Imam al-Raghib dalam kitab Mufradat mengatakan, “Secara etimologis, arti asal dari kata sabt adalah al-qathu’u ‘memotong/ menulis’; dikatakan sabata as-sayr berarti ‘memotong perjalanan’, dan sabata sya’rahu berarti ‘memotong rambutnya’. Dinamakan hari Sabtu karena Allah memulai penciptan langit dan bumi pada hari Ahad, lalu Allah menciptakannya dalam tempo enam hari, maka Allah akan mengakhiri pekerjaan-Nya itu pada hari Sabtu. Karenanya, hari itu dinamakan hari Sabtu. Tidur dinamakan subaatan karena orang yang tidur terhenti atau terputus dari pekerjaannya ketika sedang tidur.’’
Digabungkannya hari Sabtu dengan orang-orang Yahudi sangatlah tepat karena sesuai dengan nama dan maknanya. Kata As Sabt dan kata turunannya disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali dan semuanya itu disebutkan dalam satu konteks, yaitu pembicaraan tentang orangorang Yahudi (dalam Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Dr. Shalah Al Khalidy, Kisah Orang Yahudi dan Hari Sabtu (As-Sabt) Mereka Diuji Sabtu, Muslim Diuji Jumat Gema Insani Press, Jilid I).
Bagi kaum Yahudi, hari Sabtu memiliki makna Allah memerintahkan kepada mereka agar berhenti dan memutuskan diri dari semua pekerjaannya. Akan tetapi, kaum Yahudi yang memang tumbuh dan terbentuk dalam watak suka membangkang dan melanggar perintah dan larangan, mereka melanggar pantangan hari Sabtu. Maka pantaslah mereka mendapatkan kutukan Allah dan mendapatkan azab Allah dengan diubahnya wujud mereka menjadi monyet dan babi.
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kamu kera yang hina’” (QS. Al A’raf: 166).
Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sejatinya dahulu kala Allah telah mewajibkan orang Yahudi untuk beribadah pada hari Jumat, tetapi mereka sesat dan melanggar pantangan hingga kemudian mereka diwajibkan untuk khusus beribadah dan meniadakan kegiatan berburu pada hari Sabtu. Kemudian Allah memberi petunjuk kepada umat Islam untuk melaksanakan kewajiban pada hari Jumat.
Pada suatu ketika bertepatan pada hari Jumat, Nabi saw. bersabda, “Kita adalah orangorang (umat) paling akhir, namun yang pertama pada hari kiamat. Kita adalah orang pertama masuk surga. Hanya saja, mereka (umat sebelum kita) lebih dahulu diberi kitab sebelum kita, sedangkan kita mendapatkannya sesudah mereka. Lalu mereka berselisih, maka Allah memberi petunjuk kepada kita tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Hari ini (Jumat) adalah hari yang mereka perselisihkan dan Allah memberi petunjuk kepada kita untuk komitmen dengan hari Jumat, maka hari ini adalah milik kita, hari esok (Sabtu) untuk orang-orang Yahudi, dan esok lusanya (Ahad) untuk orang-orang Nasrani” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah).
Penolakan orang Yahudi untuk menerima hari Jumat dan memilih hari Sabtu sebagai hari suci dan istimewa adalah bukti atas mental dan temperamental mereka yang tidak simpatik dalam merespon perintah Allah. Berbeda jauh antara temperamen orang-orang Yahudi, para sahabat nabi dahulu merespon perintah ibadah hari Jumat dengan antusias, disiplin, dan penuh komitmen.
Allah telah menguji orang-orang Yahudi penduduk desa tepi laut itu dengan adanya larangan untuk menangkap ikan pada hari Sabtu, “Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik,” (QS. Al A’raf 163).
Kita akan memahami mana orang yang bersungguh-sungguh dan mana orang lalai, yang shalih dan yang jahat, yang kuat imannya dan yang lemah, yang serius dan yang main-main, serta yang sukses dan merugi.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya 35)
Yang Sungguh-Sungguh vs. Main-Main
Kita telah menyaksikan cobaan Allah terhadap orangorang Yahudi dan bagaimana sekelompok orang dari mereka berkilah dan melanggar larangan, sementara kelompok lain dari mereka berdiam diri tidak memberi nasihat dan tidak melakukan protes. Sebagian besar orangorang Yahudi (sebelum Islam) tidak berhasil dalam menghadapi ujian dan mereka tidak teguh pendirian dalam menghadapi cobaan. Sementara itu, orang-orang Islam senantiasa berkomitmen dengan perintah Allah dan mereka berhasil dalam menghadapi cobaan.
Misalnya, umat Islam yang sedang melaksanakan ihram haji atau umrah tidak boleh berburu meskipun binatang buruan itu berada dekat sekali dari mereka yang dapat mudah dijangkau tangan dan tombak mereka (QS. Al Maidah 94). Dan masih banyak larangan lainnya dalam rangkaian ibadah haji dan umrah.
Faktor yang menyebabkan gagalnya orang Yahudi dalam menghadapi ujian itu adalah kefasikan dan pembangkangan mereka terhadap perintah-perintah Allah. “Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”
Adapun faktor yang menyebabkan keberhasilan orangorang Islam yang beriman dalam menghadapi cobaan itu adalah karena mereka takut kepada Allah meskipun sedang sendiri dan tidak melihat-Nya, “Supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya biarpun ia tidak dapat melihat-Nya” (QS. Al Anbiya 49).
Sumber Majalah Al Falah Edisi Juli 2018
Bayar Qurban Online:
Baca juga:
Qurban untuk Orang Meninggal | YDSF
Hukum dan Dalil Qurban dalam Islam | YDSF