Dahulu orang cenderung berhati-hati mengkonsumsi sesuatu. Saat ini berubah. Orang cenderung kurang mempedulikan halal dan haram makanan. Padahal makanan sangat berpengaruh pada perilaku seseorang. Jika yang dikonsumsi makanan haram, menjadi penyebab hati sesorang menjadi gelap sehingga susah menerima kebenaran. Berat pula melakukan kebajikan.
Banyak praktik-praktik kriminal saat ini yang luar biasa. Ada ayah tega memperkosa putri kandungnya. Atau anak memperkosa ibunya. Orangtua membunuh anaknya, atau anak membunuh orang tuanya. Suami membunuh istrinya, dan sebaliknya. Salah satu penyebab gelapnya mata hati adalah konsumsi makanan yang tidak halal. Itulah sebabnya Nabi Muhammad Saw mewanti-wanti kita agar menjauhi yang haram dan syubhat.
Munculnya aneka makanan termasuk yang syubhat dan haram ke lingkungan masyarakat muslim, dipicu oleh gaya hidup global. Intensitas informasi media bisa memengaruhi keinginan untuk mencoba. Contohnya kasus menu masakan kelelawar. Beberapa televisi mengangkat informasi menu kuliner unik beberapa daerah, salah satunya menu kelelawar.
Menu kelelawar di Kediri misalnya menyediakan menu rica-rica codot dan kelelawar. Menu kelelawar juga menjadi menu unik dalam masakan Manado. Diberitakan sebuah media, rombongan pejabat dari Jakarta sempat memesan menu khas Manado ini. Paniki santan, namanya, berbahan baku kelelawar. Istilah paniki jika tidak disebut yang lain, maksudnya adalah kelelawar. Jika disebut misalnya sapi paniki, maka yang dimaksud adalah daging sapi yang dibumbui dengan bumbu paniki. Atau ayam paniki, daging ayam yang dimasak dengan bumbu paniki.
Bagaimana hukum mengkonsumsi kelelawar? Setiap muslim haruslah memperhatikan dan menimbang lebih dahulu sebelum memutuskan mencicipi masakan apa pun yang belum jelas halal haramnya. Sesuatu yang belum diketahui halal dan haramnya adalah termasuk yang masih samar, masih disangsikan kehalalannya, yang dalam bahasa agama disebut syubhat.
Rasulullah Saw bersabda:
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Maka barangsiapa menjaga dirinya dari perkara syubhat, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Maka barang siapa terjerumus kepada perkara syubhat, ia terjerumus kepada yang haram....” (HR Muslim, No. 2996)
Menurut Imam Syihab al-Din Ahmad bin Imad al-Syafi’i yang terkenal dengan julukan Ibnu Imad (750 H-808 H) dalam kitabnya al-Tibyan li Ma Yuhallu wa Yuharramu min al-Hayawan (hlm. 85), kelelawar ada empat macam penyebutan, yaitu: khuffaasy, khusyaaf, khuthaaf, dan wathwaath. (lih. hlm. 85). Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama seputar hukum mengkonsumsi kelelawar. Namun, kebanyakan para ulama menghukumi haram.
Ulama Syafi’iyah menghukumi haram. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Imad dalam al-Tibyan (hlm. 87), kelelawar menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i adalah haram. Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz IX/hlm. 23 juga menegaskan haramnya kelelawar. Dasar keharamannya adalah karena Rasulullah Saw melarang membunuhnya. Sebagaimana antara lain diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (juz IX/hlm. 534) hadits No. 19382, Rasulullah Saw bersabda:
لا تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ وَلا تَقْتُلُوا الْخُفَّاشَ فَإِنَّهُ لَمَّا خَرِبَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ قَالَ : يَا رَبِّ سَلِّطْنِي عَلَى الْبَحْرِ حَتَّى أُغْرِقَهُمْ
Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih. Janganlah membunuh kelelawar, karena ketika baitul Maqdis roboh, dia berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah aku kekuasaan untuk mengatur lautan, sehingga aku bisa menenggelamkan mereka (orang yang merobohkan baitul maqdis).
Imam Ibnu Quddamah al-Maqdisi, dari madzhab Hanbali dalam kitabnya al-Mughni (Juz XIII/hlm. 323), menjelaskan tentang keharaman kelelawar.
قَالَ أَحْمَدُ : وَمَنْ يَأْكُلُ الْخُشَّافَ وَسُئِلَ عَنْ الْخُطَّافِ فَقَالَ : لَا أَدْرِي . وَقَالَ النَّخَعِيُّ : كُلُّ الطَّيْرِ حَلَالٌ إلَّا الْخُفَّاشَ, وَإِنَّمَا حُرِّمَتْ هَذِهِ لِأَنَّهَا مُسْتَخْبَثَةٌ لَا تَسْتَطِيبُهَا الْعَرَبُ وَلَا تَأْكُلُهَا .
Imam Ahmad berkata mengenai orang yang makan kelelawar dan ditanyakan pula mengenai khuththaf (sejenis kelelawar), maka beliau menjawab, “Saya tidak tahu”. Imam al-Nakha’i mengatakan, “Setiap burung (hewan yang bisa terbang) itu halal kecuali kelelawar. Kelelawar diharamkan karena jelek (kotor), orang Arab tidak menganggapnya baik dan tidak memakannya.”
Pendapat berbeda disampaikan Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani yang menyatakan boleh. Hal ini sebagaimana dikutib oleh Ibnu Imad dalam al-Tibyan (hlm. 87). Ibnu Abidin seorang ulama Hanafiyah menyampaikan bahwa terkait dengan hukum kelelawar para ulama berbeda pendapat (Radd al-Muhtar Juz IX/hlm. 444).
Sedangkan madzhab Maliki menyatakan bahwa kelelawar makruh. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Ahmad bin Muhamad al-Dardir, ulama Malikiyah dalam kitabnya al-Syarh al-Shaghir (Juz II/hlm. 186). Disebut makruh, sudah tentu berbeda dengan mubah.
Dari penjelasan tersebut, hemat penulis menghindari mengkonsumsi kelelawar adalah cara yang terbaik. Masih banyak menu-menu lain yang jelas kehalalannya dan enak dikonsumsi serta menyehatkan.
Wallahu a’lamu bi a-shawab
Daftar Pustaka:
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Quddamah al-Maqdisi, 1997, al-Mughni, Dar Alam al-Kutub, Riyadh
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Dardir, tt, al-Syarh al-Shaghir ala Aqrab al-Masalik, Dar al-Ma’arif, Cairo
Ibnu Abidin, 2003, Radd al-Muhtar ala al-Durr al-Mukhtar, Dar Alam al-Kutub, Riyadh
Muhyi al-Din al-Nawawi, tt, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah
Syihab al-Din Ahmad bin Imad al-Syafi’i, 1996, Al-Tibyan li Ma Yuhallu wa Yuharramu min al-Hayawan, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut
Naskah: H. Ainul Yaqin, S.Si. M.Si. Apt.
Sumber: Majalah Al Falah Edisi Agustus 2019
Editor: Nara
Baca juga:
Orang-Orang Yang Didoakan Malaikat
Wanita Mulia, Yang Makamnya Harum Semerbak