Ali bin Abi Thalib (23 pra hijrah - 40 H/559-661 M) Radhiyallahu anhu adalah satu di antara sahabat yang merupakan kader Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang terbilang brilian. Di usianya yang belia, 10 tahun, sudah menjadi yang terdepan dalam kebaikan. Pada umur sedini itu, ia telah memeluk Islam.
Mahmūd Al-Mashri (ulama kenamaan Mesir), dalam “Aṣhābu al-Rasūl” (1/185) menjuluki Ali sebagai “Singa Pahlawan”. Kisah kepahlawanannya saat hijrah yakni pada usia 23 tahun. Ia mengemban amanah untuk menggantikan tempat tidur Rasulullah sekaligus menyerahkan barang yang dititipkan oleh orang Qurays kepada Rasulullah (Nūr al-Yaqīn,73).
Tak berlebihan jika penulis muslim kawakan negeri Kinanah, Mahmud Abbas Al-`Aqqād, dalam: “`Abqariyyatu al-Imām” (19), menyebut kunci kepribadian manusia agung ini dengan: “Kesatria”. Karena memang, bagi yang menelusuri jejak-jejak kehidupannya adalah gambaran hakiki mengenai seorang ksatria.
Pertanyaan logisnya adalah: pendidikan seperti apa yang diberikan pada Ali bin Abi Thalib hingga membuatnya menjadi sebrilian itu? Dalam hal ini, peran Rasulullah Saw begitu signifikan. Sahabat yang dikenal tampan, kuat, jenius, pemberani, teguh pendirian, adil, alim, dermawan, ahli sya`ir, mujahid tangguh, dan zahid (sederhana) ini, sejak berusia enam tahun, sudah merasakan langsung asuhan dan pendidikan Nabi Muhammad Saw. yang di Mekah dikenal luas sebagai orang yang punya integritas tinggi dan akhlak terpuji.
Ali diasuh Rasulullah pada usia dini untuk membantu meringankan beban ekonomi Abu Thalib yang memiliki banyak anak dan Mekah saat itu sedang dilanda krisis ekonomi sehingga sisi finansial keluarga Abu Thalib cukup sulit. Selain itu, meski Abu Thalib dikenal sebagai orang terpandang dan disegani di Mekah, bukanlah orang kaya, bahkan cenderung susah.
Sebelum bersama Rasulullah, sedikit banyak Ali juga meneladani sifat-sifat luhur ayahnya. Abu Thalib yang merupakan pembesar Quraisy memiliki perangai yang baik. Sebagai pemimpin, figure yang dermawan, peduli, pemberani, dan memiliki karisma yang tinggi.
Keluhuran budi Abu Thalib dilihat langsung oleh Ali bin Abi Thalib. Selain itu, sebagai orang tua, Abu Thalib sangat senang dan mendukung penuh Ali meneladani Rasulullah. Buktinya, suatu saat dirinya memergoki Ali bersama Rasulullah sedang shalat secara sembunyi-sembunyi, namun dia sama sekali tidak melarang. Diamnya sebagai tanda setuju.
Maka tidak mengherankan pula jika saudara kandungnya yang bernama Jafar bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu juga merupakan pahlawan muslim kenamaan yang gugur syahid di perang Mutah (8 H). Di sini, teladan orang tua yang disaksikan langsung dan dukungan terhadap anaknya turut berperan dalam membentuk karakter luhur sang buah hati.
Setelah hidup bersama Rasulullah (pada usia 6 tahun), Ali benar-benar mendapat keberuntungan besar. Sosok penuh teladan yang dia cintai dan segani itu sekarang seolah sudah menjadi orangtuanya sendiri. Di sini, dia mendapat lingkungan keluarga terbaik.
Sehari-hari, dia bisa melihat secara langsung bagaimana akhlak Rasulullah yang begitu luhur. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat sifat Rasulullah yang digambarkan oleh Khadijah suka menjalin sitarurahim, membantu memikul beban orang lain, membantu orang susah, melayani tamu dengan baik, dan terdepan dalam menopang kebenaran. (HR. Bukhari)
Maka tidak mengherankan, jika bocah yang hidup dalam pendidikan keluarga yang penuh keteladanan dan akhlak mulia ini, dengan sangat mudah langsung menerima Islam ketika Nabi mendapat wahyu pertama. Dibanding dengan anak sebayanya, sikap Ali cukup mengejutkan.
Sebelia itu dia sudah ikut Islam, pandai menjaga rahasia, dan antusias dalam gelanggang dakwah. Padahal, ketika itu bahaya bisa menimpanya kapan saja karena pembesar kafir Quraisy kebanyakan tak suka kepada dakwah Nabi.
Lebih dari itu, sekecil itu dia bisa memahami dakwah Nabi dengan mudah, pada saat banyak orang dewasa yang berotak cerdas tak mampu memahami, bahkan menolak. Selain keteladanan maksimal dari Rasulullah yang didapatkan sahabat yang dijuluki Abu Turab ini, ada hal lain yang membuatnya nyaman dan tentram hidup bersama keluarga Nabi. Di dalamnya, Ali dianggap seperti anaknya sendiri. Anak pamannya ini tidak pernah dibeda-bedakan dengan anak kandungnya.
Dari situ, pembaca bisa dengan mudah mengerti bagaimana dengan begitu mudahnya Ali menerima dakwah dan meneladani akhlak beliau. Nabi bagi Ali, bukan sekadar sepupu atau bagai orangtua sendiri, tapi yang tak kalah penting dalam pandangannya Rasulullah adalah idola dan teladan terbaik yang tak dia temukan pada sosok lain.
Maka tidak mengherankan jika tindak-tanduk dan segala perbuatan Rasulullah baginya adalah kebenaran yang wajib diteladani. Begitu Ali dewasa, pendidikan yang diterimanya sejak kecil membuat jiwa kepahlawanannya melesat jauh.
Di medan perang , dia adalah kesatria pemberani dan tangguh. Dalam keluarga, dia adalah sosok bapak teladan yang melahirkan anak yang kelak menjadi penghulu pemuda surga. Dalam sastra, beliau termasuk sahabat yang piawai dalam bersyair, dalam dunia hukum adalah hakim brilian bahkan pada puncaknya menjadi khalifah.
Kepahlawanan yang patut disematkan kepada sahabat sekaliber Ali ini, selain takdir Allah, juga karena keteladanan dan dukungan orang tua (Abu Thalib), lingkungan yang baik serta pendidikan brilian dari Rasulullah yang menggabungkan keteladanan, kasih sayang, dan penempaan dalam kehidupan nyata.
Oleh : Mahmud Budi Setiawan
Baca Juga:
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
Tingkatkan Semangat dan Nilai Berqurban | YDSF
Hikmah Pendidikan Dibalik Keyatiman Rasulullah | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Makna Qurban dalam Islam | YDSF
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Hakikat dan Keutamaan Silaturahim
Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF
Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF