Namaku Jaz Cooper. Ayahku berasal dari Liverpool. Sedangkan ibuku seorang Irish. Irlandia asalnya, tepatnya kota Dublin. Namun, saat ini kami telah menetap di Melbourne, Australia.
Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku terlahir dalam keadaan seorang atheis. Itu 46 tahun silam. Seperti keluargaku.
Terlahir dalam keluarga yang tak mengenal Tuhan, membuatku sering bertanya-tanya tentang Tuhan. Tentang kehidupan setelah dunia. Dan banyak hal. Hingga kemudian aku mempelajari beberapa agama. Kristen, Katolik bahkan Budha.
Setiap hari aku bertanya. Pencarian jati diri. Mungkin itulah kata yang cocok untukku saat itu. Jiwa muda berkelana dengan eloknya mencari tentang keberadaan Tuhan dan ketenangan.
Maklum, saat itu aku masih menginjak usia 20 tahun. Aku sangat suka jalan-jalan. Tak hanya berkeliling kota. Tak jarang berkeliling negara. Hingga suatu ketika sampailah aku pada rute travellingku di Indonesia dan Malaysia.
Aku senang berkeliling sekitaran hotel di pagi buta. Baru kuketahui kemudian bahwa hotel tempatku menginap berdekatan dengan masjid. Sering aku melihat sekumpulan orang memakai pakaian rapi, baju taqwa, sarung dan perlengkapan lainnya, berbondong-bondong menuju masjid. Entah bisikan apa, aku merasa begitu tenang melihat mereka. Damai rasanya hati ini.
Rasa penasaran pun menjangkit dalam hati. Aku lalu mencari tahu, apakah muslim. Dan Islam nama agamanya. Perlahan aku mulai belajar. Sebelum kembali ke Negeri Kanguru tempatku tinggal, aku sempat mengcopy Alquran dan beberapa lembaran kajian hadits selama aku di Indonesia.
Dengan bekal yang cukup minim aku pun mulai mencari-cari masjid atau pusat-pusat pembelajaran Islam di Melbourne. Tak terasa dua tahun perjalananku mempelajari Islam. Aku pun mantap menjadi seorang muslim.
Tak usah ditanya lagi bagaimana respon keluargaku. Marah besar. Terutama ayahku. Ketika mengetahui anak laki-laki satu-satunya kemudian telah mengenal Tuhan. Khususnya menjadi seorang muslim.
Tepat pada 2002 lalu, aku menemani ayahku terbang menuju Hong Kong. Urusan bisnis. Selama berada di Negeri Telur Emas itu, aku sering menghabiskan waktu senggangku di warung internet. Hingga pada akhirnya aku sering bertemu dengan seorang wanita. Dari Indonesia dia berasal. Eti, namanya. Kami pun sering bertemu saat aku pergi ke warung internet itu.
Ketika aku harus kembali ke Australia, kami saling bertukar email. Komunikasi pun terus terjaga. Kami kembali dipertemukan oleh Allah saat aku datang lagi ke Indonesia. Sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk memulai hubungan yang lebih serius. Menikah.
Setelah menikah, istriku pun mau hijrah bersamaku ke Australia. Kami merintis komunitas mualaf di sana. Tujuan kami tak lain hanyalah ingin berdakwah di jalan Allah, mengajak sebanyak mungkin orang agar mau memeluk dan hidup dalam Islam.
Salah satu kegiatan kami adalah membantu para mualaf atau orang Australia yang akan menikah dengan orang-orang muslim. Khususnya dari Indonesia. Kami sangat paham bahwa pendekatan akan lebih mudah bila dari suku atau bangsa yang sama. Bukan bermaksud rasis. Namun, kenyamanan dalam komunikasi memang sangatlah perlu. Salah satunya adalah bila disampaikan dari orang yang memiliki latar belakang yang sama.
Tak hanya itu, kami pun juga terus melakukan pendekatan ke keluargaku. Yang notabene tak mengenal Tuhan. Berat. Memang. Namun, kami yakin pertolongan Allah akan datang.
Sembilan tahun kami berdakwah di Australia. Atas rekomendasi dari salah satu teman Indonesia yang kutemui di negeriku, aku pun memutuskan kembali ke Indonesia. Tujuanku mendalami ilmu agama. Di Gontor, itulah tempatnya. Kutinggalkan pekerjaanku dan segala hal yang kumiliki saat itu. Aku membulatkan tekad bersama istriku bahwa kami mantap untuk hijrah sementara ke Indonesia. Gila. Itulah komentar yang dating dari keluargaku, terutama ayahku.
Dengan bismillah kuboyong keluarga kecilku ke Indonesia. Tanpa bekal apapun. Allah Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Atas rahmat-Nya, kami dipertemukan dengan YDSF. Alhasil, semua biaya hidup kami selama aku menempuh pendidikan di Gontor ditanggung. Enam tahun aku berada di Gontor, mendalami ilmu agama. Nikmat dan tenang semakin kurasa. Benar-benar aku mendapat sejuknya Islam. Semua hal tentang duniawi serasa hanyalah ujung kuku jika dibandingkan dengan urusan akhirat yang harus lebih kita pikirkan.
Aku kembali merintis karirku yang sempat kulepaskan. Mengingat aku sekarang juga berkewajiban tak hanya atas diriku. Namun juga istri dan keempat anakku.
Alhamdulillah. Allah mempermudah langkahku. Aku dapat meraih karir yang sama seperti sebelumnya. Bahkan nikmat dan kelegaan lebih kurasakan dibandingkan dulu. Allah juga memberi kami tempat tinggal di lingkungan masyarakat yang sangat mendukung. Orang-orang sekitar sangat hangat kepada kami. Meski mereka tahu kami muslim. Good akhlaq, that’s the key.
Sekarang aku berprinsip bahwa urusan akhirat adalah yang terpenting. Prinsip itu bukan hanya aku pegang. Tapi istriku pula. Karena kami yakin pertolongan Allah pun selalu datang. Tak seperti dulu. Kini aku tidak takut miskin. Aku tidak hanya memikirkan tentang hidupku sendiri dan bersenang-senang. Aku mulai menata bagaimana bisa hidup memberi manfaat bagi orang lain.
Komunitas mualaf yang pernah kami rintis dulu pun berkembang. Jika pada awal dibentuk hanya empat keluarga yang ikut. Saat ini telah ada 20 keluarga yang bergabung. Alhamdulillah. Allah memberiku amanah menjadi salah satu pembina para mualaf. Mereka yang akan memeluk Islam dan yang baru masuk Islam sering berkonsultasi kepadaku. Sungguh nikmat yang begitu besar kudapat dari Allah. Bukan hanya aku, bahkan putriku memiliki citacita ingin menjadi seorang hafizhah. Serta memiliki sekolah tahfidz di Aussie.
Berbeda dengan di negara mayoritas muslim layaknya di Indonesia. Kalian bisa dengan mudah shalat di masjid. Sedangkan kami yang menjadi minoritas harus mampu beradaptasi shalat di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Yang penting tidak najis.
Namun, semua itu tidaklah menyurutkan iman kami. Justru menjadi cambukan semangat bagi kami agar tetap terus istiqomah. Maraknya isu negatif tentang Islam pun juga membuat kami terus semangat melakukan amal kebaikan. Di sini mereka tidak akan pernah tau dirimu seorang muslim, hingga mereka tau ketika kamu tidak minum alkohol, tidak pernah berbohong, selalu menolong dan melakukan perbuatan baik lainnya.
Saat Ramadan, perjuangan kami pun lebih berat. Selain berada di lingkungan mayoritas nonmuslim yang tak berpuasa, jam siang hari kami lebih panjang.
Bukan hanya shalat yang menjadi pembuktian dirimu adalah muslim. Khususnya di negeri minoritas penduduk muslim ini. Pesanku untuk para pembaca tulisan ini adalah jadikanlah Islam sebagai hal yang paling penting dalam hidupmu. Semangatlah dalam belajar Islam sebagaimana engkau mempelajari ilmu dunia. Seperti matematika, fisika, atau ilmu terapan lainnya.
Tak hanya itu, kalian juga perlu pembuktian dengan akhlak. Karena ilmu saja tidaklah cukup tanpa amal. Raih ilmunya lalu amalkan dalam kehidupan. Itulah Islam yang sesungguhnya. Karena jalan terbaik dakwah adalah akhlaq.
Naskah: Ayu SM