Ikhlas memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam islam. Banyak hikmah yang bisa kita raih jika kita ikhlas
dalam hal apapun, termasuk ketika kita ditimpa musibah. Betapa banyak
harta yang diinfakkan di jalan Allah, bila tidak ikhlas
niatnya, maka ia tidak berarti apa-apa di mata Allah.
Tahun kedua Hijrah merupakan tahun penting karena pada tahun itu terjadi berbagai peristiwa besar.
Turunnya Perintah puasa Ramadhan,
perintah perang Badar, perintah shalat Idul
Fitri, perintah zakat, semuanya terjadi pada tahun kedua Hijrah.
Sebelum turunnya
ayat perintah puasa Ramadhan,
Rasulullah saw. dan para sahabatnya telah terbiasa melakukan puasa tiga hari,
yaitu tanggal 13, 14, 15 setiap
bulannya, di samping puasa setiap tanggal 10 Muharam.
Barulah setelah 18 bulan hijrah ke
Madinah, tepatnya di bulan Sya’ban turun ayat 183-185 surat
al Baqarah yang mewajibkan puasa Ramadhan sebulan penuh.
Baru berjalan
tujuh belas hari berpuasa pertama kali di bulan Ramadhan,
umat Islam harus mempertahankan
kalimat Allah di perang Badar, tepatnya hari Jumat, 17 Ramadhan
tahun 2 Hijriyah. Ketika Rasulullah
saw. dan pasukan muslimin berangkat ke Badar, Ruqayyah, putri tercinta Rasulullah saw. jatuh sakit.
Rasul meminta
suami Ruqayyah, Ustman bin Affan r.a. untuk tinggal di Madinah merawat istrinya. Ketika Rasulullah
saw. pulang dari Perang Badar, sebelum sampai di Madinah, Ruqayyah putri tercinta Rasul, yang menjadi istri Utsman bin Affan r.a. meninggal
dunia.
Baca juga: 5 Hal yang Sebaiknya Dilakukan untuk Menyambut Bulan Ramadhan
Ruqayyah adalah
satu-satunya putri Rasulullah saw. yang merasakan beratnya meninggalkan kampung halamannya, Makkah al Mukarramah, hijrah sebanyak
dua kali. Pertama, Ustman r.a. dan Ruqayyah hijrah ke Habasyi. Kedua, merekapun ikut hijrah ke Madinah.
Beratnya
perjalanan ke Habasyi, kemudian baru tiga bulan mereka kembali ke
Makkah karena mendengar berita palsu tentang kemenangan kaum muslimin, diteruskan lagi dengan beratnya perjalanan ke Madinah. Beratnya kehidupan Ruqayyah membuat Rasulullah saw. merasa iba dengan keadaan
putri keduanya ini.
Kegembiraan
datangnya Ramadhan, keganasan perang Badar,
kegembiraan kemenangan di Perang Badar, dan kegetiran wafatnya
Ruqayyah bercampur menjadi satu dalam diri kaum
muslimin ketika itu. Keihklasan dalam menerima segala ketetapan Allah menjadi kunci dalam menjalani hidup ini.
Setibanya di
Madinah turunlah kewajiban zakat fitrah. Menurut
riwayat, zakat fitrah itu diperintahkan oleh Nabi
Muhammad saw. sesudah ada perintah
kewajiban puasa dan sebelum ada perintah kewajiban zakat harta benda. Zakat fitrah sebabnya dinamakan begitu, guna membersihkan diri
bagi setiap orang Islam, terutama yang mengerjakan puasa Ramadhan, untuk menyokong orang-orang yang sedang menanggung kekurangan dan kesengsaraan pada malam terakhir bulan Ramadhan.
Kemudian pada
tahun itu juga turun ayat perintah zakat harta. Di kala itu,
kewajiban zakat harta benda belumlah
ditentukan kadarnya atau batasnya dan belum pula
dijelaskan tentang macam harta benda yang
wajib dikeluarkan zakatnya.
Baca juga: Wanita Mulia, Yang Makamnya Harum Semerbak
Islam dan Nabi Muhammad saw kala itu hanya memerintahkan
kepada kaum pengikutnya Supaya berzakat, untuk menzakati harta bendanya. Tentang banyak
sedikitnya terserah kepada kemauan dan keikhlasan orang yang berkewajiban zakat sendiri.
Sampai pada tahun
kedua Hijrah, dan orang-orang yang berhak
menerima bagian zakat di kala itu hanya dua golongan, yaitu golongan fakir
dan miskin. Keterangan dan ketetapan dari wahyu yang menunjukkan bahwa zakat itu harus dibagi dan diberikan kepada delapan golongan belum diturunkan.
Kemudian pada
tahun ke-8 Hijrah, diturunkan wahyu dari hadirat Allah kepada Nabi Muhammad saw.
yang menunjukkan bahwa zakat itu harus diberikan kepada
delapan macam golongan, yaitu sebagaimana yang
tersebut dalam ayat 60, Surat At-Taubah.
Puasa Ramadhan
telah dijalankan, jihad di perang Badar telah ditunaikan, zakat
pun telah dibayarkan, dakwah mengajarkan Islam juga terus disebarkan oleh
kaum muslimin. Namun Allah tidak pernah melihat dari berapa sering kita telah berpuasa, berapa
gagah beraninya kita berjihad,
berapa banyak zakat yang kita bayarkan atau berapa sapi atau
kambing yang kita kurbankan,
bahkan Allah tidak pernah melihat berapa harga sapi
atau kambing yang kita kurbankan.
Allah tidak butuh
sapi, tidak butuh kambing, tidak butuh uang yang kita keluarkan
untuk membayar zakat. Allah sekadar ingin melihat sampai mana keimanan kita, sampai dimana keikhlasan kita dalam
memberikan yang terbaik. Allah akan melihat keikhlasan niat seseorang dalam melakukan
suatu amalan.
Betapapun gagah berani kita berjihad, betapapun semangat kita mengajarkan Islam, betapa banyak harta
yang kita infakkan di jalan Allah, bila tidak
ikhlas niatnya, maka ia tidak berarti apa-apa di mata
Allah. Sebaliknya, seberapa kecilpun yang
kita berikan bila niatnya ikhlas, Allah akan mengangkat
perbuatan tersebut ke derajat yang
tinggi, meskipun di mata manusia mungkin dianggap tidak tepat.
Sumber: Majalah
Al Falah Edisi 313 Bulan April 2014
Featured Image by
Freepik
Sedekah dari Rumah:
Artikel Terkait:
Kisah Keluarga Teladan dalam Al Quran | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Kisah Mualaf: Islam Agama Tanpa Celah | YDSF
KISAH MUSA DALAM SURAT AL KAHFI - PERJUANGAN DAN ADAB MENCARI ILMU | YDSF
KISAH ABDURRAHMAN BIN AUF, BERSEDEKAH TIDAK TAKUT MISKIN | YDSF
Bagaimana Seorang Muslim Menyikapi Musibah | YDSF