Namaku Linda Susilowati, lahir di Bima, 1 Mei 1972. Ketertarikanku pada Islam bermula dari kakak-kakaku yang lebih dulu jadi
muallaf. Hijrahku menuju Islam bukan sekadar ikut-ikutan, namun aku lebih dulu
mempelajari dan banyak cari tahu. Bahkan aku membandingkan, membuktikan secara
langsung, dan menentukan lewat proses berpikir, hingga akhirnya meyakini bahwa
Islam adalah jalan terbaik, menuju kebenaran. Maklum, aku dulunya orang yang
skeptis dan kritis terhadap agama.
Aku mengagumi kecerdasan
kakak-kakaku yang semuanya perempuan. Dari merekalah aku mengenal Islam. Bahkan
adikku laki-laki yang dulunya raja dugem, karena suka pergi ke diskotik, mendadak
berubah total menjadi religius setelah mendalami ajaran Islam dari kakakku.
Setelah adikku, barulah aku menjadi muallaf pada 2003. Sebagai anak ke lima
dari tujuh bersaudara, aku urutan ke enam yang masuk Islam. Jika ditarik mundur
ke belakang, bukan lewat seorang ustad atau kiai, kakakku berkenalan dengan
Islam, melainkan melalui kuli panggul yang bekerja pada papaku dulu. Kakaku
sering berdiskusi dengannya, yang pengetahuan Islamnya cukup baik, hingga bisa
membuat kakakku tertarik masuk Islam.
Orang tuaku membebaskan
anak-anaknya untuk mempelajari banyak hal. Apalagi mama, yang begitu membebaskan
anaknya membaca buku apa saja. Mama menginginkan anak-anaknya sekolah tinggi
agar menjadi orang pintar. Kalau papaku dulunya seorang guru di sekolah
Tionghoa, yang kini lenyap terkena penghapusan. Papaku jadi banting setir
menjadi seorang pedagang, dan sejak saat itu yang dipikirkan papaku hanya mencari
uang.
Papaku bisa
dibilang dulunya seorang Komunis, karena tidak percaya pada hal-hal yang tidak
terlihat. Bagi papaku, agama bisa diganti-ganti di KTP, hanya untuk
memperlancar urusan administrasi, akupun dulunya juga begitu, di KTP agamaku bisa
berganti-ganti sesuka hati.
Namun
Alhamdulillah, di ujung usianya sebelum meninggal, papaku telah bersyahadat. Begitu
juga aku, yang akhirnya bisa ikut bersyahadat.
Banyak
pertentangan kudapati dari sahabatsahabatku yang non muslim. Mereka bahkan ada
yang tidak lagi mau bersahabat denganku karena aku masuk Islam. Ada juga yang
bilang bahwa aku akan sulit mendapat jodoh, karena aku Tionghoa muslim adalah
kalangan minoritas. Aku tidak begitu saja mengiyakan pernyataan itu, karena aku
melihat kenyataan, bahwa agama tidak menjadi penyebab susahnya orang menemukan jodoh.
Aku yang masih
single banyak didekati pria non muslim, dan menolaknya karena jelas aku mencari
yang seiman. Menemukan yang seiman pun perilakunya kurang baik. Aku anggap itu
semua sebuah ujian. Aku tak terlalu mengkhawatirkan usiaku yang sudah tak lagi
muda namun belum menikah. Aku meyakini bahwa semua akan terjadi tepat pada
waktunya.
Aku hanya kembali
pada tujuan awal hidupku, yakni mencari jalanku kembali ke Tuhan. Setelah aku
menemukan Islam, akupun tidak lagi memikirkan dunia, tapi lebih fokus untuk
akhirat. Jangan sampai keimanan terkalahkan dengan duniawi. Materi bukanlah
tujuanku utamaku. Bukan pria kaya yang menjadikanku nyonya besar dan
bergelimang harta yang aku cari. Aku hanya menantikan imam yang mampu
menuntunku menghadap Allah, mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan di
dunia. Aku berharap, tidak lagi ada perbedaan. Jika sudah Islam, tanggalkan
suku atau rasmu, fokuskan hanya Islam, tanpa memandang latar belakang adat
budaya.
Rubrik
Mualaf Majalah Al Falah Edisi Oktober 2015
Wujudkan Wakaf Perahu Berikutnya
Artikel Terkait:
PERBEDAAN ZAKAT PROFESI DAN ZAKAT PERTANIAN | YDSF
Keutamaan Puasa Senin Kamis | YDSF
ZAKAT DALAM ISLAM | YDSF
Tips Mendidik Anak Berkarakter | YDSF
ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK | YDSF
Peresmian Pesantren Wakaf Ihya Ul Qur’an Wosossalam, Jombang
APA ITU WAKAF? PENGERTIAN, DALIL, DAN HUKUM WAKAF | YDSF
Belanja Bersama Yatim