Sebuah pertanyaan mungkin bisa diajukan: Mengapa Allah SWT membiarkan Muhammad dalam keadaan yatim. Bahkan sudah ditinggal Abdullah, sang ayah ketika berusia dua bulan dalam kandungan. Kemudian juga ditinggal Sang Ibu ketika usia baru enam tahun. Kepengasuhan dilanjutkan sang kakek selama dua tahun.
Baru genap delapan tahun, sang kakek juga wafat. Lalu diasuh oleh pamannya hingga tiga tahun sebelum Hijrah ke Madinah. Apa hikmahnya? Bagaimana sebenarnya pendidikan Muhammad kecil?
Pendidikan dengan Prinsip Ta’dib dan `Ishmah
Sebuah hadits menyebut Pendidik Muhammad adalah Allah swt, “Addabany Rabby faahsana ta’diby, Tuhanku telah mendidikku, lalu memperbagus pendidikanku.” (HR. Tirmidzi).
Prinsip ta’dib ini bukan hanya setelah beliau menjadi Rasulullah, melainkan berlaku sejak beliau dilahirkan. Allah mengilhamkan dan mewahyukan pengetahuan kepadanya. Materi yang datang dari Allah berupa ajaran-ajaran kerasulan.
Selain itu berupa penjagaan mutlak dari segala bentuk perbuatan tidak terpuji yang menjamur pada masa jahiliyyah. Penjagaan dari hal-hal yang bisa merusak syarat-syarat kerasulan (bisa dibaca di buku Aqidah).
Kedua hal ini biasa disebut prinsip ta’dib dan `ishmah. Bisa juga tidak langsung melewati wasilah orang-orang hanif di sekitarnya. Seperti ibu asuh, kakek, ibu yang memberikan asupan susuan. Tak ketinggalan paman hebat.
Pendidikan kedua bisa berupa pendidikan mental yang merupakan bagian ‘sunnatullah’ untuk mempersiapkan misi kerasulan, kepemimpinan tertinggi. Juga berupa penjagaan total dari gangguaan masyarakat Arab.
Hakikat pendidikan kedua ini merupakan penguat atas pendidikan langsung dari Allah. Al-Qur’an menyebut yang kedua dengan ‘awa’ (melindungi dan mengasuh) seperti dalam ayat keenam surat ad-dhuha; “alam yajidka yatiman fa awa, tidakah tuhanmu mewujudkanmu dalam keadaan yatim lalu, melindungimu.”
Salah satu bukti bahwa materi ‘ta’dib’ Nabi mendapatkan pendidikan langsung dari Allah diceritakan oleh paman tercintanya, Abu Thalib. Dalam Tafsir al-Kabir karya monumental Imam Fakhriddin ar-Razy, ketika menafsirkan ayat ‘alam yajidka yatiman fa awa’ beliau menyebutkan keheranan Sang Paman atas budi pekerti, tutur kata yang tidak diajarkan keluarga besar Bani Muthallib.
Sebelum makan Muhammad kecil menyebut nama Allah dalam sebuah do’a “Bismillah al-Ahad”. Selesai makan berdoa dengan memuji asma Allah “Alhamdulillah”. Beliau tidak pernah melihat Muhammad tertawa terbahak-bahak, berbohong, dan bermain bersama anak-anak Quraish seusianya.
Abu Thalib juga bercerita bahwa ia selalu menemani Muhammad ketika tidur malam. Suatu saat, Muhammad kecil ingin berganti baju. Abu Thalib memintanya untuk ganti pakaian di kamar saja dan tidak perlu beranjak. Namun, Muhammad kecil tidak berkenan berganti di depan Sang Paman. “Paman, palingkanlah wajah Paman, sehingga aku mengganti baju, karena tidak ada seorang pun yang boleh melihat badanku.” Sang Paman pun keluar.
Ketika masuk kembali, Muhammad kecil sudah berganti baju. Rasa takjubnya menjadi-jadi kerena Muhammad lebih segar dengan wangi semerbak aroma ‘misik’. Di sampingnya juga terdapat pakaian lain. Tentu saja adab berpakaian ini belum pernah diajarkan Abu Thalib.
Proses “Ishmah” juga berlangsung ketika Sang Yatim tumbuh remaja. Buku Manusia Sempurna (al-Insan al-Kamil) yang ditulis Muhaddits Haramain Sayyid Muhammad Bin Alawi al-Maliki menjelaskan panjang lebar proses ini.
Pernah satu kali terbesit dalam benak Muhammad muda ikut melakukan kebiasaan anak-anak muda Quraish. Namun, Allah menghilangkan ‘lintasan hanya’ itu dari benak Muhammad dan tidak pernah terlintas sama sekali. Inilah sekelumit “Ishmah” sekaligus “ta’dib” langsung dari Allah.
Kisah paling mashur adalah proses pembedahan tubuh Muhammad saw. oleh Malaikat Jibril ketiga beliau genap berusia dua tahun. Sayyid Alawi al-Maliki merujuk dari berbagai referensi otoritatif menyebutkan bahwa Nabi mengalami pembedahan selama empat kali dalam hidupnya. Dua di antaranya ketika beliau berusia anak-anak dan remaja. Tentu, ada tujuan dan rahasia dari setiap pembedahan.
Dr. al-Buthy menegaskan pembedahan Muhammad kecil bukan hanya menghilangkan ‘bagian’ setan dalam dirinya, melainkan terapi penyucian spiritual, pejagaan setan dan simbol positif atas kerasulannya. Kejadian luar biasa ketika kecil atau sebelum diangkat dalam Ilmu Aqidah biasa disebut “irhash”.
Sebagaimana disebutkan Dr. Said Ramadhan al-Buthy, salah satu rahasia keyatiman ini adalah mengukuhkan misi dan orisinalitas kerasulan. Bahwasanya, ajaran-ajaran yang beliau bawa bukanlah ajaran suku Quraish. Bukan pula, materi-materi ajar yang diberikan oleh orangtua, kakek, dan pamanya.
Ajaran kesukuan kala itu menjadi ajaran turun-temuruan. Selain itu, kehidupan yang sederhana di bawah naungan keluarga terhormat menjadi wasilah untuk tidak tergiur dengan kemewahan yang diagungkan jahiliah.
Pendidikan Melalui Orang-Orang Hanif
Adapun model pendidikan kedua dengan melalui orang-orang Hanif. Dalam keadaan yatim, Muhammad kecil mendapatkan terpaan pendidikan luar biasa. Sebagaimana kebiasaan bangsawan Arab, mereka mencari perempuan pilihan untuk menyusui.
Prosesnya tidak sederhana, ibu susuan bukan hanya datang ke rumah untuk menyusui lalu pulang begitu saja, tetapi anak akan dibawa ke tempat tinggalnya untuk hidup bersama sebagai anak asuh sesuai waktu yang telah ditentukan. Hal ini juga terjadi pada Muhammad bin Abdillah. Beliau mendapatkan Bunda Halimah dari keluarga Sa’ad. Inilah pendidikan mental keluarga Hanif.
Lalu pertanyaanya, apakah rahasia pendidikan seperti ini? Bani Sa’ad berada bukan tinggal di pusat kota Makkah, melainkan di daerah alami yang belum banyak terkontaminasi budaya Jahiliah. Akhlak-akhlak Arab Hanif masih sangat terjaga.
Selain asupan yang sangat berkualitas, suasanya seperti ini juga sangat menunjang stamina masa pertumbuhan. Lingkungan pendidikan seperti ini yang membentuk keribadian suci Muhammad saw. Maka, untuk membentuk karakter perlu ‘menyepikan’ anak-anak dari hiruk pikuk budaya yang tidak baik.
Berpisah dengan orang-orang yang dicintai menjadi bekal kuat menghadapi kerasnya budaya padang pasir. Selain menjadi dasar bahwa berpisah dengan dunia adalah kepastian. Lingkungan Bani Sa’ad dan masyarakat pedalaman Arab juga sangat kental dalam menjaga kualitas tutur kata. Bahasa yang digunakan tidak pernah terkontaminasi oleh bahasa luar.
Sebagaimana pada umumnya, nasihat dan petuah juga terdokumentasikan dalam kalam-kalam indah. Kualitas bahasa juga sangat menentukan bentuk dan pola pikir. Maka, Muhammad kecil sudah terbiasa dengan kalimat indah, padat dan penuh makna yang harus dimiliki pemimpin alam semesta.
Kelak istilah ini setelah kerasulan biasa disebut “jawami’ al-kalim”. Ternyata tradisi ini juga dilakukan cicit beliau, Imam Syafi’i. Ketika diasuh paman, Muhammad kecil juga melaksanakan aktivitas mandiri penuh makna. Seperti menggembala kambing, bekerja, ikut perang, dan berdagang.
Selain Sang Paman bukan termasuk kaya, ada beberapa rahasia di balik kisah ini. Sebuah buku bagus berjudul ‘min ra’yil ghanam ila ra’yil anam, menuturkan: dari mengembala kambing menuju mengasuh manusia. Menggembala kambing adalah bentuk latihan menjadi pemimpin. Ia harus mengatur, menjaga, mengatasi masalah, dsb.
Ini sebabnya, seluruh Rasul pernah dididik sebagai penggembala. Tentu ada rahasia di balik agenda besar “iwa`” Allah ini. Keyatiman Nabi merupakan bagian penting dari proses persiapan menjadi Rasul, sebagai pemimpin ummat manusia. Maka, masa-masa yatim beliau sarat dengan hikmah dan pendidikan yang bisa diambil.
Oleh: Moh. Isom Mudin
Baca Juga:
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
Tingkatkan Semangat dan Nilai Berqurban | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Makna Qurban dalam Islam | YDSF
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Hakikat dan Keutamaan Silaturahim
Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF
Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF