Kisah Musa dalam Surat Al Kahfi - Perjuangan dan Adab Mencari Ilmu | YDSF

Kisah Musa dalam Surat Al Kahfi - Perjuangan dan Adab Mencari Ilmu | YDSF

23 Januari 2020

Di sini Nabi Musa akan terus berjalan dan tak akan berhenti sampai tiba di pertemuan dua lautan, yaitu tempat yang Allah beritahukan kepadanya agar bisa bertemu dengan Khidir. Kalau ia belum sampai ke tempat itu, ia akan akan melanjutkan perjalanannya meskipun itu berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Dari ucapan Nabi Musa itu dapat kita simpulkan beberapa hal: perjalanan mencari ilmu, keinginan yang kuat, dan keyakinan untuk menghadapi semua rintangan yang menghalangi. Para ulama telah memberi contoh yang mulia dalam perjalanan mencari ilmu. Mereka menanggung letihnya perjalanan itu dan sabar terhadap segala cobaan dan halangan yang mereka hadapi.

Imam Khatib Al Bagdhadi pada abad ke-15 masehi telah menulis satu buku yang memuat orang-orang terkenal dalam melakukan perjalanan ke negeri lain untuk mencari hadits Rasulullah saw meskipun hanya satu hadits saja. Buku itu berjudul Ar Rihlah fi Thalabil Hadits ‘Perjalanan dalam Mencari Hadits.’

Kata huquban di ayat 60 surat Al Kahfi punya makna: bertahun-tahun. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan lamanya. Ada yang mengatakan 60 tahun, 80 tahun dan ada juga yang mengatakan 100 tahun. Juga kata ahqab digunakan di surat An Naba ayat 23 tentang lamanya orang kafir tinggal neraka Jahannam. Allah berfirman, “Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya.”

Ketika Nabi Musa bertemu Khidir, maka terjadi percakapan.“Kamu mempunyai ilmu –di antara ilmu Allah- yang Allah ajarkan padamu dan tidak diajarkan kepadaku. Dan aku memiliki ilmu dari Allah yang Ia ajarkan kepadaku dan tidak diajarkan kepadamu,”ucap Khidir. “Musa berkata kepada Khidhir, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’” (QS. Al Kahfi 66).

Dari Ucapan Khidir ini dapat kita simpulkan bahwa tidak ada orang yang dapat menguasai seluruh ilmu dan mengetahui segala hal. Musa adalah nabi yang mulia, tetapi ia tidak mengetahui segala hal, demikian pula Khidir. Masing-masing diajarkan sebuah ilmu oleh Allah, yang Allah tidak ajarkan kepada yang lain.

Khidir ingin menunjukkan hakikat ini kepada Nabi Musa. Ketika mereka di atas perahu, datanglah seekor burung yang hinggap di atas tiang perahu itu lalu menukik beberapa kali ke laut. Khidir berkata kepada Nabi Musa, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu tak akan mengurangi ilmu Allah seperti burung yang menukik ke laut (untuk mengambil makanan).”

Semua ilmu manusia itu hanyalah sedikit dibandingkan ilmu Allah. Allah berfirman, “…Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al Isra 85). Dari perkataan Nabi Musa di atas (QS. Al Kahfi 66) dapat kita simpulkan dua hal (dalam Kisah-kisah dalam Al Quran, Shalah Al Khalidy, Gema Insani Press, 2000, jilid II, 176-188):

Bersikap lemah lembut adalah adab murid kepada orang berilmu (guru)

Ucapan bolehkah aku mengikutimu merupakan ungkapan yang lemah lembut dan menggunakan tanda tanya sebagai bentuk penghormatan. Lalu ucapan aku mengikutimu bermakna aku pengikutmu dan bukan musuhmu dan bukan pula (sok) mengajari kamu. Maksudnya, aku mengikutimu karena suatu tujuan, perjalananku ini dan bersamamu mempunyai tujuan, agar aku belajar darimu. Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.

Kalau ilmu dicari dengan mematuhiu adabnya, maka ia akan menjadi baik dan bermanfaat. Sebaliknya, kalau ilmu dikejar tanpa adab, maka akan rusak si pencari ilmu dan orang lain. Sebagian pencari ilmu mengabaikan etika dalam proses belajar. Jika salah seorang dari mereka membacakan satu atau dua hal, atau sedang menghafal satu dua hadits, ia mengira dirinya pandai dan sudah menjadi seorang mujtahid sehingga ia harus mendapat penghormatan istimewa. Dia berlagak menjadi ulama padahal ia justru mempermalukan para ulama karena sikapnya itu. Siapa saja yang menghormati etika mencari ilmu berarti menghormati ilmu dan dan kebaikan seluruhnya.

Tujuan belajar dan mencari ilmu adalah memperoleh petunjuk hidup.

Kata rusydan di ayat 66 surat Al Kahfi bermakna petunjuk. Maksudnya petunjuk yang bisa membedakan sesuatu. Nabi Musa mengungkapkan tujuannya dalam mencari ilmu. Ia belajar agar menjadi orang yang diberi petunjuk, mempelajari ilmu yang bermanfaat, dan benar yang mengandung petunjuk. Suatu petunjuk yang membuat seseorang sanggup berinteraksi dan hidup di tengah manusia dengan petunjuk itu.

Sebagian pencari ilmu mempunyai moto: belajar untuk belajar dan ilmu untuk ilmu. Tetapi Nabi Musa mengajarkan kita untuk menjadikan perjalanan mencari ilmu dan belajar sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan yang mulia. Yakni memperoleh petunjuk dan mengaplikasikannya.

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menghasilkan petunjuk. Seperti sebuah pohon yang baik dan berkah yang menghasilkan buah yang baik lagi bermanfaat. Ilmu yang mendorong amal dan tindakan yang baik.

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi Oktober 2018

 

Baca juga:

PELAJARAN DAN KEUTAMAAN AL KAHFI DI HARI JUMAT | YDSF

Adab Terhadap Alquran | YDSF

13 Adab dalam Berdoa | YDSF

JAMAK SHALAT KARENA MACET | YDSF

Keutamaan Membaca Ayat Kursi Dan Anjuran Sedekah | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: