“Dari kisahku ini aku belajar, Allah selalu memiliki cerita indah.”
Namaku Indra Yanuar. Lebih mudah, panggil saja aku Indra. Di usiaku yang sudah menginjak 33 tahun ini, masih membujang. Maklum, aku terlalu fokus memenuhi pundi-pundi uang. Aku dibesarkan dalam naungan ajaran Katolik. Meski keluarga besar papaku Protestan, beliau memilih mengikuti keyakinan mamaku.
Namun aku bukanlah sosok yang rajin beribadah. Dalam sebulan hanya beberapa kali aku ke gereja. Dalam perjalanan kesendirianku, aku menemukan sosok perempuan yang begitu anggun dan lembut. Aku pun bertekad memiliki hubungan lebih dari sekadar teman.
Dua bulan yang lalu, rekan kerjaku mengenalkanku dengannya. Seorang wanita muslim berhijab. Namanya Iis. Aku pun mengutarakan padanya bahwa aku mencari sosok istri.
Tawaranku diterimanya dengan hangat. Perbedaan keyakinan membuat kami tak langsung berani melangkah. Sebelum melangkah jauh, kami pun berdiskusi tentang langkah ke depannya. Aku menghargai keputusannya untuk tidak masuk ke agamaku.
Gejolak di awal pasti ada. Aku berusaha membulatkan tekad. Aku ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Kuputuskan untuk menjadi seorang mualaf.
Dalam obrolan hangat bersama mama dan papaku kala itu, aku mengutarakan niatku menjadi seorang muslim. Cerita menyedihkan bahkan mengerikan dari teman-teman mualaf, ternyata tak terjadi padaku. Mama dengan lapang dada mengizinkan aku masuk Islam. Betapa bahagianya hati ini. Lalu papa? Papaku sih apa kata mama saja.
Biar pun masuknya mudah, ternyata belajarnya cukup susah. Aku yang tak pernah sekali pun tahu dan membaca tulisan Arab, kini harus mulai membiasakan diri untuk bisa bahkan menghafal bacaan-bacaan shalat. Hari aku ikrar pun datang.
Rekan kerjaku lah yang menjadi saksi saat aku memulai babak baru dalam perjalanan hidupku. Hidup dalam naungan Islam. Di saat itu pula untuk pertama kalinya aku berwudhu.
Setiap tetesan air yang mengalir di kulit tubuhku memberikan kesegaran tersendiri. Beda sekali dengan mandi. Seusai wudhu pun batinku menjadi lebih tenang. Nikmat yang tak bisa kuliskan hingga saat ini setelah aku menjadi seorang muslim.
Hari-hari sebagai seorang muslim ku lalui dengan indah. Tak ada hinaan, tak dikucilkan, bahkan tak ada teror. Masyaa Allah. Aku merasakan betul bagaimana Allah menyayangiku.
Memiliki pekerjaan di sebuah restoran fast food asing yang sangat terkemuka namanya, tak membuatku kesusahan menjalankan shalat tepat waktu. Justru, selalu ada rekan kerja yang juga mengajakku untuk beribadah.
Belajarku tak berhenti. Sampai detik ini pun aku masih harus belajar banyak tentang Islam. Mengubah diriku. Lebih dekat dengan Allah. Dan juga bersiap menjadi imam yang baik untuk Iis.
Buku-buku panduan shalat masih kubaca. Kupelajari agar aku benar-benar memahami. Tak berhenti di satu buku, aku pun membeli buku-buku lain agar aku bisa lebih mudah belajar Islam. Datang ke kajian-kajian agar imanku semakin dikokohkan.
Biasanya, aku belajar saat menjelang tidur. Waktu kondisi rumah tenang. Tak hanya soal ibadah. Keseharianku pun berubah. Setelah menginjakkan diri di garis start Islam, aku mulai bisa menjaga diri. Membatasi dari pergaulan yang tidak bermanfaat dan menimbulkan mudharat.
Bisa dibilang, aku dulunya anak gaul. Tidak afdol rasanya kalau tidak nongkrong hingga ayam jantan berkokok di waktu subuh. Tetapi kini, rasanya ada pagar yang membuatku sadar. Seolah tubuh dan jiwa ini sudah tergerak sendiri untuk menolak.
Alhamdulillah, bisa dibilang aku adalah mualaf yang beruntung. Aku mendapat teman-teman muslim baru, tetapi aku tidak dikucilkan oleh teman-teman lama. Silaturahim dengan teman-teman lama tetap ku jaga baik. Dengan batasan-batasan sesuai syari tentunya. Sebagai bentuk edukasi tak langsung bahwa muslim itu baik. Tak seburuk apa yang media selalu beritakan.
Aku sadar, aku masih jauh dari kata sempurna sebagai seorang muslim. Tapi, aku percaya, aku bisa dan Allah akan selalu ada. Jika dulu aku pecandu kerja hingga lupa ibadah, kini aku berusaha menjadi orang yang mendahulukan ibadah. Aku berusaha menjaga betul waktu-waktu ibadahku. Agar Allah selalu menjagaku.
Benar. Islam itu damai. Itulah yang aku rasakan hingga detik ini. Alhamdulillah, semakin aku banyak belajar tentang Islam dan mendekati Allah, semakin mudah pula segala urusan duniaku.
Tak terasa, bulan-bulan menjelang rencana pernikahan kami akan segera terlewati. Semoga aku terus bisa menjadi mualaf yang yakin dengan kepidahanku karena Allah. Aamiin.
Dari kisahku ini aku belajar, Allah selalu memiliki cerita indah. Ada banyak cara yang akan Dia berikan pada kita untuk selalu tersadar dan mendekatkan diri kepada-Nya. Semuanya telah diatur, tinggal bagaimana kita meresponnya.
Penulis: ayusm
Sumber: Majalah Al Falah
Baca Juga :
3 TIPS AMPUH MENJEMPUT JODOH IMPIAN
WANITA MULIA, YANG MAKAMNYA HARUM SEMERBAK
12 TIPS MENJADI KELUARGA SAKINAH