Gegap gempita pemilihan gubernur (pilgub) DKI usai. Jakarta akhirnya memiliki pemimpin baru. Sang Gubernur baru Jakarta kini telah sah memimpin Ibu kota. Nama Anies mengingatkan kita kepada sang kakek, AR. Baswedan, Abdurrahman Rasyid Baswedan.
Siapa AR Baswedan? Sejarah mencatat, beliau adalah diplomat terbaik dan Menteri Muda Penerangan RI 1946-1947 yang sangat sederhana yang pernah dimiliki negeri ini.
Surat pengakuan kedaulatan pertama. Bahwa negeri ini, Indonesia tak lagi sendiri. Setelah berhasil pada misi diplomatik pertama, Baswedan tetap mengabdi pada bangsa ini, dan kelak 1955 menjadi anggota Parlemen dan Badan Konstituante.
Pulang dari Mesir, Menteri Muda Penerangan ini mendapat musibah. Istrinya meninggal dunia, Juli 1948. Ia pun harus mengurus anak-anaknya sendiri. Untuk menghibur hatinya, anak-anaknya yang berada di Solo diboyong ke Ibukota dan tinggal di kantor Administrasi RI di Jalan Wilis, kotabaru, Yogyakarta.
Baswedan sendiri dipinjami rumah oleh seorang pengusaha bernama Haji Bilal dan tinggal di Taman Yuwono Yogyakarta. Namun, kondisi Yogyakarta justru makin panas, hingga dilancarkannya Agresi Militer Belanda II Desember 1948.
Pada 19 Desember 1948 kira-kira pukul 03.00-04.00 terdengar suara pesawat terbang. Pak Natsir saat itu tidak jadi ikut Presiden ke India karena jatuh di kamar mandi dan mengalami gegar otak ringan. Setelah pukul 04.00 terdengar suara kapal terbang, pagi harinya Bandara Maguwo dibom oleh Belanda.
Dalam waktu yang cepat, Belanda masuk ke Yogyakarta. Saat itu di Gedung Negara sedang diadakan sidang, Baswedan berada juga di tempat itu. Kepala Staf Angkatan Perang T.B. Simatupang kemudian datang dengan buru-buru dan merencanakan gerilya. Baswedan sendiri saat itu bergegas menuju ke RRI untuk siaran kepada pemerintah darurat RI yang berada di Sumatera yang dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara.
RRI waktu itu dengan gedungnya yang kecil, berada di sebelah timur Bank Indonesia. Tetapi, gedung itu selalu dibayangi oleh kapal perang Belanda. A.R Baswedan minta agar pengumuman segera dibacakan oleh penyiarnya.
Dari RRI, Baswedan pulang ke Jalan Wilis, tetapi di sepanjang jalan ia terhalang akibat adanya pengeboman. Sesampai di kediamannya, tentara Belanda masuk ke rumahnya. Saat itu kekuatan Belanda yang lengkap dengan tank disiapkan di lapangan SMA III Kotabaru, Yogyakarta. Suatu kesalahan yang terlupakan karena papan nama RRI tak diturunkan sehingga dengan mudah diketahui Belanda dan menjadi sasaran penyerbuan.
Pasukan Belanda yang masuk ke rumahnya adalah orang Ambon dan Timor. Rupanya mereka kasihan melihat anak-anak A.R. Baswedan yang banyak dan masih kecil-kecil. Hanya lemari bukunya yang diobrak-abrik. Rumahnya di Jalan Wilis, Kotabaru, tidak aman karena sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran pasukan Belanda.
Karena itu, Baswedan menghubungi Moh Natsir, yang menyuruhnya agar menumpang pada kemenakan Natsir (pegawai PLN) di Jalan Jetis. Rumah itu kecil dan hanya bisa digunakan satu kamar sehingga dipergunakan untuk tidur satu keluarga.
Tuhan menolong hidupnya karena saat itu kemenakan Moh. Natsir mengurusi koperasi PLN, antara lain punya persediaan beberapa karung teh. Baswedan pergi tiap hari mencari pembeli pukul 06.00-10.00. Setelah jam itu, keadaan kota sangat sepi, tidak ada orang yang berjalan, sedangkan di setiap perempatan jalan Belanda menempatkan senapan mesin.
Bahkan, setelah pukul 11.00, tak ada orang yang berjalan sama sekali karena jika ada orang yang berjalan mulai waktu itu dituduh mata-mata Belanda. Dari hasil penjualan pakaian dan bungkusan teh setiap hari, Baswedan dapat nafkah untuk keluarganya.
Pengalaman itu bagi anak-anaknya merupakan suatu hal yang amat menggembirakan. Karena pada saat itu PMI memesan satu karung teh pada Baswedan yang dibawanya dengan gerobak dan didorongnya sendiri ke kantor PMI. Hasil penjualan teh itu dapat dipergunakan untuk mencukupi makan anak-anaknya setiap hari.
“Walaupun pernah menjabat Menteri Muda Penerangan Republik Indonesia dan bahkan menjadi delegasi di Kairo untuk memperoleh dukungan untuk negara kita yang sukses itu A.R.Baswedan masih harus menjalani penderitaan lahir dan batin,” dalam buku biografi AR Baswedan Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan (tulisan Suratmin & Didi Kwartanada, penerbit Gramedia).
Sampai akhir hayatnya, AR. Baswedan tinggal menumpang di Yogyakarta. Adapun mobil yang dimilikinya merupakan hadiah dari sahabatnya yang Wakil Presiden RI, Adam Malik. Keyakinannya itu, ia menjadi seorang yang tabah, tangguh, dan tak mudah tergoyahkan, ia tetap optimis akan keberhasilan cita-citanya. Semoga Gubernur Baru Jakarta mewarisi perjuangan kakeknya.
Oleh: Rizki Lesus
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Baca Juga:
Karakteristik Para Hamba Yang Dicintai Allah | Ydsf
Tingkatkan Semangat dan Nilai Berqurban | YDSF
Makna Qurban dalam Islam | YDSF
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
Hikmah Pendidikan Dibalik Keyatiman Rasulullah | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF