama apakah dia terbebas dari dosa zina? Tentu saja tidak, hukum tetap berlaku. Dia sudah baligh, dia sudah menanggung nasib surga dan nerakanya.
Kita perlu melakukan pergeseran pemikiran, bahwa tidak ada masa remaja, yang ada adalah masa anak-anak dan baligh. Baligh dengan segala tanggung jawabnya.
3. Selalu Dampingi Anak Perempuan yang Mulai Dewasa
Karena yang akan terlihat lebih dulu adalah perubahan fisik, maka hal pertam ayang perlu diajarkan pada anak perempuan adalah pemahaman terkait hal tersebut. Pendampingan dan pemahaman tentang kejadian alamiah seperti haid dan bagaimana menghadapinya. Misal, cara bersuci setelah haid (mandi jinabat) dan tata caranya ketika selesai haid.
Berikutnya, barulah memberikan pendekatan pada anak tentang tanggung jawabnya dalam berbagai hal. Anak perempuan juga perlu mengetahui tanggung jawab spiritualnya. Mulai dari tanggul jawab melaksanakan ibadah shalat, puasa, membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang membuat mendatangkan dosa dan pahala, hingga pemahaman bentuk-bentuk ibadah lain sebagaimana diajarkan dalam Islam. Bila mereka telah memahaminya, maka perlu dilatih bagaimana mereka menjalankannya. Pendampingan juga perlu dilakukan. Karena dengan latihan ini juga dapat menimbulkan rasa tanggung jawab pada anak.
4. Terbuka dalam Dialog Tentang Ketertarikan Lawan Jenis
Menginjak fase dewasa, maka anak pun juga mulai memiliki rasa suka atau tertarik dengan lawan jenisnya. Maka, sebagai orang tua juga perlu melakukan pendekatan terhadap anak tentang hal ini. Agar rasa yang mereka sedang hadapi dapat dikelola dengan baik. Dan tidak membawanya kepada sesuatu yang berlebihan bahkan melebihi batas norma hukum dan agama.
Ibu perlu mendekati setiap anak gadisnya, untuk berdialog bahwa rasa suka wajar, karena itu fitrah dan karunia. Tumbuh tanpa kita sadari. Namun, juga perlu dikomunikasikan bahwa rasa suka jangan sampai menjadi aksi pelampiasan yang tak terkendali. Ada batasan, semisal tidak boleh keluar berduaan atau bahkan sampai saling berpegangan tangan antar lawan jenis.
Pendekatan yang lembut juga akan memberikan kenyamanan kepada anak perempuan. Bisa saja Ibu buat dialog pembahasan lawan jenis dengan anak menjadi hal yang lebih visioner dengan tujuan-tujuan Islami. Serta dalam koridor-koridor yang diperkenankan dalam Islam.
"Mbak, kamu bayangin gak. Kalo cowok yang kamu sukai sekarang, itu bakal jadi suamimu..kira-kira dia jadi suami yg baik nggak. Ya menurut mama dia cakep sie, tapi kok kemarin, pas teman-temannya berangkat ke masjid, dia malah main hape. Masak kamu mau punya suami yang males sholat, mbak"
Maka, pada dasarnya setiap anak perlu dikawal agar bisa mengendalikan 'hawa nafsu' tertarik lawan jenisnya ini, saat pertama jatuh cinta. Jadi saat jatuh cinta kedua, ketiga, dan seterusnya anak kita sudah punya sudut pandang yang benar dan sudah bisa mengendalikan diri.
Disadur dari Majalah Al Falah Edisi April 2019 Rubrik Ruang Utama: Anak Gadisku Siap Menjadi Ibu
Baca juga:
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Mengasuh Anak Generasi Milenial | YDSF
Menghadapi Kenakalan Anak Milenial dengan Parenting Islami | YDSF
Jangan Terbiasa Berbohong pada Anak | YDSF
Bagaimana Cara Membedakan Bid’ah atau Bukan?
Konsultasi Zakat Secara Online di YDSF