Kehidupan Ali bin Abi Thalib bersama Rasulullah | YDSF

Kehidupan Ali bin Abi Thalib bersama Rasulullah | YDSF

2 September 2019

Ali bin Abi Thalib (23 pra hijrah - 40 H/559-661 M) Radhiyallahu anhu adalah satu di antara sahabat yang merupakan kader Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang terbilang  brilian. Di usianya  yang  belia,  10 tahun, sudah menjadi yang terdepan dalam kebaikan. Pada umur sedini itu, ia telah memeluk Islam.

Mahmūd  Al-Mashri  (ulama  kenamaan  Mesir), dalam “Aṣhābu al-Rasūl” (1/185) menjuluki Ali sebagai “Singa Pahlawan”. Kisah kepahlawanannya saat hijrah yakni pada usia 23 tahun.  Ia mengemban amanah untuk menggantikan  tempat  tidur  Rasulullah  sekaligus menyerahkan  barang  yang  dititipkan  oleh  orang Qurays kepada Rasulullah (Nūr al-Yaqīn,73).

Tak  berlebihan  jika  penulis  muslim  kawakan negeri  Kinanah,  Mahmud  Abbas  Al-`Aqqād,  dalam: “`Abqariyyatu  al-Imām”  (19),  menyebut  kunci kepribadian  manusia  agung ini dengan:  “Kesatria”. Karena  memang,  bagi  yang  menelusuri  jejak-jejak kehidupannya  adalah  gambaran  hakiki  mengenai seorang ksatria.

Pertanyaan  logisnya  adalah:  pendidikan seperti apa yang diberikan pada Ali bin Abi Thalib hingga membuatnya  menjadi  sebrilian  itu?  Dalam hal ini, peran Rasulullah Saw begitu signifikan. Sahabat  yang  dikenal  tampan,  kuat,  jenius, pemberani,  teguh  pendirian,  adil,  alim,  dermawan, ahli sya`ir, mujahid tangguh, dan zahid (sederhana) ini, sejak berusia enam tahun, sudah merasakan langsung asuhan dan pendidikan Nabi Muhammad Saw. yang di  Mekah  dikenal  luas  sebagai  orang  yang  punya integritas tinggi dan akhlak terpuji.

Ali diasuh Rasulullah pada usia dini untuk membantu meringankan beban ekonomi Abu Thalib yang memiliki banyak anak dan Mekah  saat  itu  sedang  dilanda krisis  ekonomi  sehingga  sisi finansial  keluarga Abu Thalib cukup  sulit.  Selain  itu, meski Abu  Thalib  dikenal  sebagai orang terpandang dan disegani di Mekah, bukanlah orang kaya, bahkan cenderung susah.

Sebelum bersama Rasulullah, sedikit banyak Ali juga  meneladani  sifat-sifat luhur ayahnya. Abu Thalib yang merupakan pembesar Quraisy memiliki perangai yang baik. Sebagai  pemimpin,  figure yang dermawan, peduli,  pemberani, dan memiliki karisma yang tinggi.

Keluhuran  budi  Abu  Thalib dilihat  langsung  oleh  Ali  bin Abi  Thalib.  Selain  itu,  sebagai orang  tua,  Abu  Thalib  sangat senang dan mendukung penuh Ali  meneladani  Rasulullah. Buktinya,  suatu  saat  dirinya memergoki Ali bersama Rasulullah sedang shalat secara sembunyi-sembunyi,  namun dia sama sekali tidak melarang. Diamnya sebagai tanda setuju.

Maka  tidak  mengherankan pula jika saudara kandungnya yang  bernama  Jafar  bin  Abi Thalib Radhiyallahu anhu juga  merupakan  pahlawan muslim kenamaan yang gugur syahid  di  perang  Mutah  (8 H).  Di  sini,  teladan  orang  tua yang disaksikan langsung dan  dukungan terhadap anaknya turut berperan dalam membentuk karakter luhur sang buah hati.

Setelah  hidup  bersama Rasulullah (pada usia 6 tahun), Ali  benar-benar  mendapat keberuntungan besar.  Sosok penuh  teladan  yang  dia  cintai dan segani itu sekarang  seolah sudah  menjadi  orangtuanya sendiri.  Di sini, dia mendapat lingkungan keluarga terbaik.

Sehari-hari,  dia  bisa  melihat secara  langsung  bagaimana akhlak  Rasulullah yang begitu luhur. Dengan mata kepalanya sendiri,  ia  melihat sifat Rasulullah  yang  digambarkan oleh  Khadijah  suka  menjalin sitarurahim,  membantu memikul  beban  orang  lain, membantu  orang  susah, melayani tamu dengan baik, dan terdepan dalam menopang kebenaran.  (HR. Bukhari)

Maka  tidak  mengherankan, jika  bocah  yang  hidup  dalam pendidikan keluarga yang penuh  keteladanan  dan  akhlak mulia ini, dengan sangat mudah langsung menerima Islam ketika  Nabi  mendapat  wahyu pertama. Dibanding dengan anak sebayanya, sikap Ali cukup mengejutkan.

Sebelia  itu dia sudah  ikut Islam,  pandai  menjaga  rahasia, dan antusias dalam gelanggang dakwah.  Padahal,  ketika  itu bahaya bisa menimpanya kapan saja  karena  pembesar  kafir Quraisy kebanyakan tak suka kepada dakwah Nabi.

Lebih dari itu, sekecil itu dia bisa memahami dakwah Nabi dengan mudah, pada saat banyak orang dewasa yang berotak cerdas tak mampu memahami, bahkan menolak. Selain keteladanan maksimal  dari Rasulullah  yang didapatkan  sahabat  yang dijuluki  Abu  Turab  ini,  ada  hal lain yang membuatnya nyaman dan tentram hidup bersama keluarga  Nabi. Di dalamnya, Ali dianggap seperti  anaknya sendiri. Anak pamannya ini tidak pernah dibeda-bedakan dengan anak kandungnya.

Dari  situ,  pembaca  bisa dengan  mudah  mengerti bagaimana dengan begitu mudahnya  Ali  menerima dakwah  dan  meneladani akhlak  beliau.  Nabi  bagi  Ali, bukan sekadar sepupu atau bagai orangtua sendiri,  tapi yang tak kalah penting  dalam pandangannya  Rasulullah adalah idola dan teladan terbaik yang tak dia temukan pada sosok lain.

Maka tidak mengherankan jika  tindak-tanduk  dan  segala perbuatan  Rasulullah  baginya adalah  kebenaran  yang wajib diteladani. Begitu Ali dewasa, pendidikan yang diterimanya sejak  kecil  membuat  jiwa kepahlawanannya  melesat jauh. 

Di  medan  perang , dia adalah  kesatria  pemberani  dan tangguh.  Dalam  keluarga, dia adalah  sosok  bapak  teladan yang  melahirkan  anak  yang kelak  menjadi  penghulu pemuda surga. Dalam sastra, beliau  termasuk  sahabat  yang piawai  dalam  bersyair,  dalam dunia  hukum  adalah  hakim brilian  bahkan  pada  puncaknya menjadi khalifah.

Kepahlawanan  yang  patut disematkan  kepada  sahabat sekaliber Ali ini, selain takdir Allah, juga karena keteladanan dan dukungan orang tua (Abu Thalib), lingkungan yang baik serta pendidikan brilian dari Rasulullah yang menggabungkan  keteladanan, kasih  sayang, dan  penempaan dalam kehidupan nyata.

Oleh : Mahmud Budi Setiawan

 

Baca Juga:

5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF 

Tingkatkan Semangat dan Nilai Berqurban | YDSF

Hikmah Pendidikan Dibalik Keyatiman Rasulullah | YDSF

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF

Makna Qurban dalam Islam | YDSF

Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF

Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF

Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF

Hakikat dan Keutamaan Silaturahim

Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF

Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: