Menjadi Insan Agamis

Menjadi Insan Agamis

26 Januari 2017

Dialog singkat ini menunjukkan bahwa kualitas manusia tidak cukup hanya diukur berdasarkan kesalehan ritual (ibadah sya’aairiyyah) melainkan juga ibadah interaktif orang tersebut, yang disebut ibadah ‘ta’aamuliyyah’. Cara berinteraksi seseorang adalah cermin agama dan akhlaknya.

Addinu husnul khuluq (agama adalah akhlak mulia). Sabda Rasul ini mengindikasikan bahwa Islam itu holistik karena mengatur seluruh aspek kehidupan secara utuh. Akhlak adalah nilai baik/buruk yang mendarah daging pada diri seseorang, tampak dalam perilaku, kata-kata, sikap, dan derap hidup yang kemudian membentuk kepribadian, citra kualitas diri yang membudaya.

Dalam bahasa Indonesia ‘akhlak’ disepadankan dengan ‘moral’ yang berasal dari bahasa Inggris. Sebenarnya, kedua kata itu tidak identik, bahkan bisa kontras antara satu dengan yang lain. Rujukan akhlak adalah Qur’an dan Hadist yang kebenarannya mutlak dan konsisten. Sedangkan moral rujukannya beragam, tidak mutlak, bergantung pada situasi, lokasi dan kualitas masyarakat terutama para pemimpin dan pembuat kebijakan. Oleh karena itu bisa berubah dan tidak stabil.

Misalnya, masalah sogok-menyogok (rosywah) atau mark up sudah begitu marak dan dianggap wajar oleh masyarakat pada umumnya. Para pelaku bisnis dan birokrat banyak yang menyikapi lunak, dianggap bukan pelanggaran, tidak amoral. Departemen Agama RI yang seyogianya memberi contoh dan teladan ‘akhlakul karimah’ ternyata tidak bebas korupsi. Sungguh sangat memprihatinkan, departemen yang ngurusi agama ini sudah dua menterinya yang masuk penjara karena korupsi.

Krisis yang merata di negara kita sebenarnya adalah krisis akhlak yang tidak lepas dari perilaku para pemimpin. Merekalah yang paling bertanggung jawab atas berbagai permasalahan dan kerusakan yang terjadi di republik ini. Maka perbaikannya harus dimulai dari keteladanan pemimpin. Kata orang arif: Bahasa perilaku (lisanul hal) jauh lebih fasih dari bahasa ucapan (lisanul maqol). Tepat sekali jika pemimpin yang adil dalam peraturan Islam mendapat imbalan sangat besar dari Allah SWT karena mereka menjadi contoh dan panutan. Rasulullah bersabda: Doa pemimpin yang adil tidak ditolak oleh Allah.

Dari aspek pendidikan, pelajaran agama di sekolah umum dari SD sampai Perguruan Tinggi belum sesuai dengan kebutuhan dan tidak merupakan pelajaran favorit. Citranya tidak bergengsi dan tidak berposisi sebagai kebutuhan primer. Kualitas pengajar juga belum baik, metode pengajarannya terlalu banyak teori dan miskin praktik, tidak komprehensif dan tidak efektif. Terjadi banyak kesenjangan antara teori dengan praktik di lapangan. Kurikulumnya lebih menitikberatkan spiritualitas dibanding ibadah ta’aamuliyyah (ibadah perilaku). Buah pendidikan agama belum tercermin pada tingkah laku seharihari secara signifikan.

Insan berkualitas adalah insan agamis yang mampu mengimplementasikan agama secara baik dan holistik (kaffah), profesional dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Potret insan seperti itu yang kita perlukan untuk memimpin Indonesia agar secepatnya krisis moral yang semakin memprihatinkan ini dapat diatasi dan disembuhkan.

Betapa sejahtera dan membahagiakan jika Indonesia yang luas, subur dan kaya ini, pemimpin-pemimpinnya adalah insan agamis yang cinta kepada Rasulullah SAW dan menjadikan beliau sebagai Mahaguru serta tauladan utama (uswatun hasanah). Insya Allah Indonesia akan menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur (QS. Saba’ [34]: 15) (negeri yang serba baik dengan Rabb yang Maha Pengampun) dalam waktu tidak lama. Semoga!

Oleh: Muhammad Taufiq AB

 

Baca juga:

Mau Ngaku atau Angkuh?

Kita Kurang Percaya Diri

Shalat Khusyuk itu Mudah

Contoh Istiqomah dalam Beribadah | YDSF

Dampak Maksiat dalam Kehidupan | YDSF

 

 

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: